Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Oktober 2014

Jodoh Untuk Fatimah

Sore itu seperti biasanya aku berjalan dengan membawa keranjang kosong. Senyum mengembang dari bibirku. “Alhamdulilah, terima kasih atas rizki yang telah engkau berikan, ya Allah.” Fatimah lega. Kue kue yang ia titipkan di pasar telah laku habis terjual. Biasanya pagi hari ia membuat kue dan ia titipkan di pasar dan sore harinya setelah mengajar ia mengambil dagangannya di pasar. Dan sore ini ia bisa membawa sedikit rezeki untuk Ibu dan adik-adiknya.
“Mak, aku pulang.” Fatimah memasuki rumah dan mencari ibunya. Perempuan itu sedang sibuk di dapur. Bergelut dengan asap dan keringat yang mengucur.
“Sudah pulang, Imah. Bagaimana daganganmu?” Ibunya selalu berharap kalau kue-kue itu habis terjual.
“Alhamdulilah, Mak. Laku semua.” Fatimah berkata dengan penuh sumringah. Ibunya lega karena baginya kue kue itu adalah penyambung hidupnya bersama Fatimah dan ketiga adik Fatimah.
Fatimah adalah gadis yang cerdas, ulet, pekerja keras, dan sholehah. Tumbuh dibesarkan oleh lingkungan Muhammadiyah menjadikannya ia gadis yang cerdas dan taat kepada Allah. Setiap sore Ia juga mengajar membaca Al Qur’an untuk anak-anak TK Muhammadiyah. Namun gajinya tidak seberapa. Kue-kue itu tetap menjadi penyambung hidup untuk ibunya dan ketiga adik-adiknya.
“Jadi, kapan kamu akan mengenalkan calonmu kepada emak?” 

Selasa, 30 September 2014

Terima Kasih, Ibu

Waktu pulang dari kampus, jam menunjukkan pukul satu siang. Hari sangat panas. Ingin rasanya menenggelamkan diriku di air es. Aku berjalan di gang kecil melewati bangunan-bangunan tua yang mulai rusak akibat termakan waktu. Sesekali aku berhenti untuk membenarkan posisi ranselku karena ransel yang aku bawa cukup berat. Aku mencoba menahan lelahku karena tak berapa lama lagi aku akan sampai di kos-kosanku.
Tepat di sudut gang yang menuju kearah kosku aku berhenti. Tatapanku tak beralih dari sosok perempuan berusia sekitar 40 tahun yang sedang menggendong anak laki-laki yang bertubuh kurus. Mereka berjarak sekitar 20 meter dari tempat aku berdiri. Mengenakan pakaian lusuh, berjalan tanpa alas kaki. Sesaat berhenti membetulkan posisi anak yang digendongnya. Kemudian perempuan tersebut berhenti di depan tumpukan sampah yang terletak di tepi jalan. Terlihat dia mencari sesuatu di tumpukan sampah. Perempuan tersebut menemukan sebuah kotak yang kupikir berisi makanan sisa. Perempuan tersebut tersenyum dan menurunkan anaknya. Lalu perempuan tersebut duduk di samping anaknya.
Satu hal yang membuat aku tertegun adalah ternyata kaki anak laki-laki tersebut lumpuh. Anak laki-laki tersebut hanya diam dan melihat ke arah perempuan di sampingnya dengan penuh harap. Perempuan tersebut membuka kotak makanan dan memberikan makanan sisa pada anak laki-laki itu. Tetapi anak laki-laki tersebut menggeleng.
 “Ayo, makan.” Ucap perempuan tersebut dengan lembut.
“Tidak mau! Nasinya bau!” Teriak anak laki-laki sambil menghalangi kotak nasi dengan tangan.
“Tidak, anakku. Ini hanya kamu belum merasakannya saja, enak sekali.” Kata perempuan itu sambil tersenyum dan memasukkan nasi ke mulutnya.
Aku melihat perempuan tersebut memaksakan nasi masuk ke dalam perutnya. Aku pikir benar apa yang dikatakan anak laki-laki itu, nasi yang berada di kotak tersebut memang sudah basi.
“Ibu, cukup! Jangan berbohong lagi!” Kata anak laki-laki itu, lalu merebut kotak nasi dan dilempar ke tempat sampah lagi. “Seharusnya ibu makan makanan yang sehat. Maafkan aku ibu, gara-gara aku, ibu jadi menderita.” Lanjutnya lagi.

Jumat, 26 September 2014

Rindu Dalam Selembar Surat

Malam itu bintang terkikik geli. Entahlah mereka menertawakanku atau mereka ikut tertawa dalam candaan kami yang tiada henti sejak magrib berkumandang. Malam itu merupakan pertemuan kami setelah 6 bulan terpisah karena mengambil universitas yang berbeda. Fatin menceritakan pertemuannya dengan seorang lelaki yang sanggup mengalihkan perhatiannya. Sementara aku?

Fatin    : “Sudah, lupakan saja!”
Raafi   : (terdiam)
Fatin    : “Tidak ada yang menjamin dia setia padamu.”
Raafi   : “Tidak bisa. Lihatlah kata kata ini!” (menunjukkan handphone-nya).
Fatin    : “Hanya omong kosong!”
Raafi   : “Minggu lalu dia juga mengirim surat ini. Biar ku bacakan…”

Minggu, 06 Juli 2014

Larut di Ujung Kanvas

Saat butiran embun membasahi daun dan mentari menyesaki udara, menyentuh lembutnya kabut dan embun yang membasahi kulit-kulit daun, menjadikan berkilauan bak berlian di pagi yang cerah ini. Saat ku menikmati indahnya alam pagi ini, tiba-tiba ia mengagetkanku.
“Lihat itu, Ran. Apa kau ingat anak itu?” dia menunjuk pada anak laki-laki yang sedang menggambar di pinggir danau. Aku belum sempat terpikir apa yang Leya maksud dengan pertanyaan itu. Namun sejenak kulihat dengan seksama anak itu, tiba-tiba sekilas kembali ke 10 tahun silam ku ingat masa kecilku, ya cinta pertamaku. Leya memang sahabatku dari kecil, bahkan dia lebih ingat dengan semua itu daripada diriku sendiri.
“Oh iya, ternyata kau ingat, anak itu sekarang dimana ya, Ley?” Tanyaku padanya. Pagi yang sangat cerah itu membawa ku kembali pada kenangan lampau yang sangat lucu. Cinta itu tumbuh begitu saja entah karena kekagumanku atau hal lain. Dia salah satu anak berprestasi dalam melukis. Seakan dia melukis setiap sudut di langit-langit hatiku saat itu. Hari pertama di sekolah, hujan gerimis, aku dan Leya menunggu redanya rintik hujan.

Selasa, 24 Juni 2014

Suratku Untukmu

            Aku membetulkan tas ransel euro polo coklat berisikan laptop dan beberapa buku ilmu hukum beserta kamusnya yang sedikit mengganggu pundak. Kakiku sudah mulai pegal menunggu bus yang seharusnya sudah lewat beberapa menit lalu dan mengantarku ke kampus. Namun, aku juga tidak bisa menyalahkan si sopir ataupun siapa saja karena ini memang kesalahanku yang bangun kesiangan. Begadang semalaman bersama teman-teman untuk mengerjakan laporan untuk dipresentasikan di depan dosen sudah bisa membuat sakit kepalaku belum hilang sampai sekarang. Kulihat, seorang ibu yang berdiri di sampingku sedari tadi juga sudah mulai melihat-lihat jam tangannya. Di depanku, suasana ramai toko Joger sudah menjadi sarapan setiap pagi bagi mahasiswa yang kuliah di Bali. Toko itu tidak pernah sepi. Toko khas Bali itu menjual berbagai pakaian dan tas dengan harga tinggi. Tapi, tetap saja pembeli yang berkunjung tidak menurun. Sekilas, aku juga melihat tukang pos yang memarkir motornya di depan salah satu rumah di samping toko Joger. Bicara tentang surat, itu mengingatkanku pada suatu kejadian.

Kamis, 19 Juni 2014

True Love


Suatu sore yang cerah terlihat dari jendela sebuah kamar seorang cewek yang bernama Indah. Saat sedang berbaring di atas kasurnya tiba-tiba dia memandang sebuah bingkai biru di atas meja sebelah tempat tidurnya. Dia tersenyum melihat benda yang ada dalam bingkai itu, bukan foto ataupun lukisan. Hanya sebuah kertas lusuh bergambar mobil. Kertas yang Indah robek dari buku gambar milik seorang cowok 2 tahun lalu saat perpisahan SMA. Cowok itu sama sekali tidak tahu indah merobek buku gambarnya. Bahkan, mungkin dia tidak mengenal Indah. Indah hanya satu dari ratusan penggemarnya di sekolah.

Rabu, 11 Juni 2014

Lorong Gelap


            Pembunuhan itu terjadi sekitar 30 tahun yang lalu. Pak Iman yang melihat kejadian sadis itu diminta untuk tutup mulut oleh pemimpin universitas. Pak Iman pun langsung pergi dari tempat itu dan segera berkemas untuk pulang ke kampung halamannya. Dia tidak mau tahu lagi tentang masa lalu itu dan menganggap itu hanya mimpi buruk.
            Seiring berjalannya waktu kejadian itu hilang kabarnya. Kampus itu pun berjalan seperti biasa dan mengalami kemajuan. Bertahun-tahun kisah itu terkubur dalam tanpa seorang pun yang mengusiknya. Hingga pada satu angkatan kejadian itu kembali muncul, sepertinya dia ingin meminta balas atas perlakuan yang menimpanya waktu itu. Dia masih belum tenang, dia masih menyimpan dendam kepada orang yang telah menyakitinya.
            Awalnya kejadian itu dirasakan oleh mahasiswa baru yang sedang menjalani masa ospek. Mahasiswa itu adalah Jojo, Tata, Angga, Tia dan Kristy. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya. Jojo bisa melihat makhluk halus tanpa perantara. Tata bisa melihat kejadian pada masa lampau. Angga bisa berkomunikasi dengan makhluk halus. Kemudian Tia bisa mendengar bisikan serta ucapan yang diucapkan oleh makhluk halus itu. Sedangkan Kristy dapat merasakan keberadaan makhluk halus itu tanpa memperlihatkan wujud.
            Mereka dipertemukan dalam satu jurusan yang sama dan pasti memiliki tujuan yang sama. Mereka sebelumnya tidak saling mengenal, namun karena kemampuan yang mereka miliki. Mereka diperkenalkan tanpa sengaja.

Minggu, 08 Juni 2014

Neng Vidi

 Aku rasa hidup itu seperti kanvas, dan kitalah pelukisnya.
mau seperti apa hidup kita, mau diberi warna apa, jawabannya ada pada diri kita,
dan aku Vidi memilih melukiskan pelangi dihidupku.

Menatap kosong kearah jendela yang berembun karena rintikan hujan, memainkan jemari-jemariku, dikaca berembun, memandangi tiap tetesnya yang mengalir lembut, kau takkan pernah tahu bagaimana irama rintiknya begitu damai amat menenangkan, betapa sejuknya menembus hingga ke ujung jari-jemariku bahkan membuat syal ini senantiasa melekat erat dileherku, aku ingin sekali berlari menjemputnya, menikmati tiap tetes rinainya dan menari bersama. Ah! Sudahlah aku bermimpi rupanya, bukankah terakhir kali aku mencoba hal yang sama tapi aku justeru menjatuhkan diriku kelantai

Sabtu, 31 Mei 2014

Cerita Untuk Rassya


Aku melihat ibu sedang menahan nafasnya. Mata bulat itu memandang ke samping rumah memperhatikan adik kecilku Rassya yang sedang bermain dengan teman sebayanya. Hari makin panas. Ibu sudah berkali-kali meneriaki Rassya yang tak kunjung masuk ke rumah. Anak itu memang agak nakal, tubuhnya kurus tapi lincah, lidahnya tajam. Sebagai anak bungsu tidak mengherankan jika ia manja dan kadang-kadang suka membantah perkataan ibu. Sekali waktu aku pernah menasihatinya saat ibu sudah lelah dari pagi hingga sore bekerja di klinik sebagai perawat gigi dan ketika pulang harus mendapati perilaku Rassya yang amat menyebalkan itu.
“Rassya tuh gak boleh nakal, kasihan ibu dan ayah setiap hari bekerja untuk Rassya supaya Rassya bisa sekolah, bisa makan, bisa beli mainan. Tapi waktu sampai rumah malah Rassya main kemana-mana tidak mau nurut kalau disuruh pulang. Kasihan ibu, Sya.” Aku katakan hal itu padanya dan untuk kesekian kalinya dalam 2 minggu. Tetap saja ia membandel.  Berbeda denganku dan Raihan kami selalu menuruti apa kata ibu, tidak pernah main keluar rumah. Maka para tetangga pernah menyangka kami anak yang sombong. Padahal sebenarnya tidak. Kami hanya terlalu malu untuk bermain. Kami lebih suka membaca buku dirumah atau menonton TV.
”Raisa cepat jemput adikmu, kepala ibu pusing. Lihatlah badannya sudah berkeringat.” perintah ibu sambil memijiat kening keriputnya. Oh ibu kami tak tahu perasaanmu melihat tingkah kami yang berbeda-beda ini.

Rabu, 28 Mei 2014

Samudera Mencari Ide

            Samudera masih bengong terpaku di depan layar datar laptop Toshiba warna hitam miliknya. Layar datar perangkat komputer itu menampilkan sebuah halaman ibarat kertas putih bersih yang tak berhuruf apatah lagi berkalimat. Pemuda tanggung itu sudah sejak 5 menit yang lalu menatap kosong halaman Microsoft Word yang masih putih bersih tanpa noda dan cela tersebut. Padahal kedua bola matanya sudah perih dan kering sebab dihembus-hembus angin buatan yang ditiup kipas angin mungil berwarna hijau dari balik layar laptop-nya. Namun tak sejengkalpun ia bergerak untuk mematikan kipas angin tersebut dengan alasan gerah. Lagipula, siapa yang tahu jika tahu-tahu nantinya angin segar dari kipas angin hijau mungil itu bakal mendatangkan sebuah ide brilian untuknya? Siapa yang tahu jika nanti tahu-tahu ia akan langsung bisa menghajar habis proyek yang tenggat hari Kamis besok ini seketikanya bila ia mendapatkan ide tersebut. Siapa yang tahu?
            Tapi, ini sudah dua jam sejak Samudera berniat untuk mengakhiri perjalanannya di lini masa akun Facebook-nya sendiri. Tentu saja niat itu bukan sekedar wacana, ia benar-benar melaksanakan niatnya tersebut. Selain lini masanya sudah mulai menyepi sebab waktu setempat sudah menunjukkan pukul tengah malam lebih dua-puluh menit, ia juga sudah diserang rasa sadar dan tanggung jawab akan proyeknya tersebut. Hm, pikirnya mungkin dengan menghentikan perjalanan berselancarnya di dunia maya tersebut ia akan segera mendapatkan ide agar bisa segera memulai proyeknya. Ya, memulai. Pemuda tanggung itu bahkan belum memulai proyeknya! Lantas bagaimana bisa ia menyelesaikan proyeknya sedang memulainya saja belum? Aduh, biyung-biyung!

Sabtu, 24 Mei 2014

Amanah di Ujung Fajar


Sore itu Senja masih kuning kemerah-merahan, terdengar suara adzan berkumandang di masjid kampus kami. Seperti biasa aku dan sahabatku masih asyik bercanda di kampus tercinta. Aku kenalkan sahabat-sahabt dekatku. Pertama Kiki, dia adalah seorang cowok pendiam, baik, pemikir, rela berkorban demi teman, gokil, dia juga peka , dan dia juga sok cool banget. Kedua adalah Viki, dia adalah cewek tomboy tapi alay, tetapi hatinya lembut sekaligus kepo abis, dia punya suara paling lantang dan paling bak-blakan diantara kami berempat, disamping dia kepo dia juga perhatian sama teman, dia jaga super gokil, dan dia paling banyak pengalaman tentang cinta jadi dia cocok jadi psikolog cinta untuk kami bertiga.

Nah yang ketiga ini adalah musuh bebuyutanku namanya adalah Rani, dia orangnya tuh pemikir banget banget, kadang dia jatuh di lubang yang sama, tetapi dia tuh mau mencoba untuk jadi lebih baik lagi, kemauannya tinggi, tapi kadang kurang istiqomah, dan konsistensinya kadang goyah, padahal awalnya sudah bagus banget, dia juga perhatian, dia juga sok tau, terus sering mutung, terus super cerewet, yang pastinnya dia adalah kawan sekaligus lawan bebuyutanku dalam debate everything. Pokoknya kalau bertemu dia dunia seakan-akan perang dunia berlanjut lagi, apa lagi kalo udah kumpul berempat pecah sudah perang dunia ke 3. Hehehe..

Seperti biasa walaupun nggak sekelas setelah kuliah kami sering menyempatkan kumpul-kumpul bareng sekedar untuk tukar pikiran, lepas penat atau hanya bercanda sambil makan saja. Sore itu percakapan kami pun sangat ramai.

“Bul, kita mau makan dimana nih..?” tanya Rani.

“Eeem… kemana ya Ran enaknya? Kemarin udah di angkringan Bu Sugeng kan? Apa mau disitu lagi?” tanyaku.