Selasa, 24 Juni 2014

Suratku Untukmu

            Aku membetulkan tas ransel euro polo coklat berisikan laptop dan beberapa buku ilmu hukum beserta kamusnya yang sedikit mengganggu pundak. Kakiku sudah mulai pegal menunggu bus yang seharusnya sudah lewat beberapa menit lalu dan mengantarku ke kampus. Namun, aku juga tidak bisa menyalahkan si sopir ataupun siapa saja karena ini memang kesalahanku yang bangun kesiangan. Begadang semalaman bersama teman-teman untuk mengerjakan laporan untuk dipresentasikan di depan dosen sudah bisa membuat sakit kepalaku belum hilang sampai sekarang. Kulihat, seorang ibu yang berdiri di sampingku sedari tadi juga sudah mulai melihat-lihat jam tangannya. Di depanku, suasana ramai toko Joger sudah menjadi sarapan setiap pagi bagi mahasiswa yang kuliah di Bali. Toko itu tidak pernah sepi. Toko khas Bali itu menjual berbagai pakaian dan tas dengan harga tinggi. Tapi, tetap saja pembeli yang berkunjung tidak menurun. Sekilas, aku juga melihat tukang pos yang memarkir motornya di depan salah satu rumah di samping toko Joger. Bicara tentang surat, itu mengingatkanku pada suatu kejadian.

            
 Sembari melihat jam tangan, tiba-tiba ingatanku melayang jauh ke belakang, saat aku berumur 11 tahun. Saat itu, sekolah kami mengadakan rekreasi perpisahan SD ke Yogyakarta. Kami yang masih anak-anak sangat senang dengan adanya rekreasi itu karena Yogyakarta terkenal dengan Kraton dan Kesultanannya dan pasti sangat menyenangkan bisa berbelanja di Malioboro. Rekreasi itu diadakan bulan Agustus. Aku masih sangat mengingatnya karena bulan itu bertepatan dengan ulang tahun anak laki-laki yang kusukai sejak kelas 5 SD. 
            Aku yang masih lugu mengalami cinta pertama, meskipun itu hanyalah cinta monyet. Mengingat diriku saat itu selalu membuatku tersenyum. Anak laki-laki itu bernama Adam. Dia anak yang manis, meskipun kulitnya tidak terlalu putih. Kecap Bango kalau orang sekarang mengatakannya. Dia anak laki-laki yang pintar di kelasku, dan terlihat cukup cool karena jarang sekali bicara kecuali dengan teman yang benar-benar akrab dengannya. Aku menyukainya saat itu, dan aku memberanikan diri untuk menyerahkan sebuah surat cinta saat malam terakhir kami menginap di Yogyakarta. Meskipun, akhirnya, karena terlalu takut dan gugup, aku tidak bisa menyerahkannya secara langsung dan hanya diam-diam menaruh surat itu di tempat kacamata yang ditinggalkan di kamarnya.
            Beberapa hari setelah penyerahan surat itu, kami wisuda. Tapi, tidak ada satu patah kata pun yang diucapkan Adam. Aku mulai ragu apakah surat itu sampai padanya atau tidak. Namun, aku juga terlalu takut untuk menanyakannya. Seperti itulah. Pernyataan cintaku untuk pertama kalinya hanya berkhir seperti itu. Meskipun sampai sekarang, aku masih merasakan penyesalan. Membayangkan di mana Adam sekarang? Aku sama sekali tidak pernah mendengar kabarnya setelah wisuda SD. Apakah dia masih di Palembang? Ataukah dia keluar meninggalkan Palembang sepertiku? Entahlah.
            Tiba-tiba lamunanku dibuyarakan oleh sosok yang tidak sengaja tertangkap mata dan berada di dalam toko Joger. Sosok seorang laki-laki memakai jaket orens khas Joger yang sedang memilih tas. Meskipun wajah laki-laki itu terlihat dari samping, aku bisa menebak siapa dia. Aku melihat jam tangan. Masih 30 menit sebelum kelas pagi ini dan masih 20 menit kalau dipotong waktu perjalanan. Aku menyeberang jalan. Beberapa bis pariwisata mini yang akan membawa wisatawan ke pantai Kuta menekan klaksonnya karena aku menyeberang dengan berlari. Tapi, aku tidak memeperdulikannya. Adrenalinku terasa memuncak dan otakku terus menyuruh agar jangan berhenti berlari. Aku tidak ingin kehilangan sosok itu.
            Memasuki toko Joger, aku mencari-cari sosok laki-laki berjaket orens itu. Bertarung dengan kerumunan wisatawan, aku terus mencari, berharap kalau menemukannya. Mataku terus mencari sosok itu, tapi terlalu banyak orang di sini dan hampir semua laki-laki mengenakan jaket orens khas Joger. Namun, setelah cukup lama kucoba mencari, aku menyerah. Selain karena tidak kunjung menemukannya, aku sudah membuang waktu 15 menit sebelum kelas pagi dimulai. Aku keluar toko Joger dengan langkah lemah. Sosok itu adalah Adam. Meskipun sudah hampir 10 tahun tidak bertemu muka, tapi aku tidak akan lupa dengan wajah seriusnya saat mengenakan kacamata.
            Aku memutuskan membeli minuman sebelum kembali menunggu bis. Tempat penjual minuman cukup ramai karena banyak sekali wisatawan yang mengantri. Mau tidak mau aku juga harus mangantri karena tenggorokanku terasa sangat kering.
            “Siska?” sapa seseorang bersuara berat di belakangku. Aku menoleh. Laki-laki tinggi besar itu memakai jaket orens Joger dan bertopi putih. Mataku menyipit memandang wajahnya. Menyadari gelagatku, laki-laki itu melepas topinya. Setelah beberapa menit mencoba mengingat laki-laki itu, aku menutup mulut.
            “Andi, bukan?” tanyaku antusias. Laki-laki bernama Andi itu menangguk-angguk. Aku meloncat-loncat, gembira bertemu teman lama. Kami ber-shake hands. Setelah mengambil minuman, kami keluar barisan antrian dan duduk di salah satu kursi taman yang memang disediakan di depan toko Joger.
            “Kau kuliah di Bali?” Tanya Andi sambil menyeruput jus jeruknya.
            “Iya. Kau sendiri?”
            “Aku di Bali untuk urusan pekerjaan.” jawabnya.
       “Sudah lama sekali kita tidak reunian, kan? Kau benar-benar berubah, Siska.” tambah Andi mengamatiku dari kaki sampai ujung rambut. Merasa malu, aku memukul wajahnya pelan.
      “Kau juga tak berubah. Tetap tinggi besar seperti waktu kita SD. Makmur sekali hidupmu sepertinya.” balasku. Andi hanya tertawa. “Pekerjaan apa yang kau lakukan di Bali?” tanyaku. Belum sempat Andi menjawab, handphone-ku berdering. Andi memberi tanda agar aku mengangkat telefon itu. Telefon dari Lina. Dia menanyakan dimana aku sekarang karena lima menit lagi kelas akan dimulai dan presentasi pertama adalah kelompok kami. Aku melihat jam tangan. Benar. Aku akan terlmbat tiba di kampus.
           “Sorry, An. Aku harus ke kampus sekarang. Bye!” ucapku tergesa-gesa. Namun, Andi menahan tanganku.
         “Aku minta nomor handphone-mu. Kami akan butuh banyak bantuanmu di sini.” Tidak pusing memikirkan apa maksud perkataan Andi, aku segera memberi nomor handphone-ku padanya. Setelah selesai aku bergegas menyeberang jalan menuju tempatku biasa menunggu bus. Beruntung, di sana sudah ada bus yang berhenti dan aku tidak perlu menunggu terlalu lama.
***
            Sekali lagi aku mengaduk-aduk jus jeruk yang sudah tinggal separuh ini dan melihat jam tanganku. Dia terlambat. Sore tadi Andi meneleponku dan mengajak untuk bertemu di salah satu café dekat dengan pantai Kuta. Sebenarnya, aku sangat senang bisa reunian dengan teman lama, tapi kalau mengingat tempat yang dipilihkan Andi, ingin rasanya tadi aku menolak. Café dan restoran di sekitar pantai Kuta terkenal sangat mahal dan jelas tidak cocok dengan kantung mahasiswa perantauan sepertiku. Namun, apa boleh buat.
            Aku mengeluarkan handphone dari dalam tas, mencari nomor Andi dan berharap dia akan segera datang setelah aku menelefonnya. Tapi, niat itu kuurungkan setelah dari kejauhan di luar café aku melihat Andi melambaikan tangan. Setelan celana jeans pendek dan kaos biru tua yang agak ketat terlihat sangat cocok di tubuhnya yang atletis. Aku balas melambaikan tangan padanya. Dari dalam café, aku melihat dia sedang mengobrol dengan seorang laki-laki di belakangnya. Laki-laki bercelana jeans hitam dan memakai kaos merah bertuliskan ‘I Love Bali’. Aku tidak bisa melihat terlalu jelas wajah laki-laki itu karena sinar lampu jalan yang remang. Tapi, aku yakin laki-laki itu memakai kacamata.
            Mereka berjalan memasuki café dan mendekatiku. Menyadari siapa laki-laki yang berjalan di belakang Andi, jantungku tiba-tiba berdegup keras. Dia Adam. Tanganku, bahkan seluruh tubuhku serasa bergetar hebat melihatnya berjalan ke arahku. Mataku tidak mau menuruti perintah yang menyuruhku agar melihat ke arah lain. Aku belum siap, setidaknya untuk bertemu secara tiba-tiba dengan Adam yang sudah hampir 10 tahun tidak pernah terdengar kabar apapun. Meskipun, lucu rasanya saat mengingat betapa beraninya aku ketika mencoba mengejarnya di Toko Joger tadi pagi. Tapi, kali ini berbeda. Apa yang harus kulakukan kalau bertemu dengannya? Apa yang harus aku kukatakan nanti?
            “Sudah lama, ya?” tanya Andi sambil menempatkan dirinya duduk di depanku, dan kujawab hanya dengan senyuman. Adam mengambil posisi duduk di sebelah Andi.
       “Langsung saja, ya?” Andi memulai pembicaraan setelah memesan beberapa minuman kepada waitress. “Aku ingin kau jadi tour guide kami. Kami butuh info seputar Bali untuk pekerjaan kami.”
                “Pekerjaan?”
            “Wartawan. Kami adalah wartawan yang khusus meliput tempat-tempat wisata di Indonesia. Mungkin kau pernah mendengar tentang majalah Travelist?” kata Andi sambil meletakkan jus apel di depan Adam yang baru saja diantarkan waitress, sedangkan dirinya memesan jus lemon. Aku mengangguk menjawab pertanyaan Andi. Travelist adalah majalah wisata online yang cukup terkenal dan aku pernah membaca beberapa artikelnya.
            “Kami adalah salah satu wartawan untuk majalah itu.” kali ini Adam yang angkat bicara. Sejenak, aku merasa kaget dengan perubahan suara Adam yang dulu dengan Adam yang sekarang. Suaranya berat dan terdengar sangat laki-laki. Meskipun terasa sedikit tidak biasa, namun inilah Adam yang sekarang. Aku merindukannya.
               “Lalu?” tanyaku kembali menyeruput jus jerukku untuk menyamarkan keteganganku.
             “Seperti yang kukatakan tadi, aku ingin kau jadi tour guide untuk artikel kami tentang Bali. Kau pasti sudah lama menetap di Bali, bukan?”
***
            Dua minggu berlalu setelah aku menyetujui untuk membantu Andi dan Adam dengan pekerjaan mereka meliput artikel. Meskipun membantu, tapi sebenarnya aku hanyalah menemani mereka ke tempat-tempat yang terkenal maupun tidak terkenal di Bali untuk meliput lebih dalam tempat-tempat itu. Aku mengetahui tempat-tempat yang tidak terkenal setelah melakukan beberapa searching kepada teman-temanku yang orang Bali asli. Aku hanyalah peneman mereka, selebihnya mereka bisa bekerja secara profesional layaknya wartawan dari majalah online yang cukup terkenal. Andi dan Adam terkadang membayarku dengan beberapa pakaian yang sengaja mereka beli untukku. Tapi, mereka lebih sering membayarku dengan dinner. Aku cukup menikmati pekerjaan sampingan ini. Selain karena bisa membantu mereka, aku juga bisa kembali mengakrabkan diri dengan Adam. Dia tidak berubah. Dia tetaplah Adam yang cool. Sama saat sewaktu kita SD—di mataku.
            “Ngomong-ngomong, besok kita akan meliput Tanah Lot, kan?” kata Andi setelah menyelesaikan makan malamnya. Aku tidak menjawab karena masih sibuk dengan malamku. Kulihat Adam hanya menjawab dengan anggukan. “Kudengar, di sana ada cerita yang cukup terkenal meskipun lagi-lagi masih berhubungan dengan persebaran agama Hindu-Budha di Bali.”
         “Tempat itu adalah tempat terakhir yang akan kita liput. Lusa kita sudah harus meninggalkan Bali.” kata Adam menanggapi Andi. Kami terdiam sejenak. Aku tahu pasti akan sangat berat harus berpisah dengan mereka setelah selama dua minggu penuh menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama. Tapi, tidak ada yang bisa kami lakukan.
            “Yah, setidaknya, besok kita harus membuat kenangan, bukan? Lagipula, kita pasti akan bertemu lagi di tempat yang berbeda.” kataku riang mencoba memberi suasana cerah. Mereka berdua tersenyum. 
            “Aku kangen memakan mpek-mpek dengan kalian saat kita masih di Palembang.” kata Andi mengingat masa lalu. Aku mengangguk-angguk setuju. Benar. Kami dulu yang masih lugu sering sekali membeli mpek-mpek saat sepulang sekolah bersama teman-teman yang lain. Rindu sekali rasanya kalau mengingat masa itu. Di Bali, jarang sekali kami menjumpai makanan khas Palembang itu. Meskipun, saat rekreasi ke Yogyakarta, cukup banyak pedagang kaki lima yang menjualnya.
***
            Malam ini, kami sengaja menyewa dua kamar villa dekat Tanah Lot setelah menyelesaikan wawancara terakhir dengan masyarakat sekitar. Kami berniat untuk menghabiskan satu malam terakhir sebelum Andi dan Adam meninggalkan Bali esok paginya. Andi berpamitan ingin membeli beberapa souvenir khas Tanah Lot untuk kenang-kenangan dan meninggalkanku berdua dengan Adam. Kami duduk santai di taman depan vila sambil memandang bulan yang kebetulan terlihat penuh malam ini. Keheningan melanda kami berdua.
            “Aku masih menyimpannya.” Adam memecah keheningan. Aku melihatnya heran. “Suratmu.”
          Mendengar itu, seketika jantungku terasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Namun, aku mencoba mengontrol emosiku. Aku tetap terdiam, membiarkan Adam menyelesaikan kalimatnya.
           “Maaf, dulu aku terlalu pengecut untuk mengatakan barang sepatah kata padamu.” lanjutnya masih dengan melihat bulan.
            “Tidak apa-apa.” balasku setelah cukup lama tidak merespon.
        “Setelah ini…kami berencana mengunjungi Sulawesi dan Papua. Mungkin, akan membutuhkan waktu cukup lama sampai kami selesai menyelesaikannya.” kata Adam.
            “Berapa lama?”
       “Entahlah. Tapi, kami mengira sekitar tiga tahun atau lebih.” Aku terdiam. Itu lama sekali. “Setelahnya, kami akan kembali ke Palembang. Andi akan melanjutkan bisnis travel ayahnya dan aku akan mencoba mendirikan perusahaan majalah sendiri.” Aku tidak menjawab. “Boleh aku bertanya?” kata Adam mulai mengalihkan pandangannya dari bulan kepadaku. Aku mengangguk. “Apakah perasaanmu masih sama? Apakah kau masih menyukaiku sama seperti waktu kita SD dulu?” Pertanyaan langsung dari Adam itu memaksaku untuk tetap diam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Namun, Adam menunggu respon dariku.
            “Entahlah.”
            Setelah satu kata yang kuucapkan itu, Andi kembali dengan membawa dua tas belanja besar. Dia terlihat bahagia bisa membeli barang-barang itu. Aku dan Adam terpaksa harus menahan diri untuk melanjutkan pembicaraan kami yang tanpa hasil.
***
            Pukul 09.00 WITA aku mengantar Andi dan Adam yang akan menuju Sulawesi. Dari ruang tunggu Bandara Internasional Ngurah Rai, aku melihat Andi yang lagi-lagi membeli barang-barang sebagai kenang-kenangan dari Bali. Di tempat lain, Adam masih sibuk mengantri untuk menukarkan tiket. Aku pasti akan merindukan mereka berdua, terutama Adam. Aku masih belum memberikan jawaban atas pertanyaannya kemarin. Pagi ini pun, seusai check out dari vila, kami sama sekali tidak mengobrol. Aku mengerti, kami sama-sama canggung, sama-sama pengecut.
            Beberapa menit setelah Adam menukarkan tiket, panggilan untuk penumpang agar segera memasuki pesawat terdengar melalui pengeras suara. Aku melihat ke arah Andi yang sudah berjalan menuju kami.
            “Jaga dirimu baik-baik.” kata Andi padaku. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. Sebuah gantungan kunci berbentuk kepala kucing. Aku menerimanya dengan senang hati. Ternyata, dia masih ingat kalau aku sangat suka kucing dan selalu heboh ketika ada kucing masuk ke kelas saat kita masih SD.
            “Terima kasih. Aku pasti akan menyimpan ini. Kalian juga harus menjaga diri baik-baik. Kita pasti akan bertemu lagi.” Andi dan Adam menjawab dengan anggukan. 
             “Jaga dirimu, Siska.” kata Adam. Aku melihat matanya. Rasanya, ada sesuatu di sana. Tapi, aku tidak tahu apa itu. Setelah beberapa menit saling mengucapkan selamat tinggal, Andi dan Adam berjalan ke tempat orang-orang akan menaiki pesawat sambil membawa masing-masing satu koper besar. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Rasanya, ada yang tertinggal. Ada sesuatu yang ganjil. Terutama saat aku melihat punggung Adam. Aku ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi tidak yakin kalau aku mempunyai cukup rasa percaya diri. Waktu berlalu dan Adam semakin menjauh. Aku menggigit bibirku. Niatku mantap. Kali ini, aku harus menyampaikannya—bagaimanapun juga. Aku berlari mengejarnya. Beruntung, Adam menyadari derap langkahku dan menoleh serta berhenti menungguku.
            “Masih ada…perasaan yang kurasakan padamu saat kita SD dahulu masih ada. Masih sama.” ucapku di sela-sela nafasku yang memburu. Adam melihat mataku. “Aku masih menyukaimu, merindukanmu.” lanjutku tidak berani memandangnya lagi. Tetapi, tangan Adam yang besar meraih tengkuk-ku sehingga aku bisa mengangkat wajah melihat ke dalam matanya.
            “Tunggu aku. Kali ini, aku akan kembali untukmu.” Adam mengatakan itu dengan nada yang lembut dan matanya yang memandang mataku dalam. Aku mencubit kedua pipinya dan membuat Adam mengaduh. Aku bisa melihat Andi di belakang yang tersenyum mengamati kami. Aku melepaskan cubitanku dan menunduk dengan tanganku beralih memegang kerah kemejanya.
            “Kau pikir sudah berapa tahun aku selalu menunggumu?” gumamku pelan. Namun aku yakin Adam masih bisa mendengarku.
            Adam mengangkat wajahku—lagi. Dia tersenyum. Satu detik setelahnya Adam memelukku. Itu adalah pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan pelukan yang hangat, nyaman dan menentramkan. Aku menutup mata. Adam membisikkan sesuatu di telingaku lalu melepas pelukannya dan berjalan menjauh tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tak apa. Pelukan serta bisikan itu sudah mewakili seluruh perasaannya. Aku terus melihat punggungnya sampai akhirnya hilang tertutup kerumunan orang. Aku tahu, tiga tahun bukan waktu yang singkat. Tapi, kumohon, Tuhan, jagalah raga dan perasaan kami berdua sampai waktunya tiba bagi kami untuk saling bersatu. 
            Aku akan terus menantikannya. Ragaku akan menyimpan rasa dari pelukan itu dan ingatanku akan menyimpan tiga kata yang dia bisikkan. “Aku pasti meminangmu.”

by: Yuri Felizio
Ini adalah nota pertama dan terakhirku untukmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar