Saat butiran embun membasahi daun
dan mentari menyesaki udara, menyentuh lembutnya kabut dan embun yang membasahi
kulit-kulit daun, menjadikan berkilauan bak berlian di pagi yang cerah ini.
Saat ku menikmati indahnya alam pagi ini, tiba-tiba ia mengagetkanku.
“Lihat itu, Ran. Apa kau ingat anak
itu?” dia menunjuk pada anak laki-laki yang sedang menggambar di pinggir danau.
Aku belum sempat terpikir apa yang Leya maksud dengan pertanyaan itu. Namun
sejenak kulihat dengan seksama anak itu, tiba-tiba sekilas kembali ke 10 tahun
silam ku ingat masa kecilku, ya cinta pertamaku. Leya memang sahabatku dari
kecil, bahkan dia lebih ingat dengan semua itu daripada diriku sendiri.
“Oh iya, ternyata kau ingat, anak
itu sekarang dimana ya, Ley?” Tanyaku padanya. Pagi yang sangat cerah itu
membawa ku kembali pada kenangan lampau yang sangat lucu. Cinta itu tumbuh
begitu saja entah karena kekagumanku atau hal lain. Dia salah satu anak
berprestasi dalam melukis. Seakan dia melukis setiap sudut di langit-langit
hatiku saat itu. Hari pertama di sekolah, hujan gerimis, aku dan Leya menunggu
redanya rintik hujan.
Tak sengaja ku lihat dia duduk dengan tenang menunggu hujan sambil menggambar, ya dia memegang kertas gambar dan kanvas tak sadar saat kuperhatikan dia melihatku kupalingkan wajah dengan malu. Mulai saat itu tumbuhlah cinta pertamaku. Lucunya saat itu aku tak mengerti apa itu cinta.
Dia sering kupanggil Kak Kanvas. Dia
memiliki nama asli Ruby, kakak tingkatku dan Leya. Walau pada kenyataannya Kak Kanvas
merupakan rivalku namun Leya tahu hatiku berkata apa pada Kak Kanvas. Siang itu
aku sangat khawatir akan terlambat sampai di rumah. Ada janji penting dengan
sepupuku Rein yang datang dari Sumatra aku harus bergegas pulang. Leya
kebetulan pulang lebih dulu karena aku masih ada yang harus diselesaikan. Tiba-tiba
saja ada tangan memberiku payung yang telah terbuka tepat di depan wajahku ada seseorang
di balik payung itu.
“Sepertinya kau begitu terburu-buru
harus pulang, ini kupinjami payung.” Kak Kanvas menawariku.
Deg…. Baru kali ini rivalku berbaik
hati padaku, membuat aku semakin berbunga dan gugup menghadapinya.
“Ooh, Kak Ruby. iya kak tapi nanti
kakak bagaimana pulang?” tanyaku.
“Tenang aku membawa satu lagi di
tas.” Jawabnya sigap. Dalam hati aku percaya saja dengannya, lagi pula memang
aku harus segera sampai di rumah.
Keesokan harinya aku mencari Kak Kanvas
untuk mengembalikan payungnya ternyata dia tidak masuk karena demam. Dari hal
itu aku merasa bersalah berarti dia kemarin hujan-hujan basah kuyup saat
pulang, demi meminjamiku payung.
Hari berikutnya aku bertemu dengan
dia dan kuucapkan terima kasih banyak atas pinjamannya. Dia pun ingin
mengatakan sesuatu saat itu. Aku heran hal apa yang penting untuk dikatakan
padaku.
Dia berkata bahwa besok lusa dia
akan berangkat ke Austria, ia mendapat beasiswa karena kehebatannya dalam
melukis. Aku begitu sedih kenapa dia memberi ucapan perpisahan dengan begitu
baik, aku menahan air mataku saat itu.
“Wah… hebat. Kakak hati-hati, ya. Semoga
sukses selalu, jangan lupakan kami ya, dan… cepat kembali.” Dua kata terakhirku
begitu lirih kuucap.
Kak Kanvas menjawabnya dengan
senyum dan berkata, “Tetap jaga keceriaanmu ya, Ran. Aku akan segera kembali.”
Saat itulah terakhir kali ku
berbincang dengannya. Aku menjalani hidupku dengan ceria, dan entah apa kabar Kak
Kanvas sekarang. Cerita cinta ini hanya sampai di ujung kanvas tidak lebih.
By: Ran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar