Selasa, 22 Juli 2014

The Night Is Yet Young

Still Exist

“Belok kanan setelah masjid Bang.” Terdengar suara Fatimah memberi arahan dengan sisa perasaan yang berbeda. Entah mengapa.
“Oke. sudah tiba, Fat. Maaf nggak mampir ya, sudah larut malam. Kebetulan tadi izin dengan ibu juga nggak boleh terlalu larut.” Kata Arshaf.
“Beneran nih, nggak mau mampir dulu?” Fatimah meyakinkan kembali, sedangkan lubuk hatinya bertanyaan “Ada apa ini?”
“Iya, salam aja ya buat ibu Fatimah, semoga lekas sembuh. Dan sampaikan juga maafku ke orang tuamu.” Apa mau dikata jika Arshaf telah memutuskan demikian.
“Iya, terima kasih ya, Bang. Maaf, sudah merepotkan.” Kata Fatimah, menanggapi positif.
It’s okay.” Arshaf tersenyum “Well, I have to go home when you first enter.” Arshaf menyuruh Fatimah masuk rumah terlebih dahulu sebelum ia pulang “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikummussalam.”
*   *   *

Ayah Fatimah langsung menghampiri Fatimah dan menyambut kedatangan putri bungsunya ketika membuka pintu sembari mengucap salam. “Lho, Arshaf mana, Fat? kok nggak mampir dulu?”
“Langsung pamit tadi Yah, cuma titip salam buat Ayah juga Bunda.” Setelah mencium tangan ayah, Fatimah berlalu mencari sosok yang menjadi alasan utama Fatimah pulang dari kota pelajar tempat ia menuntut ilmu.
“Kasihan lho, Fat. Jauh-jauh kok nggak disuruh mampir dulu?” Ledek Ayah “Harusnya dibikinkan minum teh dulu buat hangat-hangat.”
“Kata Arshaf tadi Ibunya mengamanatkan supaya jangan pulang terlalu larut, Ayah.”
Tepat di ruang tengah, tempat yang biasa digunakan keluarga Fatimah menonton televisi sekaligus ajang berkumpul keluarga setiap harinyalah sosok yang dicarinya berada. Fatimah pun langsung menghamburkan pelukannya kepada sosok tersebut, melepas kangen yang ia tahan selama 12 bulan, berada dalam dekapannya terasa begitu hangat dan nyaman, mengetuk hati yang dirundung rindu membuat mata tak lagi tahan membendung buliran bening yang kini telah menetes.



“Bunda, Fati kangen.” Rengeknya seperti biasa. “Sekarang Fati sudah pulang Bund.” Sosok yang dipanggil Bunda oleh Fatimah pun tersenyum melihat tingkah putri bungsunya tersebut. Senyum yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Senyum seorang wanita yang telah mengandung kita selama 9 bulan. Senyum dari hati yang tulus dan begitu hangat dilihat bak malaikat tanpa sayap. Senyum yang mampu menghilangkan lelah Fatimah usai 7 jam berada di perjalanan satu hari ini. “Bunda lekas sembuh yah?” Sambil melepas pelukannya dan menghapus air mata yang sempat menentes.
“Iya, nak. Alhamdulillah, Bunda sudah mulai membaik, kok. Apalagi sekarang putri bungsu Bunda telah pulang.” Kelembutan yang khas dari nada suara dan belaian tangannya mampu mengobati kerinduan hatinya “Fati sudah sholat, belum?”
“Belum, Nda. Bunda tuh, nggak boleh terlalu banyak beban pikiran. Fati sudah sering mengingatkan hal itu kan?” Tanya Fatimah sembari beranjak ke kamar mandi. “Tapi Bunda sukanya nggak mau menghiraukan Fati. Dibuat ndableg4 saja lho Nda, nggak apa kok.”
“iya Fatimah, kok temanmu nggak disuruh mampir dulu tadi?”
“Ibunya mengamanatkan supaya jangan pulang terlalu larut, Nda.” Seru Fatimah yang sedang mengambil wudhu. “Tapi tadi sempat titip salam buat Ayah juga Bunda, doanya semoga Bunda lekas sembuh.”
“Wa’alaikummussalam. Salam balik juga buat orang tua Arshaf dan terima kasih doanya.” Jawab Ibu Fatimah. “Kasihan lho, Fat. Malam-malam dingin seperti ini, jauh pula kok disuruh jemput.”
“Tadi Kak Moko sebenarnya mau jemput, Nda. Tapi ada tugas mendadak dari juragannya suruh mengantar barang.” Sahut Ayah yang duduk di sebelah Bunda “Bersyukur sajalah teman-teman Fati itu baik hati juga ringan tenaga.”
*   *  *
Sekembalinya dari berwudhu dan menunaikan sholat Isya, Fatimah beranjak ke kamarnya dan membuka tasnya. Tampak pada layar LCD handphone-nya ada pemberitahuan SMS. Segera saja Fatimah buka dan membacanya.
Assalamu’alaikum. Fatimah, maaf kalau tadi hape-ku sempat mati dan membuatmu khawatir juga nunggu lama. Salam ya buat kedua orang tuamu, maaf gak sempat mampir. Semoga ibumu lekas sembuh.
Oh, ternyata SMS dari Arshaf yang dikirim 30 menit lalu, itu berarti tepat setelah ia meninggalkan rumah Fatimah. Mungkin Arshaf menyempatkan diri mengetik SMS di jalan ketika lampu merah atau sebelumnya memang sudah direncanakannya.
Sambil berbaring Fatimah pun mengetik SMS balasan. “Wa’alaikummussalam. It’s OK. Makasih juga udah mau nolong. Salam balik kata Ayah Bunda. Maaf ya, sering banget merepotkan, jangan kapok5 lho? Ngomong-ngomong, hati-hati di jalan ya, Bang.” Usai mengetik balasan SMS, jari Fatimah segera memencet tombol send to Arshaf.
Tak diduga Fatimah segera mendapat balasan. “O.K. Senang bisa membantu. Selagi ada waktu dan bisa, insyaAllah siap selalu. Jangan sungkan ya, Fat. Hehe. Sip. Makasi.”
Fatimah yang segera mendapat balasan SMS pun terheran, mengira-ngira keberadaan Arshaf saat ini. Namun tetap membalas SMS-nya kembali. “Pasti dong. Heheh. Arshaf juga ya, jangan sungkan kalau butuh bantuan. Hati-hati otw6 dan SMS kalau dah sampai.”
Kembali Fatimah mendapat balasan SMS Arshaf. “Iya, Fatimah. Makasi. InsyaAllah nanti aku sms kalau dah sampai.”
Fatimah menduga-duga kalau Arshaf mungkin sedang mampir di suatu tempat terlebih dahulu untuk membeli sesuatu bahan oleh-oleh orang rumah, atau sengaja beristirahat sejenak dengan berkunjung ke tempat teman-temannya biasa kongkow. Toh jarang-jarang Arshaf ke kota malam-malam, kebetulan rumahku dekat dengan kongkowan mereka yang memang berada di kota kabupaten. Sebab tidak mungkin juga Arshaf SMS-an dengan intensitas kecepatan mengetik yang dibilang cepat saat mengendarai motor. Begitulah Fatimah melogika.
O.K. Ku tunggu kabarnya.”
Tepat pukul 00.57 WIB handphone Fatimah bergetar. “Alhamdulillah, ni aku dah sampai, Fat.”
Fatimah bergegas mengetik balasan. “Hamdalah. Yupz, selamat beristirahat. Good night. Have a nice dream will be come true.”
“Aamiin ^^
*   *   *

Hari ini Fatimah tampak menikmati kegiatannya. Belanja pagi, membeli nasi rames, gorengan, jajanan khas daerahnya, masak sekadarnya, bersih-bersih rumah, menyapu, mengepel, mengelap kaca, cabut rumput. Seakan tiada hari esok untuk melakukan semua hal tersebut.
Pukul 11.00 WIB semua kegiatan Fatimah telah selesai. Kini ia tengah leyeh-leyeh5 di depan televisi sambil mengecek handphone barangkali ada pesan. Benar adanya, terdapat tujuh pesan masuk dari teman-temannya. Seperti kebanyakan remaja, liburan semester selalu digunakan sebagai ajang temu kangen mereka dengan teman-teman daerah asal.
Pandangan Fatimah terpusat pada satu pesan yang tidak biasanya. “Maaf, baru bales. Aamiin. Makasi, Fat.”
Seperti mendapat kado ulang tahun saja ketika membaca pesan tersebut. “Yups. Btw, udah mudik sejak kapan, Bang?” Selagi masih ada kesempatan menjalin silaturahim maka Fatimah pun membalasnya.
“Lumayan lama sih, 1 minggy yang lalu. Kamu libur berapa lama?” Betapa bahagianya hati Fatimah mendapat balasan tersebut.
“Wah, senangnya. Heheh. InsyaAllah 2 minggu, Bang.  Liburan sibuk apa, nih?” Adzan Dzuhur berkumandang tepat setelah SMS balasan untuk Arshaf terkirim. Fatimah pun meletakkan handphonenya, tak lagi berharap segera mendapat balasan SMS Arshaf, sebab Fatimah tahu pasti bahwa Arshaf telah bersiap menunaikan panggilan-Nya. Seolah Fatimah paham betul tentang Arshaf, meski ia sadar masih banyak yang belum diketahuinya tentang Arshaf sesungguhnya. Terutama isi hatinya.
Fatimah beranjak ke tempat tidur setelah sholat Dzuhur, aktivitas hari ini cukup membuatnya kelelahan. Di tengah ia terlelap dari tidurnya, setengah sadar Fatimah membaca balasan SMS Arshaf.
Ya begitulah, hamdalah. J Syukuri saja Fat, masih bisa menikmati libur. Hehe. Nggak sibuk kok, seperti biasanya saja. Kamu?” Sengaja pesan dari Arshaf tidak segera di balas, ia justru melanjutkan tidur siangnya.
Hingga kini waktu telah mempersilahkan adzan Ashar berkumandang. Fatimah pun terbangun dari tidurnya. Setelah mengambil handuk bergegas mandi dan menunaikan kewajibannya, kini Fatimah menyempatkan diri makan sambil menonton acara televisi sore hari. Yah, bersantai di sore hari memang damai. Ia pun melirik handphone kemudian jari jemarinya dengan lincah menari di atas keypad.
“Maaf, baru bales. Tadi Fati bobo siang syantik. Hoho. Yupz, correct. I think, so am I. J
Apapun yang berhubungan dengan Arshaf selalu bisa dimaklumi Fatimah, seperti sore ini ketika SMS tak kunjung mendapat balasan. Jangankan tidak membalas, kebiasaan Arshaf jarang mengirim pesan terlebih dahulu saja dapat dimengerti. Dan satu hari ini tidak diragukan lagi hingga nanti menjelang tidurlah SMS menjadi pengantar meskipun saat ini balasan tak segera datang.
Mungkin Arshaf sedang memersiapkan diri ke masjid hendak jama’ah Maghrib.” Pikir Fatimah meski tetap berharap.
Selalu. Semampu mungkin Fatimah membiasakan diri positive thinking. Toh, ia juga masih mengingat nasihat Arshaf suatu hari yang berujar bahwa Allah Maha Mengetahui, sekali pun hanya dalam benak hati dan pikiran, maka selalu berpikir positiflah agar Allah mengabulkannya.
Subhanallah kalimat Arshaf tersebut, seketika menjatuhkan hati Fatimah yang telah larut. Bukan karena Arshaf yang berujar, namun memang benar adanya kalimat bijak tersebut. Larut dalam kisah ini tak menjadikan logika Fatimah turut buta.
Jika ada pertanyaan tentang alasan Fatimah bertahan menunggu hingga kini mungkin nothing. Fatimah sendiri tidak tahu alasannya, sebenarnya tidak banyak yang ia ketahui tentang Arshaf kecuali tentangnya yang selalu mengutamakan panggilan sholat dari pada mengerjakan soal Ujian Nasional. Atau tentangnya yang mengingatkan Fatimah tentang perbedaan orang awam dan orang berpengetahuan ialah orang awam tidur pada seperempat malam sedangkan orang berpengetahuan bangun pada seperempat malam. Intinya, ia sedang mengingatkan Fatimah supaya jangan terlalu sering begadang yang tidak ada gunanya. Tutur bahasanya selalu mengandung makna berarti dan spesialnya jauh dari kesan menggurui.
Namun semenjak malam itu, entah mengapa ada sesuatu yang berbeda di hati Fatimah. Mungkin lelah, sehingga melemahlah rasa yang ada. Sekali pun tidak sekuat dulu lagi, rasa untuk Arshaf masih mengakar di hati Fatimah. Jika ada masa kadaluarsa maka waktu lima tahun sudah lebih dari cukup untuk mengawetkannya. Entahlah, malam itu tidak hanya menyisakan cerita yang disaksikan semesta juga keharuan bagi lelakonnya tetapi malam itu telah menyisakan perasaan yang berbeda dari sebelumnya. Selagi masih, nikmati saja kisah roman yang masih disimpan pemiliknya. Toh cinta berbalut iman tak memerlukan syarat maksiat, penentunya kelak akhirat.                                                      

by: Melpunkzs
to be continued



Tidak ada komentar:

Posting Komentar