Sore itu Senja masih kuning kemerah-merahan, terdengar suara adzan berkumandang di masjid kampus kami. Seperti biasa aku dan sahabatku masih asyik bercanda di kampus tercinta. Aku kenalkan sahabat-sahabt dekatku. Pertama Kiki, dia adalah seorang cowok pendiam, baik, pemikir, rela berkorban demi teman, gokil, dia juga peka , dan dia juga sok cool banget. Kedua adalah Viki, dia adalah cewek tomboy tapi alay, tetapi hatinya lembut sekaligus kepo abis, dia punya suara paling lantang dan paling bak-blakan diantara kami berempat, disamping dia kepo dia juga perhatian sama teman, dia jaga super gokil, dan dia paling banyak pengalaman tentang cinta jadi dia cocok jadi psikolog cinta untuk kami bertiga.
Nah yang ketiga ini adalah musuh bebuyutanku namanya adalah Rani, dia orangnya tuh pemikir banget banget, kadang dia jatuh di lubang yang sama, tetapi dia tuh mau mencoba untuk jadi lebih baik lagi, kemauannya tinggi, tapi kadang kurang istiqomah, dan konsistensinya kadang goyah, padahal awalnya sudah bagus banget, dia juga perhatian, dia juga sok tau, terus sering mutung, terus super cerewet, yang pastinnya dia adalah kawan sekaligus lawan bebuyutanku dalam debate everything. Pokoknya kalau bertemu dia dunia seakan-akan perang dunia berlanjut lagi, apa lagi kalo udah kumpul berempat pecah sudah perang dunia ke 3. Hehehe..
Seperti biasa walaupun nggak sekelas setelah kuliah kami sering menyempatkan kumpul-kumpul bareng sekedar untuk tukar pikiran, lepas penat atau hanya bercanda sambil makan saja. Sore itu percakapan kami pun sangat ramai.
“Bul, kita mau makan dimana nih..?” tanya Rani.
“Eeem… kemana ya Ran enaknya? Kemarin udah di angkringan Bu Sugeng kan? Apa mau disitu lagi?” tanyaku.
“ Wah jangan Bul, kalo soto Pak Heri pie Bul?” ucap Rani.
“Waaah … lagi males e, Ran. Neng Bu Rica depan kampus kita aja yuk... aku lama nggak kesitu..” ucapku.
“Lama apaan, Bul..! Baru juga 2 hari nggak makan disitu Bul.” Kata Rani.
“Hehehe … iya sih baru 2 hari tapi rasanya tuh udah 2 bulan nggak makan disitu, maklum lah itu kan tempat favorit kita, Ran” Ucapku sambil senyum tersipu malu.
“Kamu aja kali Bul, aku enggak. Hahaha.” Ucap Rani sambil meledek.
“Gitu ya kamu Ran… awas ya kalo kamu sampe nambah. Eeeh ran SMS Kiki sama Viki dong, suruh ngumpul didepan kampus buat makan bareng.” Ucapku.
“Ok Bul, yoo kedepan kampus sekalian kamu yang pesen ya , aku pesen ayam bakar ya sama air putih.” Ucap Rani.
“Ok. Udah bisa ditebak kamu Ran. Itu kan menu kebiasaan kamu. Hehehe” Ucapku smbil ketawa meledek.
Beberapa lama kemudian Viki dan Kiki pun datang menghapiri kami, seperti biasa banyak obrolan yang kami bicarakan. Sampai akhirnya sesosok cewek pun datang menghampiri kami.
“ Bul .. Bul.. Bul.. ada cewek datang, cantik lagi.” Ucap Viki
“Owh cewe toh,emang kamu kenal dia Vik?” Tanya kiki dengan muka juteknya.
“Mana Vik? Paling cuma lewat doank.” Ucapku melirik kesana-kemari.
“ Hai semua..” sapa Lina.
“Hai Dek Lina.. mau kemana?” jawab Rani.
“Mau pesen makan mba.. eeeh ada mas Kiki toh, hai mas Kiki, apa kabar?” Sapa Lina sambil tersipu malu.
“Kok cuma Kiki aja yang disapa ? Aku kok enggak, Lin?”ucapku sambil meledek.
“ Emang sapa elow, Bul… hahaha” Ledek Viki
“Hai juga, alhamdulilah sehat.” Ucap Kiki.
“Eeeh kalian ini, oh iya katanya mau pesen makan, Lin? Sekalian aja sini makan bareng” Ucap Rani.
“Maaf, mbak. Aku pesen makannya dibungkus aja. Aku pesen dulu ya mbak..” Ucap Lina
“Okey….” Ucap Rani & Viki.
“BTW kok pesenan kita belum dateng-dateng ya.?.” tanya Kiki.
“ Iya juga,… ya udah aku sama Kiki sholat magrib dulu ,terus kalian cek ya pesenan kita barang kali kelupaan.” Ucapku.
“okey..”. Ucap Rani.
Aku dan Kiki pun langsung menuju ke masjid kampus. Tak lama kemudian kami pun keluar dari kampus sesampainya ditempat makan pesenan kami pun sudah siap kami santap. Tak menunggu lama kami langsung makan, seperti biasa canda-tawa selalu mengiringi. Ada yang teriak “ eeh sambelnya mana?”” Yang pedes asin ya…” “ini, tapi mana yang pedes manis ya?” “mana minumannya bul” “lalapannya mana?” “ waah… ini siapa yang ngumpetin air kobokan?”” Serbet.. serbet..?” Kesepian pun tak berani untuk datang dikala bersama mereka. Sampai akhinya tiba-tiba Hp ku bergetar sebuah SMS masuk ke Hpku, ternyata Bapak SMS. Aku pun gemetar saat membaca SMS dari bapak sekejap tawa, canda dimukaku lenyap ketika aku baca SMS yang bertulisan “ le simbahmu wau jam 5 sampun kondur teng rahmatulloh koe sing sabar yo,” SMS itu begitu singgkat dan jelas tapi sangat membuatku terpukul dan terdiam.
Kebingungan, cemas pun datang, Akal sehatku pun seakan-akan mati dalam sekejap. Aku hanya berfikir bagaimana caranya bisa pulang secepatnya dan aku lupa pada saat itu sudah jam 19.30. Aku pun segera bergegas untuk pulang ke kost untuk siap-siap. Hal yang aku pikirkan adalah untuk segera pulang, hanya itu yang terlintas dipikiranku, tak peduli bagaimana caranya aku pulang.
“Bul..!! kamu kenapa e kok mukamu pucet tak karuan “ sahut Rani.
“ Waaah iyo … kok kamu jadi pendiem sih Bul? Kamu lupa bawa dompet po?” Tanya Viki sambil meledek.
“Eeem guys.. maaf ya kayanya aku harus pulang deh, karena aku baru dapet kabar duka dari Bapak dan aku bingung mau pulang kapan dan terus naik apa.” Ucapku.
“Innalilahiwainnailahirojiun.. terus siapa yang meninggal, Bal? Kalau kamu pulang sekarang, terus besok senin kita UTS kan?” Tanya Kiki.
“Kakekku yang dari Bapak, Ki, entah lah Ki..?! Itu yang menjadi kendalaku. Aku mulai dilema mau pulang apa enggak. Sekarang udah malam banget kalau aku pulang naik motor kayaknya enggak mungkin banget. Coba aku dikabari tadi siang pasti aku pulang!” Ucapku.
“Kalau pulang besok pagi gimana?”Tanya Viki.
“Kayaknya enggak mungkin deh, kalau besok pagi pasti bakal sore sampai rumahnya. Entah mengapa pokoknya aku harus pulang bagaimanapun caranya. Apalagi kalo inget pesan dari kakekku beliau berkata “le sesuk nek simbah mati, koe kudu mikul simbah yo le” kata-katanya singkat tapi itu harapan terakhir dari kakekku dan ini waktu terakhirku melihat raut wajah kakekku.” Ucapku.
“ Kalo cari travel aja pie, Bul? Kan bisa sampe depan rumah tuh, bul. Moga aja masih ada yang kosong.” Ucap Rani
“Waaah bener juga, mungkin gara-gara panik akal sehatku menjadi mati, jadi enggak kefikiran sampai kesitu.” Ucapku.
Tanpa berfikir panjang kami pun bergegas untuk membayar makanan kami dan segera menuju agent-agent trevel. Kami pun mondar-madir dari satu agent trevel ke agent yang lainnya. Tapi sungguh na’aas mungkin keberuntungan tidak berpihak sama kami. Kami enggak dapet trevel yang kosong untuk malam itu juga. Jika ada pun esok pagi. Jadi aku memutuskan untuk enggak menggambil trevel. Kami pun memutar otak supaya aku bisa pulang malam ini juga. Padahal pada waktu sudah menunjukan pukul 21.30. Tiba-tiba….?!
“ Naaah….!!!!(dengan lantanggya) Kenapa enggak naik bis saja bul.” Ucap Viki dengan lantangnya.
“ Bener juga tuh kata Viki bul, ada kan bis yang ke Cilacap yang malam?” Ucap Rani.
“Setahuku sih ada. Tapi……..” Ucapku.
“Tapi apa, Bro? Katanya kamu harus pulang malam ini juga, udah santé aja. Nanti aku anter kamu ke terminal deh.” Ucap Kiki.
“Iya juga sih, tapi kalau naik bis sekarang bisa, sih. Cuma bisnya sampe Cilacap kota aja, enggak sampe depan rumah, rumahku tuh masih sekitar 2 jam lagi dari terminal. Berarti sampe Cilacap sekitar jam 2 ataau 3 pagi, pasti belum ada lah bis yang menuju rumah ku, paling juga jam 05.00 baru ada.” Ucapku.
“Nah …!!? bis terakhir dari Jogja ke Cilacap jam berapa, Bro? Ada enggak yang dari sini jam 11 atau 12 malam ?” Tanya Kiki.
“Betul tuh Bul, kamu dari sini jam 11 an aja, kan nanti sampe Cilacap sekitar jam 5 pagi, kalau sampainya lebih cepet kan kamu enggak terlalu lama nunggu diterminal kotannya tuh Bul”. Ucap Rani.
“Gampang lah nanti tak anter ke terminal Bro.” Ucap Kiki dengan muka santainya.
“ Iya .. iya… kayanya ada yang jam duabelasan. ya deh nanti tolong anter aku bro, aku tak siap-siap dulu”. Ucapku
Tak perlu pikir panjang kami pun segera pamitan satu sama lain untuk segera pulang ke kost masing-masing, kecuali Kiki dia menyempatkan mampir ke kosku supaya setelah aku berkemas-kemas aku bisa langsung diantar ke terminal. Tak terasa waktu pun menunjukan pukul 23.00 segera kami bergegas menuju terminal Giwangan. Sesampainya diterminal aku pun bergegas menuju ke tempat pemberhentian bis itu. Tak perlu nunggu lama bis pun berangkat menuju Cilacap. Segera aku pamitan sama Kiki.
“Bro aku pulang dulu yo, punten yo ngrepoti” ucapku.
“Santai lah bro, koyo sopo wae” ucap Kiki dengan muka santainya.
Bis pun melaju dengan pelannya dan semakin cepat menembus dinginnya angin dan sunyinya malam itu. Sepanjang perjalanan aku termenung tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Tatap mataku pun kosong. Jasadku ada tetapi jiwaku entah kemana. Aku pun menyempatkan untuk mengirim SMS ke teman-teman baikku untuk mengucapkan terimakasih. Aku beruntung punya teman-teman seperti mereka, walaupun kadang nyebelin tapi mereka perhatian dan baik hati. Tak terasa waktu menunjukan pukul 02.00 dini hari dan perjalanan baru sampai Kebumen. Aku pun memutuskan untuk memejamkan mata walaupun susah untuk memejamkan mata tetapi aku berusaha untuk tetap tidur walaupun hanya sekejap.
Akhirnya aku pun tertidur sampai pada akhirnya terbangun ketika cahaya menyilaukan mataku dan terdengar triakan “Cilacap.. Cilacap.. Cilacap” teriak kondektur. Aku pun segera bergegas untuk turun dari bis, tak terasa sampai juga di terminal Cilacap. Aku pun melihat Hp di tasku untuk melihat apakah ada SMS yang masuk dari bapak/ibuku, dan ternyata tidak ada balasan dari orangtuaku. SMS yang masuk rata-rata ucapan belasungkawa dari teman-temanku. Aku pun segera SMS bapak bahwa aku sudah sampai Cilacap. Aku tatap arlojiku dan ternyata sudah menunjukan pukul 04.30 dan belum ada bus yang menuju ke rumahku. Aku memutuskan untuk pergi ke masjid dulu untuk menunaikan sholat Subuh karena adzan sudah berkumandang. Setelah sholat aku pun bergegas ke terminal lagi, tak lama kemudian terdengar suara yang sudah aku tunggu-tunggu “Sidarja… Sidarja… Sidarja.. Pengandaran.. Pengandaran” ternyata bus yang menuju rumahku sudah mau berangkat aku pun bergegas mempercepat langkah kakiku dan akhirnya aku pun naik bus menuju rumahku. Di dalam bus aku masih termenung melihat sang fajar masih menyingsing dilangit timur, sesekali aku menengok keluar jendela melihat pepohonan yang masih diselimuti oleh embun pagi.
Hampir satu setengah jam lebih aku terpaku tanpa kata didalam bus. Tak lama kemudian aku tersadar dalam renunganku karena sudah sampai rumah. Tak lama kemudian “Kiri, Pak… kiri..” teriakku untuh menghentikan laju bus ini. Aku pun turun tepat didepan rumahku, langkah kakiku pun semakin berat tak kuasa untuk jalan menuju pintu rumah, mataku pun semakin tak kuat untuk membendung air mata suci ini. Perlahan tapi pasti langkahku pun menuju pintu
Tok.. tok.. tok..
“Assalamualaikum” ucapku. Tak lama kemudian pintu pun terbuka, nampak sesosok perempuan yang tak kuasa menahan tangisnya. Tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya, dia pun langsung memeluk erat badanku seakan-akan tak rela melihat air mataku menetes.
“Sabar ya Bal, ini hanya cobaan dari Alloh SWT supaya kita lebih baik lagi, semua ini pasti ada hikmahnya”. Dan aku hanya terdiam membiarkan sosok perempuan ini memelukku, tak lama kemudia aku pun memegang pundaknya
“Bu, Iqbal baik-baik aja kok, Iqbal kuat kok. Pasti Iqbal bisa melewati ini semua, Bu. Ibu enggak usah terlalu menghawatirkan putramu ini, Bu. Iqbal sudah mulai belajar untuk menerima semua ini.” Tak terasa air mata pun menetes di pipiku dengan sendirinya. aku pun tak kuasa untuk menyapu air mataku ini.
Tiba-tiba adikku yang paling kecil lari dari ruang tengah ke arahku dengan polosnya dia teriak-teriak
“Mas Iqbal ondung.. Mas Iqbal ondung… asiyk.. Mas Iqbal ondung.. Mas jajane pundi “ ucap Faqih. Setidaknnya karena kepolosannya bisa membuat wajah kami tersenyum kembali. Setelah berbincang-bincang ringan dengan keluarga tak terasa sang surya sudah tak malu lagi untuk menampakkan dirinya, sekaligus pertanda supaya kami siap-siap untuk mengurusi keperluan untuk pemakaman kakek. (Sang surya telah mencapai titik puncaknya ketika kami dan sekeluarga berincang-bincang yang menjadi pertanda bahwa kami harus bersiap-siap untuk acara pemakaman)
Orang-orang pun mulai berdatangan, mulai dari tetangga sebelah sampai ke tetangga desa. Semua saling gotong-royong satu sama lain. Ada yang menyiapkan kerandan untuk memikul nanti, ada yang lagi merangkai bunga-bunga dan ada yang sibuk didapur menyiapkan makanan untuk disajikan ke para pelayat. Disamping itu jasad kakekku pun baru selesai di mandikan, dan siap-siap untuk di kafani yang selanjutnya akan disholatkan oleh para sanak keluarga dan pelayat. Tak satu pun proses aku lewatkan, dan akhirnya saat-saat yang ditunggu-tungu yaitu pengiringan ke tempat persemayaman terakhir untuk jasad kakekku. Adzan dan Iqomah pun dikumandangkan sebagai pertanda bahwa jasad kakekku siap untuk dibawa ke tempat pesemayaman terakhirnya. Suasana pun berubah isak tangis dari sanak saudara mengiringi langkah kami.
Aku pun dapat kesempatan untuk memenuhi wasiat terakhir dari kakeku untuk memikul sampai liang lahat (Kesempatan itupun datang, kesempatan untuk aku memikul keranda hingga liang lahat .Pesan terakhir dari kakek ku). Panasnya terik sang surya dan angin yang berhembus sepoy mengiringi langkahku dan rombangan. Sepanjang perjalanan aku pun tetap tak kuasa menahan air mata yang keluar dari mataku ini. Akhirnya sampai juga di pemakaman desa dan jasad kakek siap untuk dikebumikan. Suasana berubah derastis menjadi penuh isak tangisan keluarga ketika jasad kakek ku di kebumikan. Dari kesedihan ini, setidaknya aku bisa memenuhi pesan terakhir kakek ku.
maap banget nih, aku selalu ketawa baca paragraf pembuka cerpen ini,... good,... ^_^ keep writing
BalasHapuscerita ini bagai permen nano-nano, Mbak Rani. :)
Hapusthank's for visiting and reading. :)
Join us, mbak! :D