Have a card up sleeve
Aku segera mengetik SMS
setibanya di terminal malam itu. “Arshaf,
aku sudah sampai. Maaf ya, kalo harus merepotkanmu.” SMS pun segera ku
kirim, sambil menunggu balasan dari Fajar aku menyusuri trotoar mencari tempat
duduk untuk beristirahat. Malam ini angin seakan menembus tulang dan menusuk
tiap persendianku. Maklum, tempat tinggal kami berada di dataran tinggi jadi
pantas saja kalau udaranya terasa lebih sejuk, terutama di malam hari.
Sudah 15 menit selang
aku menunggu balasan SMS Fajar namun tak kunjung jua ku dapatkan balasannya.
Aku pun mengirim SMS lagi. Dan menunggu balasannya lagi. Ternyata masih sama,
Fajar tak kunjung membalas. Alhasil aku sedikit panik dan mulai gusar.
Bertubi-tubi SMS pun
aku ketik dan kirim kepadanya. “Arshaf, kamu
udah sampai mana?”. “Bang, udah otw, belom?”.”Bang, hati-hati di jalan, yah.”.”Arshaf Putra Pamungkas.”
Sekian banyak SMS
dariku tak satu pun yang ia balas, bahkan teleponku pun tak juga ia angkat.
Kini justru kepanikanku semakin bertambah ketika nomor Arshaf tiba-tiba tak
bisa di hubungi lagi. Entah, aku tak tahu apa yang sedang terjadi.
Ku baca kembali SMS
balasan terakhir dari Arshaf. “Iya
InsyaAllah bisa, tapi aku on the way dari rumah ba’da maghrib. Jadi maaf kalo
nanti kamu nunggu lama. Dan kalo masih ada bus. lebih baik naik bus aja, ya.”
* * *
Malam ini benar-benar
terasa mencekam baginya. Dalam kesendiriannya berada di daerah yang asing,
berteman handphone yang hampir habis
baterainya, berudara dingin sedikit berkabut pula, suasana sepi dengan bercahayakan
bulan dan bintang serta lalu lalang kendaraan beroda empat. Sekali didapati
adanya orang justru kumpulan anak muda beroda dualah yang dijumpainya. Hal itu
menambah kegusaran hati ketika duduk menunggu kedatangan Fajar.
Setelah sempat ada mobil pribadi yang iseng menghampirinya dan
kumpulan anak beroda dua yang mulai iseng mondar-mandir di hadapannya, ia pun
bertekad enyah dari tempat duduk saat itu, sebelum sesuatu yang tak diinginkan
terjadi, sebab kejahatan terjadi bukan karena niat tetapi karena ada kesempatan
(Bang NAPI, BUSER) gadis itu pun memilih menyusuri jalan trotoar kota asri lagi,
sambil mencari tempat untuk menunggu yang lebih aman dan terang setidaknya.
Handphone
berdering,
tanpa melihat layar nama ia langsung menjawab panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum.”
Berharap suara di seberang sana adalah Arshaf.
“Wa’alaikummussalam,
Fatimah.”
“Suara ini, ah suara ini jelas bukan suara Arshaf.” Batinnya lesu. “Belum
Faj, masih nunggu Arshaf. Dia nggak balas SMS-ku satupun, juga nggak jawab
panggilan dariku. Aku agak takut nih, Faj. Sendirian soalnya.”
“Tenang, jangan panik, positive thinking dong, Fat. Arshaf mungkin
sedang fokus dalam perjalanan makanya nggak tahu kalau handphone-nya getar.” Fajar berusaha menenangkan Fatimah.
“I see, but his handphone can’t get in touch with me, Faj!” Dari
nada suara Fatimah terlihat bahwa ia masih dirundung kepanikan.
Fatimah, Fajar, dan
Arshaf. Mereka adalah teman satu SMA. Fatimah dan Fajar adalah teman satu kelas
setelah penjurusan, otomatis mereka dua tahun satu kelas karena penjurusan
dilakukan ketika kenaikan kelas XI. Lain halnya dengan Arshaf yang hanya satu
tahun sekelas dengan Fatimah, sekalipun demikian, mereka tetap menjalin
pertemanan yang cukup baik. Bahkan terbilang akrab seperti saat ini.
“Sabar Fat, lagian kamu
juga gila, sih. Minta tolong jemput sama Arshaf, udah tahu kalau rumah dia tuh
di ujung bukit. Parahnya, Arshaf mau lagi jemput cewek gila kaya kamu. Hehehe.”
Fajar terkekeh di ujung sambungan telepon. “Kalau aku pribadi sih, dengan
kendaraan beroda dua dan keadaan jalanan di malam hari seperti saat ini, paling
dua jam perjalanan lah, Fat. Jadi sabar dan tunggu aja.” Fajar menjelaskan dari
sisi logika.
“Fajar, ih! Jahat! Ngatain
Fatimah cewek gila. Dibanding kamu, rajanya PHP!” mereka pun mencairkan
suasanan dengan saling mengejek “Eh,
Faj. Tuh kamu udah dipanggil suruh apel, mau makan malam aja pake upacara, Faj.
Kalau aku sih keburu lapar.” Begitulah rutinitas Fajar setelah lulus SMA.
Upacara, apel, sit up, push up, jogging, dan bla-bla masih banyak lagi.
Setelah lulus SMA, Fajar
memutuskan untuk melanjutkan ke IPDN menuruti permintaan orang tuanya. Tetapi
sepertinya Fajar sendiri memang memiliki keinginan yang sama dengan permintaan
orang tuanya. Selain postur tubuh yang mendukung, gaya kemandiriannya juga
berpotensi untuk dikembangkan di IPDN. Fajar sebenarnya cowok yang baik, hanya
saja gaya humorisnya yang terkesan menggombal sering disalah artikan oleh lawan
jenis, sehingga mereka merasa di PHP oleh Fajar.
“It’s O.K. Be careful, Fatimah. Dan kalau bisa jangan naik bus,
kasihan pangeran Arshaf yang sudah bela-belain turun khayangan demi puteri gila
kaya kamu.” Terdengar suara tawa yang begitu puas dari seberang.
“Hmm, namanya juga
Fajar, ya kaya gini nih. Bambong! Huu!”
Fatimah pun terkekeh dengan kalimatnya sendiri.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikummussalam.”
* * *
Fatimah memang merasa
gusar dan panik malam ini, sebab Arshaf tak kunjung datang menjemputnya hingga
adzan Isya berkumandang. Namun dalam
hati Fatimah sesungguhnya tak ada sedikit pun keraguan tentang kepastian
kedatangan Arshaf malam ini. Sebab Arshaf pasti akan datang.
Dalam benak Fatimah
terbesit kekhawatiran jika terjadi sesuatu dengan Arshaf di perjalanan. Mengingat
jarak rumah Arshaf menuju terminal kota asri yang lumayan jauh dan rute
perjalanan dari tempat tinggalnya yang bisa dibilang pucuk gunung menuju ke
terminal kota asri di pucuk gunung jugalah yang membuat Fatimah tidak bisa
tenang. Seperti ucapan Fajar dalam majas aulisio tadi ketika telepon yang
menjadikan Arshaf perumpamaan sebagai pangeran turun dari kahyangan. Sambil
terus menyusuri trotoar, tak terasa Fatimah telah berjalan cukup jauh hingga
sampailah ia di sebuah pom bensin.
“Alhamdulillah, ada pom bensin. Aku nunggu di sana aja lah.”
Gumamnya. “Arshaf, Arshaf, Arshaf.” Fatimah menyebut-nyebut pelan nama Arshaf
setelah mendapat tempat duduk yang dirasanya nyaman. “Arshaf Putra Pamungkas,
mengapa kau selalu membuatku menunggu? Sampai kapan kamu akan membiarkanku
menunggu? Ini penantianku yang tak seberapa, hanya berkisar dua-tiga jam. Tentu
dalam penantian Fatimah selalu diselingi doa dan kesabaran. Jangankan dua-tiga
jam, 4 tahun pun Fatimah masih sabar menunggu Arshaf.” Fatimah bercakap dalam
hati sembari menatap langit yang penuh bintang.
“Aku tidak
beristikhoroh seperti yang dianjurkan tetapi aku bermunajah memohon kepada
Allah sebab tidak ada sedikit pun keraguanku tentangmu.” Kutipan Nyi Dahlan
untuk Kyai Haji Dahlan selalu terngiang oleh Fatimah.
Fatimah kini lebih bisa
tenang, ia berpikir bahwa Arshaf mungkin sedang singgah di suatu masjid
terlebih dahulu untuk menunaikan kewajiban lima waktunya. Ya, begitulah Arshaf yang
Fatimah kenal. Arshaf yang hanya berbicara jika diperlu saja, Arshaf yang Fatimah
kagumi diam-diam, dan Arshaf yang menjadi juara hati Fatimah. Arshaf yang
selalu membuat Fatimah menunggu tentunya.
Selang beberapa menit laporan
terkirim SMS untuk Arshaf pun bertubi-tubi berlangsung, dan seiring laporan
terkirim handphone Fatimah juga
bergetar. Jelas tertulis nama Arshaf pada layar LCD. Itu telepon dari Ashraf.
“Assalamu’alaikum.” Salam Fatimah pada si penelepon.
“Wa’alaikummussalam, Fatimah kamu di mana? Maaf lama, aku sudah
sampai tepat di depan terminal.” Suara ini, suara yang kali pertama Fatimah
pernah dengar di handphone selama
empat tahun ini, suara yang terdengar bulat dan berat, suara yang masih kentara
dengan aksen to the point, kini suara
itu terdengar panik, khawatir, juga ada sisa-sisa merasa bersalah di telinga
Fatimah.
“Alhamdulillah, Fatimah sekarang di depan pom bensin…” Sebelum
kalimat Fatimah selesai diucapkan, Arshaf sudah memotongnya.
“O.K. tunggu aku di
situ. Jangan ke mana-mana. Salam.” Seakan Arshaf sudah tahu keberadaan Fatimah
ketika mendengar clue pom bensin. Dan
sesegera mungkin Arshaf langsung menancap gas menuju keberadaan Fatimah.
Tuut, tuut, tuuut. Belum
sempat Fatimah menjawab salamnya saat panggilan ditutup dari seberang.
“Astaghfirulloh, lindungi aku selalu, Ya Allah.” Fatimah
beristighfar dan memohon lindungan-Nya selalu. Fatimah pun beranjak dari tempat
duduknya menuju ke pinggir jalan raya supaya lebih mudah terlihat. Dan benar
saja, Arshaf sudah tiba tepat di hadapan Fatimah.
“Fatimah, maaf lama
ya?” Sorot sayu Arshaf tampak jelas oleh Fatimah di bawah sinar rembulan dan
bintang malam ini. Sorot sayu yang membuat si pelihatnya adem di hati “Maaf juga tadi hapeku mati.”
“Never mind. Aku juga minta maaf sudah merepotkan kamu, Bang.”
Begitulah Arshaf biasa disapa oleh Fatimah dan teman-temannya di SMA.
Sembari memberikan
helm, Arshaf bertanya kepada Fatimah “Kemarin berangkat ke Solonya dengan siapa,
Fat?”
Dengan polosnya Fatimah
langsung menjawab “Nebeng2.”
“Owh.” Entah mengapa
atmosfir saat itu tiba-tiba berubah ketika Arshaf mendengar jawaban Fatimah
disebut. Wallahu’alam.
Naluri perempuan
tetaplah sama, ia akan lebih memperhatikan lingkungan sekeliling. Begitu pula
dengan Fatimah yang diam-diam memperhatikan penampilan Arshaf malam ini.
Terbesit kembali sebuah kekhawatiran ketika mendapati Arshaf yang tidak
mengenakan sarung tangan, masker, atau sepatu untuk sekadar melindungi diri
dari dinginnya malam yang berkabut ini.
“Bang, kamu nggak
dinginkah?” Tanya Fatimah.
“Hah?” Arshaf sedikit
kaget mendengar pertanyaan Fatimah.
“Kamu nggak
kedinginan?” Fatimah mengulang pertanyaannya.
“Hmm.” Sambil memberi
kode dengan melambaikan tangannya sebagai sebuah jawaban, lalu Arshaf melanjutkan
fokus mengendarai roda duanya dengan menyalip sebuah truk juga bus besar.
Fatimah tidak ingin mengganggu konsentrasi Arshaf, maka memutuskan diam saja. Hanya
bisa mengamati Arshaf dari belakang. Mengamati dari balik punggungnya, ketrampilan
tangannya memainkan coupling, dan tetap berhati-hati
namun tampak kegesitannya memilih celah jalan menyadari keberadaan anak hawa
yang sedang diboncengnya.
Fatimah merasa bersalah
saat itu juga. Suasana yang menjadi canggung selama di perjalanan sebab mereka
berdua hanya diam selama di perjalanan usai pertanyaan Fatimah yang cuma
dijawab dengan lambaian tangan. Atau memang begitulah Arshaf, sedikit bicara.
Jalan yang berkelok
penuh tumbuhan pinus dan pohon kalbi3 di sisi kanan kiri. Diterangi
rembulan dan bintang dari atas langit juga udara dingin yang mampu menusuk
persendian manusia. Dilengkapi pula dengan kecanggungan dua remaja dewasa awal.
Semua itu seakan menjadi saksi bisu pertemuan Arshaf dan Fatimah setelah satu tahun
lulus dari SMA.
Kini Fatimah sibuk
berdialog dalam hati, “Arshaf Putra Pamungkas,
seperti mimpi saja malam ini bagiku. Ya Allah, apakah ini benar-benar sebuah
realita? Inikah sosok yang selama ini aku tunggu? Inikah Arshaf, makhluk
ciptaanMu yang selalu mengutamakan Engkau? Kini aku duduk tepat di belakangnya.”
Pandangan Fatimah kosong hanya tertuju pada punggung Arshaf. “Aku bisa sedekat ini dengan Arshaf? Bisa
saja tanganku menyentuhnya tetapi, ah, tidak boleh. Aku harus bisa menjaga
jarak duduk kami, jangan sampai aku merusak iman Arshaf yang sudah mau
menolongku. Jangankan berpegangan, merangkai dialog saja aku tak berani. Aku
terlalu sayang, kuharap kelak menjadi imamku.”
“Rumahmu masuk gang
yang mana, Fat?” Suara Ashraf membuyarkan lamunan Fatimah ketika menyadari
bahwa mereka telah sampai di sebuah perkampungan yang tak asing.
By. Melpunkzs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar