Sabtu, 21 Juni 2014

The Night Is Yet Young

Have a card up sleeve
  
Aku segera mengetik SMS setibanya di terminal malam itu. “Arshaf, aku sudah sampai. Maaf ya, kalo harus merepotkanmu.” SMS pun segera ku kirim, sambil menunggu balasan dari Fajar aku menyusuri trotoar mencari tempat duduk untuk beristirahat. Malam ini angin seakan menembus tulang dan menusuk tiap persendianku. Maklum, tempat tinggal kami berada di dataran tinggi jadi pantas saja kalau udaranya terasa lebih sejuk, terutama di malam hari.
Sudah 15 menit selang aku menunggu balasan SMS Fajar namun tak kunjung jua ku dapatkan balasannya. Aku pun mengirim SMS lagi. Dan menunggu balasannya lagi. Ternyata masih sama, Fajar tak kunjung membalas. Alhasil aku sedikit panik dan mulai gusar.
Bertubi-tubi SMS pun aku ketik dan kirim kepadanya. “Arshaf, kamu udah sampai mana?”. “Bang, udah otw, belom?”.”Bang, hati-hati di jalan, yah.”.”Arshaf Putra Pamungkas.
Sekian banyak SMS dariku tak satu pun yang ia balas, bahkan teleponku pun tak juga ia angkat. Kini justru kepanikanku semakin bertambah ketika nomor Arshaf tiba-tiba tak bisa di hubungi lagi. Entah, aku tak tahu apa yang sedang terjadi.
Ku baca kembali SMS balasan terakhir dari Arshaf. “Iya InsyaAllah bisa, tapi aku on the way dari rumah ba’da maghrib. Jadi maaf kalo nanti kamu nunggu lama. Dan kalo masih ada bus. lebih baik naik bus aja, ya.

*  *  *


Malam ini benar-benar terasa mencekam baginya. Dalam kesendiriannya berada di daerah yang asing, berteman handphone yang hampir habis baterainya, berudara dingin sedikit berkabut pula, suasana sepi dengan bercahayakan bulan dan bintang serta lalu lalang kendaraan beroda empat. Sekali didapati adanya orang justru kumpulan anak muda beroda dualah yang dijumpainya. Hal itu menambah kegusaran hati ketika duduk menunggu kedatangan Fajar.
     Setelah sempat ada mobil pribadi yang iseng menghampirinya dan kumpulan anak beroda dua yang mulai iseng mondar-mandir di hadapannya, ia pun bertekad enyah dari tempat duduk saat itu, sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi, sebab kejahatan terjadi bukan karena niat tetapi karena ada kesempatan (Bang NAPI, BUSER) gadis itu pun memilih menyusuri jalan trotoar kota asri lagi, sambil mencari tempat untuk menunggu yang lebih aman dan terang setidaknya.
Handphone berdering, tanpa melihat layar nama ia langsung menjawab panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum.” Berharap suara di seberang sana adalah Arshaf.
“Wa’alaikummussalam, Fatimah.”
Suara ini, ah suara ini jelas bukan suara Arshaf.” Batinnya lesu. “Belum Faj, masih nunggu Arshaf. Dia nggak balas SMS-ku satupun, juga nggak jawab panggilan dariku. Aku agak takut nih, Faj. Sendirian soalnya.”
“Tenang, jangan panik, positive thinking dong, Fat. Arshaf mungkin sedang fokus dalam perjalanan makanya nggak tahu kalau handphone­-nya getar.” Fajar berusaha menenangkan Fatimah.
I see, but his handphone can’t get in touch with me, Faj!” Dari nada suara Fatimah terlihat bahwa ia masih dirundung kepanikan.
Fatimah, Fajar, dan Arshaf. Mereka adalah teman satu SMA. Fatimah dan Fajar adalah teman satu kelas setelah penjurusan, otomatis mereka dua tahun satu kelas karena penjurusan dilakukan ketika kenaikan kelas XI. Lain halnya dengan Arshaf yang hanya satu tahun sekelas dengan Fatimah, sekalipun demikian, mereka tetap menjalin pertemanan yang cukup baik. Bahkan terbilang akrab seperti saat ini.
“Sabar Fat, lagian kamu juga gila, sih. Minta tolong jemput sama Arshaf, udah tahu kalau rumah dia tuh di ujung bukit. Parahnya, Arshaf mau lagi jemput cewek gila kaya kamu. Hehehe.” Fajar terkekeh di ujung sambungan telepon. “Kalau aku pribadi sih, dengan kendaraan beroda dua dan keadaan jalanan di malam hari seperti saat ini, paling dua jam perjalanan lah, Fat. Jadi sabar dan tunggu aja.” Fajar menjelaskan dari sisi logika.
“Fajar, ih! Jahat! Ngatain Fatimah cewek gila. Dibanding kamu, rajanya PHP!” mereka pun mencairkan suasanan dengan saling mengejekEh, Faj. Tuh kamu udah dipanggil suruh apel, mau makan malam aja pake upacara, Faj. Kalau aku sih keburu lapar.” Begitulah rutinitas Fajar setelah lulus SMA. Upacara, apel, sit up, push up, jogging, dan bla-bla masih banyak lagi.
Setelah lulus SMA, Fajar memutuskan untuk melanjutkan ke IPDN menuruti permintaan orang tuanya. Tetapi sepertinya Fajar sendiri memang memiliki keinginan yang sama dengan permintaan orang tuanya. Selain postur tubuh yang mendukung, gaya kemandiriannya juga berpotensi untuk dikembangkan di IPDN. Fajar sebenarnya cowok yang baik, hanya saja gaya humorisnya yang terkesan menggombal sering disalah artikan oleh lawan jenis, sehingga mereka merasa di PHP oleh Fajar.
It’s O.K. Be careful, Fatimah. Dan kalau bisa jangan naik bus, kasihan pangeran Arshaf yang sudah bela-belain turun khayangan demi puteri gila kaya kamu.” Terdengar suara tawa yang begitu puas dari seberang.
“Hmm, namanya juga Fajar, ya kaya gini nih. Bambong! Huu!” Fatimah pun terkekeh dengan kalimatnya sendiri.
Assalamu’alaikum.
Wa’alaikummussalam.
*  *  *

Fatimah memang merasa gusar dan panik malam ini, sebab Arshaf tak kunjung datang menjemputnya hingga adzan Isya berkumandang. Namun dalam hati Fatimah sesungguhnya tak ada sedikit pun keraguan tentang kepastian kedatangan Arshaf malam ini. Sebab Arshaf pasti akan datang.
Dalam benak Fatimah terbesit kekhawatiran jika terjadi sesuatu dengan Arshaf di perjalanan. Mengingat jarak rumah Arshaf menuju terminal kota asri yang lumayan jauh dan rute perjalanan dari tempat tinggalnya yang bisa dibilang pucuk gunung menuju ke terminal kota asri di pucuk gunung jugalah yang membuat Fatimah tidak bisa tenang. Seperti ucapan Fajar dalam majas aulisio tadi ketika telepon yang menjadikan Arshaf perumpamaan sebagai pangeran turun dari kahyangan. Sambil terus menyusuri trotoar, tak terasa Fatimah telah berjalan cukup jauh hingga sampailah ia di sebuah pom bensin.
Alhamdulillah, ada pom bensin. Aku nunggu di sana aja lah.” Gumamnya. “Arshaf, Arshaf, Arshaf.” Fatimah menyebut-nyebut pelan nama Arshaf setelah mendapat tempat duduk yang dirasanya nyaman. “Arshaf Putra Pamungkas, mengapa kau selalu membuatku menunggu? Sampai kapan kamu akan membiarkanku menunggu? Ini penantianku yang tak seberapa, hanya berkisar dua-tiga jam. Tentu dalam penantian Fatimah selalu diselingi doa dan kesabaran. Jangankan dua-tiga jam, 4 tahun pun Fatimah masih sabar menunggu Arshaf.” Fatimah bercakap dalam hati sembari menatap langit yang penuh bintang.
“Aku tidak beristikhoroh seperti yang dianjurkan tetapi aku bermunajah memohon kepada Allah sebab tidak ada sedikit pun keraguanku tentangmu.” Kutipan Nyi Dahlan untuk Kyai Haji Dahlan selalu terngiang oleh Fatimah.
Fatimah kini lebih bisa tenang, ia berpikir bahwa Arshaf mungkin sedang singgah di suatu masjid terlebih dahulu untuk menunaikan kewajiban lima waktunya. Ya, begitulah Arshaf yang Fatimah kenal. Arshaf yang hanya berbicara jika diperlu saja, Arshaf yang Fatimah kagumi diam-diam, dan Arshaf yang menjadi juara hati Fatimah. Arshaf yang selalu membuat Fatimah menunggu tentunya.
Selang beberapa menit laporan terkirim SMS untuk Arshaf pun bertubi-tubi berlangsung, dan seiring laporan terkirim handphone Fatimah juga bergetar. Jelas tertulis nama Arshaf pada layar LCD. Itu telepon dari Ashraf.
Assalamu’alaikum.” Salam Fatimah pada si penelepon.
Wa’alaikummussalam, Fatimah kamu di mana? Maaf lama, aku sudah sampai tepat di depan terminal.” Suara ini, suara yang kali pertama Fatimah pernah dengar di handphone selama empat tahun ini, suara yang terdengar bulat dan berat, suara yang masih kentara dengan aksen to the point, kini suara itu terdengar panik, khawatir, juga ada sisa-sisa merasa bersalah di telinga Fatimah.
Alhamdulillah, Fatimah sekarang di depan pom bensin…” Sebelum kalimat Fatimah selesai diucapkan, Arshaf sudah memotongnya.
“O.K. tunggu aku di situ. Jangan ke mana-mana. Salam.” Seakan Arshaf sudah tahu keberadaan Fatimah ketika mendengar clue pom bensin. Dan sesegera mungkin Arshaf langsung menancap gas menuju keberadaan Fatimah.
Tuut, tuut, tuuut. Belum sempat Fatimah menjawab salamnya saat panggilan ditutup dari seberang.
Astaghfirulloh, lindungi aku selalu, Ya Allah.” Fatimah beristighfar dan memohon lindungan-Nya selalu. Fatimah pun beranjak dari tempat duduknya menuju ke pinggir jalan raya supaya lebih mudah terlihat. Dan benar saja, Arshaf sudah tiba tepat di hadapan Fatimah.
“Fatimah, maaf lama ya?” Sorot sayu Arshaf tampak jelas oleh Fatimah di bawah sinar rembulan dan bintang malam ini. Sorot sayu yang membuat si pelihatnya adem di hati “Maaf juga tadi hapeku mati.”
Never mind. Aku juga minta maaf sudah merepotkan kamu, Bang.” Begitulah Arshaf biasa disapa oleh Fatimah dan teman-temannya di SMA.
Sembari memberikan helm, Arshaf bertanya kepada Fatimah “Kemarin berangkat ke Solonya dengan siapa, Fat?”
Dengan polosnya Fatimah langsung menjawab “Nebeng2.”
“Owh.” Entah mengapa atmosfir saat itu tiba-tiba berubah ketika Arshaf mendengar jawaban Fatimah disebut. Wallahu’alam.
Naluri perempuan tetaplah sama, ia akan lebih memperhatikan lingkungan sekeliling. Begitu pula dengan Fatimah yang diam-diam memperhatikan penampilan Arshaf malam ini. Terbesit kembali sebuah kekhawatiran ketika mendapati Arshaf yang tidak mengenakan sarung tangan, masker, atau sepatu untuk sekadar melindungi diri dari dinginnya malam yang berkabut ini.
“Bang, kamu nggak dinginkah?” Tanya Fatimah.
“Hah?” Arshaf sedikit kaget mendengar pertanyaan Fatimah.
“Kamu nggak kedinginan?” Fatimah mengulang pertanyaannya.
“Hmm.” Sambil memberi kode dengan melambaikan tangannya sebagai sebuah jawaban, lalu Arshaf melanjutkan fokus mengendarai roda duanya dengan menyalip sebuah truk juga bus besar. Fatimah tidak ingin mengganggu konsentrasi Arshaf, maka memutuskan diam saja. Hanya bisa mengamati Arshaf dari belakang. Mengamati dari balik punggungnya, ketrampilan tangannya memainkan coupling, dan tetap berhati-hati namun tampak kegesitannya memilih celah jalan menyadari keberadaan anak hawa yang sedang diboncengnya.
Fatimah merasa bersalah saat itu juga. Suasana yang menjadi canggung selama di perjalanan sebab mereka berdua hanya diam selama di perjalanan usai pertanyaan Fatimah yang cuma dijawab dengan lambaian tangan. Atau memang begitulah Arshaf, sedikit bicara.
Jalan yang berkelok penuh tumbuhan pinus dan pohon kalbi3 di sisi kanan kiri. Diterangi rembulan dan bintang dari atas langit juga udara dingin yang mampu menusuk persendian manusia. Dilengkapi pula dengan kecanggungan dua remaja dewasa awal. Semua itu seakan menjadi saksi bisu pertemuan Arshaf dan Fatimah setelah satu tahun lulus dari SMA.
Kini Fatimah sibuk berdialog dalam hati, “Arshaf Putra Pamungkas, seperti mimpi saja malam ini bagiku. Ya Allah, apakah ini benar-benar sebuah realita? Inikah sosok yang selama ini aku tunggu? Inikah Arshaf, makhluk ciptaanMu yang selalu mengutamakan Engkau? Kini aku duduk tepat di belakangnya.” Pandangan Fatimah kosong hanya tertuju pada punggung Arshaf. “Aku bisa sedekat ini dengan Arshaf? Bisa saja tanganku menyentuhnya tetapi, ah, tidak boleh. Aku harus bisa menjaga jarak duduk kami, jangan sampai aku merusak iman Arshaf yang sudah mau menolongku. Jangankan berpegangan, merangkai dialog saja aku tak berani. Aku terlalu sayang, kuharap kelak menjadi imamku.”
“Rumahmu masuk gang yang mana, Fat?” Suara Ashraf membuyarkan lamunan Fatimah ketika menyadari bahwa mereka telah sampai di sebuah perkampungan yang tak asing.

By. Melpunkzs


Ketika aku dan tunggu kian membeku,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar