Dika yang berada tak
jauh dari tempat dia berpisah dengan Jean mendengar teriakan seorang wanita,
berlari mendekati sumber suara dan melihat Jean sedang meronta berusaha
melepaskan diri dari keempat cowok itu.
Buuk . .
. . Buuk . . . . Buuk! Tinju melayang ke muka empat cowok mabuk itu dan
Dika berhasil membuat mereka pergi meninggalkan Dika dan Jean berdua.
Dika berbalik menghampiri
Jean. “Kamu baik-baik saja? Ada yang terluka, nggak?” Tanya Dika namun tak
sepatah katapun keluar dari mulut gadis di hadapannya justru gadis itu menatap
Dika langsung. Rasa takut dan syok terlihat dengan sangat jelas di matanya,
trauma, karena seluruh badan gadis itu gemetaran. Tanpa sadar Dika memeluk Jean
erat, mencoba untuk menenangkannya karna saat ini kata-kata tidak akan menembus
ketakutannya. Sontak apa yang Dika lakukan membuat Jean menumpahkan semua air
matanya yang dia tahan sejak tadi. Dika menepuk-nepuk punggung gadis dalam
pelukannya itu, membuat gadis itu sedikit tenang. Dika membimbing Jean dengan
kedua tangannya masih memegangi Jean menuju mobilnya yang kini melaju
kerumahnya. Dika tidak mungkin tega meninggalkan gadis sendirian apalagi dalam
keadaan tergungcang.
Rasa tegang dan syok
yang dirasakan Jean berkurang ketika Dika memeluknya. Rasa aman dan nyaman yang
lama tidak dia rasakan menjalar ke seluruh tubuh bahkan relung hatinya. Apa
yang dirasakan Jean saat itu membuat Jean percaya padanya sehingga menumpahkan
semua yang dirasakannya dan luka perih yang dia pendam selama ini. Ketegangan
hampir meninggalkan Jean ketika dia memasuki rumah Dika. Entah mengapa dia
merasa terlindungi dan betah untuk tinggal di rumah dengan interior sederhana dan
dinding yang berwarna pucat abu-abu ini.
Jean duduk di sofa
putih dengan secangkir coklat panas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang
di hadapannya tanpa meninggalkan detail sedikitpun dan dia menikmati suasana
yang tercipta di ruangan itu. Tatapannya tertuju pada pintu yang terbuka.