Still
Exist
“Belok kanan setelah
masjid Bang.” Terdengar suara Fatimah memberi arahan dengan sisa perasaan yang
berbeda. Entah mengapa.
“Oke. sudah tiba, Fat.
Maaf nggak mampir ya, sudah larut malam. Kebetulan tadi izin dengan ibu juga
nggak boleh terlalu larut.” Kata Arshaf.
“Beneran nih, nggak mau
mampir dulu?” Fatimah meyakinkan kembali, sedangkan lubuk hatinya bertanyaan
“Ada apa ini?”
“Iya, salam aja ya buat
ibu Fatimah, semoga lekas sembuh. Dan sampaikan juga maafku ke orang tuamu.” Apa
mau dikata jika Arshaf telah memutuskan demikian.
“Iya, terima kasih ya,
Bang. Maaf, sudah merepotkan.” Kata Fatimah, menanggapi positif.
“It’s okay.” Arshaf tersenyum “Well,
I have to go home when you first enter.” Arshaf menyuruh Fatimah masuk
rumah terlebih dahulu sebelum ia pulang “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikummussalam.”
* * *
Ayah Fatimah langsung
menghampiri Fatimah dan menyambut kedatangan putri bungsunya ketika membuka
pintu sembari mengucap salam. “Lho, Arshaf mana, Fat? kok nggak mampir dulu?”
“Langsung pamit tadi
Yah, cuma titip salam buat Ayah juga Bunda.” Setelah mencium tangan ayah,
Fatimah berlalu mencari sosok yang menjadi alasan utama Fatimah pulang dari
kota pelajar tempat ia menuntut ilmu.
“Kasihan lho, Fat. Jauh-jauh
kok nggak disuruh mampir dulu?” Ledek Ayah “Harusnya dibikinkan minum teh dulu
buat hangat-hangat.”
“Kata Arshaf tadi
Ibunya mengamanatkan supaya jangan pulang terlalu larut, Ayah.”
Tepat di ruang tengah,
tempat yang biasa digunakan keluarga Fatimah menonton televisi sekaligus ajang
berkumpul keluarga setiap harinyalah sosok yang dicarinya berada. Fatimah pun
langsung menghamburkan pelukannya kepada sosok tersebut, melepas kangen yang ia
tahan selama 12 bulan, berada dalam dekapannya terasa begitu hangat dan nyaman,
mengetuk hati yang dirundung rindu membuat mata tak lagi tahan membendung
buliran bening yang kini telah menetes.
“Bunda, Fati kangen.” Rengeknya seperti biasa. “Sekarang Fati sudah pulang Bund.” Sosok yang dipanggil Bunda oleh Fatimah pun tersenyum melihat tingkah putri bungsunya tersebut. Senyum yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Senyum seorang wanita yang telah mengandung kita selama 9 bulan. Senyum dari hati yang tulus dan begitu hangat dilihat bak malaikat tanpa sayap. Senyum yang mampu menghilangkan lelah Fatimah usai 7 jam berada di perjalanan satu hari ini. “Bunda lekas sembuh yah?” Sambil melepas pelukannya dan menghapus air mata yang sempat menentes.
“Iya, nak. Alhamdulillah,
Bunda sudah mulai membaik, kok. Apalagi sekarang putri bungsu Bunda telah
pulang.” Kelembutan yang khas dari nada suara dan belaian tangannya mampu
mengobati kerinduan hatinya “Fati sudah sholat, belum?”
“Belum, Nda. Bunda tuh,
nggak boleh terlalu banyak beban pikiran. Fati sudah sering mengingatkan hal
itu kan?” Tanya Fatimah sembari beranjak ke kamar mandi. “Tapi Bunda sukanya nggak
mau menghiraukan Fati. Dibuat ndableg4
saja lho Nda, nggak apa kok.”
“iya Fatimah, kok
temanmu nggak disuruh mampir dulu tadi?”
“Ibunya mengamanatkan
supaya jangan pulang terlalu larut, Nda.” Seru Fatimah yang sedang mengambil wudhu. “Tapi tadi sempat titip salam
buat Ayah juga Bunda, doanya semoga Bunda lekas sembuh.”
“Wa’alaikummussalam. Salam
balik juga buat orang tua Arshaf dan terima kasih doanya.” Jawab Ibu Fatimah.
“Kasihan lho, Fat. Malam-malam dingin seperti ini, jauh pula kok disuruh
jemput.”
“Tadi Kak Moko
sebenarnya mau jemput, Nda. Tapi ada tugas mendadak dari juragannya suruh
mengantar barang.” Sahut Ayah yang duduk di sebelah Bunda “Bersyukur sajalah
teman-teman Fati itu baik hati juga ringan tenaga.”
* * *
Sekembalinya dari berwudhu dan menunaikan sholat Isya, Fatimah beranjak ke kamarnya dan membuka
tasnya. Tampak pada layar LCD handphone-nya
ada pemberitahuan SMS. Segera saja Fatimah buka dan membacanya.
“Assalamu’alaikum. Fatimah, maaf kalau tadi hape-ku sempat mati dan
membuatmu khawatir juga nunggu lama. Salam ya buat kedua orang tuamu, maaf gak
sempat mampir. Semoga ibumu lekas sembuh.”
Oh, ternyata SMS dari
Arshaf yang dikirim 30 menit lalu, itu berarti tepat setelah ia meninggalkan
rumah Fatimah. Mungkin Arshaf menyempatkan diri mengetik SMS di jalan ketika
lampu merah atau sebelumnya memang sudah direncanakannya.
Sambil berbaring
Fatimah pun mengetik SMS balasan. “Wa’alaikummussalam.
It’s OK. Makasih juga udah mau nolong. Salam balik kata Ayah Bunda. Maaf ya,
sering banget merepotkan, jangan kapok5 lho? Ngomong-ngomong, hati-hati
di jalan ya, Bang.” Usai mengetik balasan SMS, jari Fatimah segera memencet
tombol send to Arshaf.
Tak diduga Fatimah
segera mendapat balasan. “O.K. Senang bisa
membantu. Selagi ada waktu dan bisa, insyaAllah siap selalu. Jangan sungkan ya,
Fat. Hehe. Sip. Makasi.”
Fatimah yang segera
mendapat balasan SMS pun terheran, mengira-ngira keberadaan Arshaf saat ini.
Namun tetap membalas SMS-nya kembali. “Pasti
dong. Heheh. Arshaf juga ya, jangan sungkan kalau butuh bantuan. Hati-hati otw6
dan SMS kalau dah sampai.”
Kembali
Fatimah mendapat balasan SMS Arshaf. “Iya, Fatimah. Makasi. InsyaAllah
nanti aku sms kalau dah sampai.”
Fatimah
menduga-duga kalau Arshaf mungkin
sedang mampir di suatu tempat terlebih dahulu untuk membeli sesuatu bahan
oleh-oleh orang rumah, atau sengaja beristirahat sejenak dengan berkunjung ke
tempat teman-temannya biasa kongkow. Toh jarang-jarang Arshaf ke kota malam-malam, kebetulan rumahku dekat dengan
kongkowan mereka yang memang berada di kota kabupaten. Sebab tidak mungkin juga
Arshaf SMS-an dengan intensitas kecepatan
mengetik yang dibilang cepat saat mengendarai motor. Begitulah Fatimah
melogika.
“O.K. Ku tunggu kabarnya.”
Tepat
pukul 00.57 WIB handphone Fatimah
bergetar. “Alhamdulillah, ni aku dah
sampai, Fat.”
Fatimah
bergegas mengetik balasan. “Hamdalah.
Yupz, selamat beristirahat. Good night. Have a nice dream will be come true.”
“Aamiin ^^”
* * *
Hari
ini Fatimah tampak menikmati kegiatannya. Belanja pagi, membeli nasi rames,
gorengan, jajanan khas daerahnya, masak sekadarnya, bersih-bersih rumah, menyapu,
mengepel, mengelap kaca, cabut rumput. Seakan tiada hari esok untuk melakukan
semua hal tersebut.
Pukul
11.00 WIB semua kegiatan Fatimah telah selesai. Kini ia tengah leyeh-leyeh5 di depan
televisi sambil mengecek handphone
barangkali ada pesan. Benar adanya, terdapat tujuh pesan masuk dari
teman-temannya. Seperti kebanyakan remaja, liburan semester selalu digunakan
sebagai ajang temu kangen mereka dengan teman-teman daerah asal.
Pandangan
Fatimah terpusat pada satu pesan yang tidak biasanya. “Maaf, baru bales. Aamiin. Makasi, Fat.”
Seperti
mendapat kado ulang tahun saja ketika membaca pesan tersebut. “Yups. Btw,
udah mudik sejak kapan, Bang?” Selagi masih ada kesempatan menjalin silaturahim
maka Fatimah pun membalasnya.
“Lumayan lama sih, 1 minggy yang lalu. Kamu libur berapa
lama?” Betapa bahagianya hati Fatimah
mendapat balasan tersebut.
“Wah, senangnya. Heheh. InsyaAllah 2 minggu, Bang. Liburan sibuk apa, nih?” Adzan Dzuhur
berkumandang tepat setelah SMS balasan untuk Arshaf terkirim. Fatimah pun meletakkan handphonenya, tak lagi berharap segera mendapat balasan SMS Arshaf, sebab Fatimah tahu pasti bahwa Arshaf telah bersiap menunaikan panggilan-Nya. Seolah Fatimah
paham betul tentang Arshaf, meski ia
sadar masih banyak yang belum diketahuinya tentang Arshaf sesungguhnya. Terutama isi hatinya.
Fatimah
beranjak ke tempat tidur setelah sholat Dzuhur,
aktivitas hari ini cukup membuatnya kelelahan. Di tengah ia terlelap dari
tidurnya, setengah sadar Fatimah membaca balasan SMS Arshaf.
“Ya begitulah, hamdalah. J Syukuri saja Fat,
masih bisa menikmati libur. Hehe. Nggak sibuk kok, seperti biasanya saja. Kamu?”
Sengaja pesan dari Arshaf tidak segera di balas, ia justru melanjutkan tidur
siangnya.
Hingga
kini waktu telah mempersilahkan adzan Ashar
berkumandang. Fatimah pun terbangun dari tidurnya. Setelah mengambil handuk
bergegas mandi dan menunaikan kewajibannya, kini Fatimah menyempatkan diri
makan sambil menonton acara televisi sore hari. Yah, bersantai di sore hari
memang damai. Ia pun melirik handphone
kemudian jari jemarinya dengan lincah menari di atas keypad.
“Maaf, baru bales. Tadi Fati bobo siang syantik. Hoho. Yupz,
correct. I think, so am I. J”
Apapun
yang berhubungan dengan Arshaf
selalu bisa dimaklumi Fatimah, seperti sore ini ketika SMS tak kunjung mendapat
balasan. Jangankan tidak membalas, kebiasaan Arshaf jarang mengirim pesan terlebih dahulu saja dapat
dimengerti. Dan satu hari ini tidak diragukan lagi hingga nanti menjelang
tidurlah SMS menjadi pengantar meskipun saat ini balasan tak segera datang.
“Mungkin Arshaf sedang memersiapkan diri ke masjid hendak jama’ah
Maghrib.” Pikir Fatimah meski
tetap berharap.
Selalu.
Semampu mungkin Fatimah membiasakan diri positive
thinking. Toh, ia juga masih mengingat nasihat Arshaf suatu hari yang berujar bahwa Allah Maha Mengetahui,
sekali pun hanya dalam benak hati dan pikiran, maka selalu berpikir positiflah
agar Allah mengabulkannya.
Subhanallah kalimat
Arshaf tersebut, seketika menjatuhkan hati Fatimah yang
telah larut. Bukan karena Arshaf yang
berujar, namun memang benar adanya kalimat bijak tersebut. Larut dalam kisah
ini tak menjadikan logika Fatimah turut buta.
Jika
ada pertanyaan tentang alasan Fatimah bertahan menunggu hingga kini mungkin nothing. Fatimah sendiri tidak tahu
alasannya, sebenarnya tidak banyak yang ia ketahui tentang Arshaf kecuali tentangnya yang selalu mengutamakan panggilan
sholat dari pada mengerjakan soal Ujian Nasional. Atau tentangnya yang
mengingatkan Fatimah tentang perbedaan orang awam dan orang berpengetahuan
ialah orang awam tidur pada seperempat malam sedangkan orang berpengetahuan
bangun pada seperempat malam. Intinya, ia sedang mengingatkan Fatimah supaya
jangan terlalu sering begadang yang tidak ada gunanya. Tutur bahasanya selalu
mengandung makna berarti dan spesialnya jauh dari kesan menggurui.
Namun
semenjak malam itu, entah mengapa ada sesuatu yang berbeda di hati Fatimah. Mungkin
lelah, sehingga melemahlah rasa yang ada. Sekali pun tidak sekuat dulu lagi,
rasa untuk Arshaf masih mengakar
di hati Fatimah. Jika ada masa kadaluarsa maka waktu lima tahun sudah lebih
dari cukup untuk mengawetkannya. Entahlah, malam itu tidak hanya menyisakan cerita
yang disaksikan semesta juga keharuan bagi lelakonnya tetapi malam itu telah
menyisakan perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Selagi masih, nikmati saja
kisah roman yang masih disimpan pemiliknya. Toh cinta berbalut iman tak
memerlukan syarat maksiat, penentunya kelak akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar