Senin, 13 Oktober 2014

I Love You, Kau Bukan Dia

Dika yang berada tak jauh dari tempat dia berpisah dengan Jean mendengar teriakan seorang wanita, berlari mendekati sumber suara dan melihat Jean sedang meronta berusaha melepaskan diri dari keempat cowok itu.
 Buuk . . . . Buuk . . . . Buuk! Tinju melayang ke muka empat cowok mabuk itu dan Dika berhasil membuat mereka pergi meninggalkan Dika dan Jean berdua.
Dika berbalik menghampiri Jean. “Kamu baik-baik saja? Ada yang terluka, nggak?” Tanya Dika namun tak sepatah katapun keluar dari mulut gadis di hadapannya justru gadis itu menatap Dika langsung. Rasa takut dan syok terlihat dengan sangat jelas di matanya, trauma, karena seluruh badan gadis itu gemetaran. Tanpa sadar Dika memeluk Jean erat, mencoba untuk menenangkannya karna saat ini kata-kata tidak akan menembus ketakutannya. Sontak apa yang Dika lakukan membuat Jean menumpahkan semua air matanya yang dia tahan sejak tadi. Dika menepuk-nepuk punggung gadis dalam pelukannya itu, membuat gadis itu sedikit tenang. Dika membimbing Jean dengan kedua tangannya masih memegangi Jean menuju mobilnya yang kini melaju kerumahnya. Dika tidak mungkin tega meninggalkan gadis sendirian apalagi dalam keadaan tergungcang.
Rasa tegang dan syok yang dirasakan Jean berkurang ketika Dika memeluknya. Rasa aman dan nyaman yang lama tidak dia rasakan menjalar ke seluruh tubuh bahkan relung hatinya. Apa yang dirasakan Jean saat itu membuat Jean percaya padanya sehingga menumpahkan semua yang dirasakannya dan luka perih yang dia pendam selama ini. Ketegangan hampir meninggalkan Jean ketika dia memasuki rumah Dika. Entah mengapa dia merasa terlindungi dan betah untuk tinggal di rumah dengan interior sederhana dan dinding yang berwarna pucat abu-abu ini.
Jean duduk di sofa putih dengan secangkir coklat panas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang di hadapannya tanpa meninggalkan detail sedikitpun dan dia menikmati suasana yang tercipta di ruangan itu. Tatapannya tertuju pada pintu yang terbuka.

“Untuk beberapa hari ini kau tidur di kamar ini” Jelas Dika. Jean beranjak dari sofa meninggalkan coklat panas yang masih tersisa menuju kamar di mana Dika sedang berdiri di depannya. “Ini kamarmu, kalau kau butuh apapun itu panggil saja aku. Aku ada di sebrang kamar ini.” Ujar Dika sambil menunjukkan di mana letak kamarnya. Pandangan Jean mengikuti arah jari telunjuk Dika dan menemukan kamar dengan pintu berwarna agak gelap yang bercorak gelembung abu-abu. Kemudian pandangannya beralih ke Dika dan mengangguk merespon perkataan Dika. “Kalau begitu, selamat malam.” ucap Dika.
“Selamat malam.” Timpal Jean sambil menutup pintu kamar perlahan. Merasa lelah, Jean berbaring di ranjang berwarna putih, ketika Jean menutup pintu dia sempat memandang kamar sementaranya ini didominasi warna putih dengan beberapa interior berwarna biru lembut. Kamar itu terasa nyaman bagi Jean walaupun cukup berbeda dengan kamar yang ada di apartemennya. Tak lama Jean tertidur pulas.
Sinar mentari pagi yang masuk melalui jendela kamarnya membangunkan Jean, melirik jam di sampingnya menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas pagi. Aku terlambat bekerja, pikir Jean namun ketika dia akan beranjak dari ranjangnya dia ingat akan kejadian yang terjadi kemarin dan terduduk lemas. Lamunannya buyar ketika Dika membuka pintu kamarnya terbuka.
“Sarapan sudah siap Jean” Ujar Dika. Ketika Jean mendekati meja makan setelah mencuci muka beberapa hidangan tersaji namun orang yang memanggilnya tidak ada. Suara dentingan peralatan di dapur mengusik Jean, dan di sanalah dia menemukan Dika berkutat dengan peralatan dapur. Jean membantunya menyiapkan beberapa peralatan makan di meja dan ketika Dika bergabung semua sudah siap di meja makan.
“Mana yang lain?” Tanya Jean sambil melihat ke seliling ruangan tapi tidak menemukan tanda-tanda orang lain.
“Orang lain. Di rumah ini hanya kita berdua Jean. Orang tuaku di luar negri mengurus bisnis sedangkan kakak ku di luar daerah jadi kemungkinan mereka disini sangat kecil.” Jelas Dika.
“Heeeeh?” Jean terperangah, berarti semalan juga cumin berdua batin Jean.
“Kenapa?” Tanya Dika.
“Oh, tidak. Aku hanya bingung siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak ini?” Jelas Jean.
“Ini untuk makan siangmu sekalian Jean, karena aku mungkin akan terlambat pulang.” Jelas Dika.
“Makan siangku? Aku hari ini akan bekerja seperti biasa di toko buku jadi kemungkinan besar aku juga makan di luar.” jelas Jean.
“Kau harus tinggal disini untuk beberapa hari ke depan, sampai kau benar-benar pulih dan setidaknya sampai kejadian kemaren mereda. Takutnya mereka akan mencoba mengganggumu lagi ketika aku tidak ada di sana.” jelas Dika dengan sedikit nada marah.
“Memang benar yang barusan dia katakan tapi aku hanya ingin kembali ke kamar ku yang nyaman.” Batin Jean. Dika menunggu respon dari Jean namun nihil, akhirnya dia mengambil inisiatif sendiri.
“Aku anggap diammu sebagai tanda kau setuju” ujar Dika. Kemudian Dika beranjak dari meja makan sambil menjinjing jas dan tas kerjanya berjalan menuju pintu depan ketika dia membuka pintu, tiba-tiba Dika berbalik dan mengatakan pada Jean bahwa dia telah memberitahu pihak toko buku tempatnya bekerja kalau untuk beberapa hari ke depan Jean tidak akan masuk.
Di dalam mobil miliknya yang sedang melaju kencang, Dika tidak habis pikir akan ucapannya pada Jean. Dia sendiri juga bingung akan rasa khawatir yang timbul ketika Jean mengatakan akan kembali pulang dan dia langsung menolak hal itu tanpa pikir panjang, dengan cepat dia memutar otaknya untuk menemukan alasan yang tepat agar Jean tidak curiga. Konsekuensi yang harus Dika lakukan adalah mampir ke toko buku dan meminta izin agar Jean libur beberapa hari.
Jean mengamati setiap ruangan yang ada di rumah itu, Jean langsung tertarik dengan pintu kamar yang berbeda dari yang lain. Pintu kamar itu dibiarkan berwarna asli dari kayu namun memiliki motif tersendiri. Penasaran dengan isi kamar tersebut Jean membuka perlahan kenop pintu kamar itu, ketika terbuka lebar di depannya terbentang buku yang tertata rapi mengelilingi ruang kamar itu dan di tengahnya terdapat dua kursi baca yang nyaman dipisahkan oleh meja rendah berukuran sedang. Jean melihat-lihat koleksi buku di ruangan itu, dia mengambil satu buku dari rak buku paling dekat dengan jendela yang berada di sebelah kiri ketika Jean masuk.
Dika memakirkan mobilnya di garasi dan menaiki tangga menuju pintu depan rumah. Ketika Dika membuka pintu, rumah itu sepi dan remang-remang cahaya dari ruang baca. Di ruang baca Dika menemukan Jean sedang tertidur pulas dengan buku yang dia baca ada dalam dekapannya. Entah mengapa melihat Jean tertidur pulas membuatnya merasa hangat. Takut membuatnya terbangun Dika keluar dari ruang baca dan membawa selimut tebal, sebelum keluar meninggalkannya sendirian Dika mematikan lampu ruang itu.
Kali ini Jean yang terbangun lebih pagi dan langsung memutuskan membuat sarapan untuk mereka berdua. “Selamat pagi.” Ujar Jean pada Dika yang baru saja keluar kamar dan bergabung dengannya di dapur.
“Sedang apa kau?” Tanya Dika iseng.
“Bukannya sudah jelas ya apa yang aku lakukan?” Ujar Jean. 
“Maksudku kau sedang buat sarapan apa?” lanjut Dika.
“Coba tebak!” Goda Jean.
“Nasi goreng?” Jean menggeleng. “Ehm, telur goreng?” tebak Dika dan Jean masih menggeleng.
“Salah semua, kau ini gimana sih? Gak liat aku masak sup, sejak kapan masak telur dan nasi goreng dengan panci.” Ledek Jean.
“Yaah . . . Barangkali kau menggunakan panci dengan cara yang berbeda.” sanggah Dika tak mau kalah.
“Hari ini kau kerja lembur lagi?” Tanya Jean.
“Kenapa? Kau rindu padaku, ya?” Goda Dika.
“Yeee! Jangan harap.” Tandas Jean.
Jean memulai lagi petualangan keduanya di rumah ini dari lantai dua yang hanya terdiri dari dua kamar yang setiap kamar dilengkapi dengan balkon yang mengarah ke taman. Ketika Jean berada di balkon dia bisa melihat rumah-rumah dengan genteng berwarna coklat bata yang diselingi dengan pepohonan hijau menciptakan pemandangan yang menarik. Jean berdiri di balkon dan menikmati pemandangan yang ada cukup lama, sejak kecil Jean memang ingin memiliki kamar yang dilengkapi dengan balkon seperti ini.
Merasa puas Jean turun menuju lantai utama, satu per satu ruangan dia jelajahi. Ketika Jean membuka pintu kamar yang paling ujung hari sudah mulai gelap, kamar dengan ukuran sedang itu bercat abu-abu dilengkapi interior yang menyatu meciptakan suasana baru yang Jean sadar itu adalah rasa hangat dan nyaman yang familiar.
“Ini aneh.” pikir Jean. Jena berjalan mendekati meja belajar dengan beberapa buku bertumpuk di sebelah meja dan kertas perkamen putih dengan disain rumah yang belum selesai dibiarkan begitu saja. Buku yang bertumbuk di sebelah meja berserakan di lantai ketika Jean berbalik dan tangannya menghempas buku-buku itu hingga jatuh ke lantai. Di dalam salah satu buku itu terselip sebuah foto, Jean membalik foto itu. Dia melihat dua orang laki-laki di dalam foto itu. Hal yang membuat Jean bingung adalah foto laki-laki dengan kemeja biru keabu-abuan dengan Jeans hitam.
Tanpa sadar Jean meneteskan air mata, pikirannya tak karuan. Jean bergegas kembali ke kamarnya mengambil barang miliknya dan bergegas pulang meninggalkan tempat itu, menjauh dari hal-hal yang berkaitan dengan orang itu.
Ketika Dika kembali, dia melihat kamar milik sepupunya terbuka dan foto yang dia sembunyikan tercecer di lantai. “Jean. . . . Jean. . . Jean!” Panggil Dika, namun tidak ada sahutan sama sekali seperti yang Dika perkirakan. Kamar yang Jean tempati kosong, barang yang Jean bawa sudah tidak di tempatnya lagi. Prosentasi keberhasilan rencana Dika menjadi nol persen.
Sesampainya di apartemen, Jean yang tadinya ingin menumpahkan semua rasa yang ada di hatinya tapi yang terjadi adalah diam. Jean bingung apa yang akan dilakukannya, sebenarnya dulu dia sangat berharap akan ada yang menghubungkan dirinya dengan orang itu dan ketika harapannya terkabul justru dia menjadi bingung apa yang harus dia lakukan, apa yang harus dia katakan pada orang yang menghubungkan dia dengan orang itu?
by: Nesshaa

to be continued

Tak ada yang bisa kau sembunyikan dariku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar