Tampilkan postingan dengan label Writing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Writing. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 November 2015

The Scaring Night for Beautiful Views in The Gunung Kidul’s Beach



Do you like adventure? Let you try something new with night advanture. If you interest, you can try for camping in the Gunung Kidul beaches that both of them provide place like field mean for people who want to camp there. One of them is Krakal beach that offer beautiful view. The adventure challenge is the night trip that absolutely scaring you cause’ you will find the forest side the road and then there are no street light.
Around one kilometer before you reach the beach you have to pay in the TPR. Then after you arrive there you will hear the sound of waves crashing the rocks. There are stalls that provide drinks and foods and then gazebo for rest.
Many people camp in the Krakal beach. For what? It is absolutely to see the beautiful view of sunrise in the morning. You just need to stay a night with bringing the tent from home. Then you must wake up at five am to see the sunrise above rock Hill in the Sarangan Beach that located close Krakal Beach. You can walk or biking if you do not want  tired to get there. 
You can see the sun rise slowly and shows its shine behind the high mountains that are covered by haze. The blue sea spreads out around the hill that looks amazing. Your scaring night trip and the cold weather pays off with the beautiful views in that hill. You will get unforgettable moment only with cheap fare in the Krakal beach.


The preceding article was made by Aisyah Nur Handayani. She is in the 1st semester of the English Education Department at Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Parangtritis Beach The Most Famous Beach in Yogyakarta

Parangtritis beach is the best tourist attraction to enjoy the sunset and having fun with ATV (All-terrain Vechile) or we can surround the beach by the cart. We can also play kites here.
Parangtritis beach is located 27 kilometers from the south of Yogyakarta city. We can go there by the public transportation until 5 p.m. or we can go by our vehicle. The best moment to visit this beach is in the afternoon when the sunset comes. You can also go up to Gembirawati cliff behind the beach. You will see all the beach area there. Not many people know that there is a temple in the east of this cliff. This temple is only some meters from the beach. You can hear the thundering of the waves from here. Parangtritis beach is always attached with the story about Ratu Kidul. Javanese peoples believe that Parangtritis beach is the gate of mysterious kingdom of Ratu Kidul who control the south sea. Queen of the South Hotel is a resort which named accordance to the story. This resort have a beautiful scenery but now this resort have closed.
 
 
 
The preceding article was made by Hilma Mutiariska. She is in the 1st semester of the English Education Department at Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Jumat, 30 Oktober 2015

Short Trip to The Sky



Who doesn’t know Parangtritis? Yes, Parangtritis is the one of most beautiful beach in Yogyakarta. The fame of this beach has no doubt, even to foreign countries. But did you know that there are interesting attractions in the area Parangtritis? Yup!! Paragliding hill.
As the name implies, Paragliding hill is a hill that is often used for paragdiling, especially the paragliding community in Yogyakarta. It lies at a height or on the beach makes the panorama around the hill is very beautiful. As far as the eye can see, the green hills view combined with a stretch of beach and blue sky will spoil our eyes. On the left, there is a view of the blue sea and the vast southern boom of the waves. On the right side, you can see the view of the city of Yogyakarta, while in the middle there is a sand beach the beautiful. At dusk exceeds radiated beauty while enjoying the sunset. In Parangtritis, we can enjoy the beautiful panorama of the southern ocean. Soft sand beaches and the waves were quite friendly will make tourists feel at home in this place. We can also play water or bath here freely. Unless the weather is unfavorable, the visitors are prohibited from swimming in Parangtritis. If the weather is hot, you can rent umbrellas lining the shore. On the beach there are also rides an ATV and toured along the coast using a carriage or horse.
Roads used to get to the hill paragliding is fairly easy. If you’re arrived at the Parangtritis Beach, you just follow the road that leads to the hills or ask the locals. For your android phone users just use google maps feature to get a place of destination path. Entrance fee of Rp 4.000,-/person. The rest simply pay a parking fee of Rp 3.000,- for motorcycle and Rp 5.000,- to Rp 10.000,- for a car or bus. So, if you are visiting the Parangtritis Beach also a time to enjoy the beauty of the southern coast of paragliding as an alternative tourism in Yogyakarta.






The preceding article was made by Rinda Nuningtyas. She is in the 1st semester of the English Education Department at Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Selasa, 14 Oktober 2014

Jodoh Untuk Fatimah

Sore itu seperti biasanya aku berjalan dengan membawa keranjang kosong. Senyum mengembang dari bibirku. “Alhamdulilah, terima kasih atas rizki yang telah engkau berikan, ya Allah.” Fatimah lega. Kue kue yang ia titipkan di pasar telah laku habis terjual. Biasanya pagi hari ia membuat kue dan ia titipkan di pasar dan sore harinya setelah mengajar ia mengambil dagangannya di pasar. Dan sore ini ia bisa membawa sedikit rezeki untuk Ibu dan adik-adiknya.
“Mak, aku pulang.” Fatimah memasuki rumah dan mencari ibunya. Perempuan itu sedang sibuk di dapur. Bergelut dengan asap dan keringat yang mengucur.
“Sudah pulang, Imah. Bagaimana daganganmu?” Ibunya selalu berharap kalau kue-kue itu habis terjual.
“Alhamdulilah, Mak. Laku semua.” Fatimah berkata dengan penuh sumringah. Ibunya lega karena baginya kue kue itu adalah penyambung hidupnya bersama Fatimah dan ketiga adik Fatimah.
Fatimah adalah gadis yang cerdas, ulet, pekerja keras, dan sholehah. Tumbuh dibesarkan oleh lingkungan Muhammadiyah menjadikannya ia gadis yang cerdas dan taat kepada Allah. Setiap sore Ia juga mengajar membaca Al Qur’an untuk anak-anak TK Muhammadiyah. Namun gajinya tidak seberapa. Kue-kue itu tetap menjadi penyambung hidup untuk ibunya dan ketiga adik-adiknya.
“Jadi, kapan kamu akan mengenalkan calonmu kepada emak?” 

Senin, 13 Oktober 2014

I Love You, Kau Bukan Dia

Dika yang berada tak jauh dari tempat dia berpisah dengan Jean mendengar teriakan seorang wanita, berlari mendekati sumber suara dan melihat Jean sedang meronta berusaha melepaskan diri dari keempat cowok itu.
 Buuk . . . . Buuk . . . . Buuk! Tinju melayang ke muka empat cowok mabuk itu dan Dika berhasil membuat mereka pergi meninggalkan Dika dan Jean berdua.
Dika berbalik menghampiri Jean. “Kamu baik-baik saja? Ada yang terluka, nggak?” Tanya Dika namun tak sepatah katapun keluar dari mulut gadis di hadapannya justru gadis itu menatap Dika langsung. Rasa takut dan syok terlihat dengan sangat jelas di matanya, trauma, karena seluruh badan gadis itu gemetaran. Tanpa sadar Dika memeluk Jean erat, mencoba untuk menenangkannya karna saat ini kata-kata tidak akan menembus ketakutannya. Sontak apa yang Dika lakukan membuat Jean menumpahkan semua air matanya yang dia tahan sejak tadi. Dika menepuk-nepuk punggung gadis dalam pelukannya itu, membuat gadis itu sedikit tenang. Dika membimbing Jean dengan kedua tangannya masih memegangi Jean menuju mobilnya yang kini melaju kerumahnya. Dika tidak mungkin tega meninggalkan gadis sendirian apalagi dalam keadaan tergungcang.
Rasa tegang dan syok yang dirasakan Jean berkurang ketika Dika memeluknya. Rasa aman dan nyaman yang lama tidak dia rasakan menjalar ke seluruh tubuh bahkan relung hatinya. Apa yang dirasakan Jean saat itu membuat Jean percaya padanya sehingga menumpahkan semua yang dirasakannya dan luka perih yang dia pendam selama ini. Ketegangan hampir meninggalkan Jean ketika dia memasuki rumah Dika. Entah mengapa dia merasa terlindungi dan betah untuk tinggal di rumah dengan interior sederhana dan dinding yang berwarna pucat abu-abu ini.
Jean duduk di sofa putih dengan secangkir coklat panas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang di hadapannya tanpa meninggalkan detail sedikitpun dan dia menikmati suasana yang tercipta di ruangan itu. Tatapannya tertuju pada pintu yang terbuka.

Selasa, 30 September 2014

Terima Kasih, Ibu

Waktu pulang dari kampus, jam menunjukkan pukul satu siang. Hari sangat panas. Ingin rasanya menenggelamkan diriku di air es. Aku berjalan di gang kecil melewati bangunan-bangunan tua yang mulai rusak akibat termakan waktu. Sesekali aku berhenti untuk membenarkan posisi ranselku karena ransel yang aku bawa cukup berat. Aku mencoba menahan lelahku karena tak berapa lama lagi aku akan sampai di kos-kosanku.
Tepat di sudut gang yang menuju kearah kosku aku berhenti. Tatapanku tak beralih dari sosok perempuan berusia sekitar 40 tahun yang sedang menggendong anak laki-laki yang bertubuh kurus. Mereka berjarak sekitar 20 meter dari tempat aku berdiri. Mengenakan pakaian lusuh, berjalan tanpa alas kaki. Sesaat berhenti membetulkan posisi anak yang digendongnya. Kemudian perempuan tersebut berhenti di depan tumpukan sampah yang terletak di tepi jalan. Terlihat dia mencari sesuatu di tumpukan sampah. Perempuan tersebut menemukan sebuah kotak yang kupikir berisi makanan sisa. Perempuan tersebut tersenyum dan menurunkan anaknya. Lalu perempuan tersebut duduk di samping anaknya.
Satu hal yang membuat aku tertegun adalah ternyata kaki anak laki-laki tersebut lumpuh. Anak laki-laki tersebut hanya diam dan melihat ke arah perempuan di sampingnya dengan penuh harap. Perempuan tersebut membuka kotak makanan dan memberikan makanan sisa pada anak laki-laki itu. Tetapi anak laki-laki tersebut menggeleng.
 “Ayo, makan.” Ucap perempuan tersebut dengan lembut.
“Tidak mau! Nasinya bau!” Teriak anak laki-laki sambil menghalangi kotak nasi dengan tangan.
“Tidak, anakku. Ini hanya kamu belum merasakannya saja, enak sekali.” Kata perempuan itu sambil tersenyum dan memasukkan nasi ke mulutnya.
Aku melihat perempuan tersebut memaksakan nasi masuk ke dalam perutnya. Aku pikir benar apa yang dikatakan anak laki-laki itu, nasi yang berada di kotak tersebut memang sudah basi.
“Ibu, cukup! Jangan berbohong lagi!” Kata anak laki-laki itu, lalu merebut kotak nasi dan dilempar ke tempat sampah lagi. “Seharusnya ibu makan makanan yang sehat. Maafkan aku ibu, gara-gara aku, ibu jadi menderita.” Lanjutnya lagi.

Jumat, 26 September 2014

Rindu Dalam Selembar Surat

Malam itu bintang terkikik geli. Entahlah mereka menertawakanku atau mereka ikut tertawa dalam candaan kami yang tiada henti sejak magrib berkumandang. Malam itu merupakan pertemuan kami setelah 6 bulan terpisah karena mengambil universitas yang berbeda. Fatin menceritakan pertemuannya dengan seorang lelaki yang sanggup mengalihkan perhatiannya. Sementara aku?

Fatin    : “Sudah, lupakan saja!”
Raafi   : (terdiam)
Fatin    : “Tidak ada yang menjamin dia setia padamu.”
Raafi   : “Tidak bisa. Lihatlah kata kata ini!” (menunjukkan handphone-nya).
Fatin    : “Hanya omong kosong!”
Raafi   : “Minggu lalu dia juga mengirim surat ini. Biar ku bacakan…”

I Love You, Kau Bukan Dia

Berjalan menyusuri jalan raya dengan earphone di telinganya membuat gadis berusia 23 tahun ini tidak sadar akan sekitarnya bahkan dia tidak menyadari dia sedang diikuti oleh seorang laki-laki semenjak meninggalkan apartemennya. Laki-laki itu mengikuti di belakangnya, mengamati setiap gerak-gerik gadis itu hingga laki-laki itu terperanjat kaget ketika gadis itu berhenti di tikungan jalan dan menatap taman di hadapannya dengan tangan kiri menghalau sinar matahari. Kemudian gadis itu berjalan kembali, begitu pula laki-laki yang mengamatinya hingga sampai di toko buku dimana gadis itu bekerja setiap harinya. Laki-laki itu memutuskan untuk menyudahi pengamatannya di pagi hari ini dengan senyum di wajahnya.
Matahari telah lama sembunyi dari singgasananya pertanda malam telah datang, gadis itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Dia harus segera pulang sebelum jalanan sepi, berpamitan dengan yang lain dan berjalan keluar sambil memasang earphone miliknya. Lagi, laki-laki yang mengikutinya tadi pagi telah menunggunya di kafe seberang jalan semenjak empat puluh menit yang lalu. Mengikuti gadis itu lagi hingga pulang ke apartemennya yang tak jauh dari tempat dia bekerja, sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Di tengah perjalanan pulang, gadis itu bertemu dengan temannya dan membuat laki-laki itu seketika mengubah arah jalannya memasuki gang lain.
“Huft . . . . Ini menyebalkan, aku pikir reuni kali ini akan lebih meriah dari yang kemarin ternyata jauh dari harapanku.” Ujar Tara, gadis yang tak sengaja bertemu di tengah jalan ini adalah tetangga sebelah apartemennya semenjak tiga tahun yang lalu.
“Lalu bagaimana dengan harimu di toko buku, Jean?” Sahut Tara. Ya, gadis yang berkerja di toko buku yang selalu menggunakan earphone ini adalah Jean. Lengkapnya Jeannice Putriwardhana.
“Tidak ada yang spesial Ra’. Seperti biasa hanya merapikan buku dan melayani pembelian.” Jawab Jean dengan santai.

Selasa, 22 Juli 2014

The Night Is Yet Young

Still Exist

“Belok kanan setelah masjid Bang.” Terdengar suara Fatimah memberi arahan dengan sisa perasaan yang berbeda. Entah mengapa.
“Oke. sudah tiba, Fat. Maaf nggak mampir ya, sudah larut malam. Kebetulan tadi izin dengan ibu juga nggak boleh terlalu larut.” Kata Arshaf.
“Beneran nih, nggak mau mampir dulu?” Fatimah meyakinkan kembali, sedangkan lubuk hatinya bertanyaan “Ada apa ini?”
“Iya, salam aja ya buat ibu Fatimah, semoga lekas sembuh. Dan sampaikan juga maafku ke orang tuamu.” Apa mau dikata jika Arshaf telah memutuskan demikian.
“Iya, terima kasih ya, Bang. Maaf, sudah merepotkan.” Kata Fatimah, menanggapi positif.
It’s okay.” Arshaf tersenyum “Well, I have to go home when you first enter.” Arshaf menyuruh Fatimah masuk rumah terlebih dahulu sebelum ia pulang “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikummussalam.”
*   *   *

Ayah Fatimah langsung menghampiri Fatimah dan menyambut kedatangan putri bungsunya ketika membuka pintu sembari mengucap salam. “Lho, Arshaf mana, Fat? kok nggak mampir dulu?”
“Langsung pamit tadi Yah, cuma titip salam buat Ayah juga Bunda.” Setelah mencium tangan ayah, Fatimah berlalu mencari sosok yang menjadi alasan utama Fatimah pulang dari kota pelajar tempat ia menuntut ilmu.
“Kasihan lho, Fat. Jauh-jauh kok nggak disuruh mampir dulu?” Ledek Ayah “Harusnya dibikinkan minum teh dulu buat hangat-hangat.”
“Kata Arshaf tadi Ibunya mengamanatkan supaya jangan pulang terlalu larut, Ayah.”
Tepat di ruang tengah, tempat yang biasa digunakan keluarga Fatimah menonton televisi sekaligus ajang berkumpul keluarga setiap harinyalah sosok yang dicarinya berada. Fatimah pun langsung menghamburkan pelukannya kepada sosok tersebut, melepas kangen yang ia tahan selama 12 bulan, berada dalam dekapannya terasa begitu hangat dan nyaman, mengetuk hati yang dirundung rindu membuat mata tak lagi tahan membendung buliran bening yang kini telah menetes.