Minggu, 06 Juli 2014

Larut di Ujung Kanvas

Saat butiran embun membasahi daun dan mentari menyesaki udara, menyentuh lembutnya kabut dan embun yang membasahi kulit-kulit daun, menjadikan berkilauan bak berlian di pagi yang cerah ini. Saat ku menikmati indahnya alam pagi ini, tiba-tiba ia mengagetkanku.
“Lihat itu, Ran. Apa kau ingat anak itu?” dia menunjuk pada anak laki-laki yang sedang menggambar di pinggir danau. Aku belum sempat terpikir apa yang Leya maksud dengan pertanyaan itu. Namun sejenak kulihat dengan seksama anak itu, tiba-tiba sekilas kembali ke 10 tahun silam ku ingat masa kecilku, ya cinta pertamaku. Leya memang sahabatku dari kecil, bahkan dia lebih ingat dengan semua itu daripada diriku sendiri.
“Oh iya, ternyata kau ingat, anak itu sekarang dimana ya, Ley?” Tanyaku padanya. Pagi yang sangat cerah itu membawa ku kembali pada kenangan lampau yang sangat lucu. Cinta itu tumbuh begitu saja entah karena kekagumanku atau hal lain. Dia salah satu anak berprestasi dalam melukis. Seakan dia melukis setiap sudut di langit-langit hatiku saat itu. Hari pertama di sekolah, hujan gerimis, aku dan Leya menunggu redanya rintik hujan.


Tak sengaja ku lihat dia duduk dengan tenang menunggu hujan sambil menggambar, ya dia memegang kertas gambar dan kanvas tak sadar saat kuperhatikan dia melihatku kupalingkan wajah dengan malu. Mulai saat itu tumbuhlah cinta pertamaku. Lucunya saat itu aku tak mengerti apa itu cinta.
Dia sering kupanggil Kak Kanvas. Dia memiliki nama asli Ruby, kakak tingkatku dan Leya. Walau pada kenyataannya Kak Kanvas merupakan rivalku namun Leya tahu hatiku berkata apa pada Kak Kanvas. Siang itu aku sangat khawatir akan terlambat sampai di rumah. Ada janji penting dengan sepupuku Rein yang datang dari Sumatra aku harus bergegas pulang. Leya kebetulan pulang lebih dulu karena aku masih ada yang harus diselesaikan. Tiba-tiba saja ada tangan memberiku payung yang telah terbuka tepat di depan wajahku ada seseorang di balik payung itu.
“Sepertinya kau begitu terburu-buru harus pulang, ini kupinjami payung.” Kak Kanvas menawariku.
Deg…. Baru kali ini rivalku berbaik hati padaku, membuat aku semakin berbunga dan gugup menghadapinya.
“Ooh, Kak Ruby. iya kak tapi nanti kakak bagaimana pulang?” tanyaku.
“Tenang aku membawa satu lagi di tas.” Jawabnya sigap. Dalam hati aku percaya saja dengannya, lagi pula memang aku harus segera sampai di rumah.
Keesokan harinya aku mencari Kak Kanvas untuk mengembalikan payungnya ternyata dia tidak masuk karena demam. Dari hal itu aku merasa bersalah berarti dia kemarin hujan-hujan basah kuyup saat pulang, demi meminjamiku payung. 
Hari berikutnya aku bertemu dengan dia dan kuucapkan terima kasih banyak atas pinjamannya. Dia pun ingin mengatakan sesuatu saat itu. Aku heran hal apa yang penting untuk dikatakan padaku.
Dia berkata bahwa besok lusa dia akan berangkat ke Austria, ia mendapat beasiswa karena kehebatannya dalam melukis. Aku begitu sedih kenapa dia memberi ucapan perpisahan dengan begitu baik, aku menahan air mataku saat itu.
“Wah… hebat. Kakak hati-hati, ya. Semoga sukses selalu, jangan lupakan kami ya, dan… cepat kembali.” Dua kata terakhirku begitu lirih kuucap.
Kak Kanvas menjawabnya dengan senyum dan berkata, “Tetap jaga keceriaanmu ya, Ran. Aku akan segera kembali.”
Saat itulah terakhir kali ku berbincang dengannya. Aku menjalani hidupku dengan ceria, dan entah apa kabar Kak Kanvas sekarang. Cerita cinta ini hanya sampai di ujung kanvas tidak lebih.

By: Ran


Tidak ada komentar:

Posting Komentar