Selasa, 30 September 2014

Terima Kasih, Ibu

Waktu pulang dari kampus, jam menunjukkan pukul satu siang. Hari sangat panas. Ingin rasanya menenggelamkan diriku di air es. Aku berjalan di gang kecil melewati bangunan-bangunan tua yang mulai rusak akibat termakan waktu. Sesekali aku berhenti untuk membenarkan posisi ranselku karena ransel yang aku bawa cukup berat. Aku mencoba menahan lelahku karena tak berapa lama lagi aku akan sampai di kos-kosanku.
Tepat di sudut gang yang menuju kearah kosku aku berhenti. Tatapanku tak beralih dari sosok perempuan berusia sekitar 40 tahun yang sedang menggendong anak laki-laki yang bertubuh kurus. Mereka berjarak sekitar 20 meter dari tempat aku berdiri. Mengenakan pakaian lusuh, berjalan tanpa alas kaki. Sesaat berhenti membetulkan posisi anak yang digendongnya. Kemudian perempuan tersebut berhenti di depan tumpukan sampah yang terletak di tepi jalan. Terlihat dia mencari sesuatu di tumpukan sampah. Perempuan tersebut menemukan sebuah kotak yang kupikir berisi makanan sisa. Perempuan tersebut tersenyum dan menurunkan anaknya. Lalu perempuan tersebut duduk di samping anaknya.
Satu hal yang membuat aku tertegun adalah ternyata kaki anak laki-laki tersebut lumpuh. Anak laki-laki tersebut hanya diam dan melihat ke arah perempuan di sampingnya dengan penuh harap. Perempuan tersebut membuka kotak makanan dan memberikan makanan sisa pada anak laki-laki itu. Tetapi anak laki-laki tersebut menggeleng.
 “Ayo, makan.” Ucap perempuan tersebut dengan lembut.
“Tidak mau! Nasinya bau!” Teriak anak laki-laki sambil menghalangi kotak nasi dengan tangan.
“Tidak, anakku. Ini hanya kamu belum merasakannya saja, enak sekali.” Kata perempuan itu sambil tersenyum dan memasukkan nasi ke mulutnya.
Aku melihat perempuan tersebut memaksakan nasi masuk ke dalam perutnya. Aku pikir benar apa yang dikatakan anak laki-laki itu, nasi yang berada di kotak tersebut memang sudah basi.
“Ibu, cukup! Jangan berbohong lagi!” Kata anak laki-laki itu, lalu merebut kotak nasi dan dilempar ke tempat sampah lagi. “Seharusnya ibu makan makanan yang sehat. Maafkan aku ibu, gara-gara aku, ibu jadi menderita.” Lanjutnya lagi.

 
Perempuan tersebut menggeleng dan memeluk anak yang berada di sampingnya, sangat erat. Sesaat kemudian ketegaran hati perempuan itu bangkit kembali. Diangkatnya anak laki-laki ke dalam gendongannya. Anak laki-laki itu mengusap air mata yang menetes di pipi perempuan itu. Perempuan itupun tersenyum dan memandang wajah anak laki-lakinya dengan haru. Merekapun melanjutkan perjalanan.
Aku masih diam di tempat dan menghela nafas. Ketika perempuan dan anak laki-laki berjalan di depanku, perempuan tersebut tersenyum ke arahku dan aku menunduk hormat. Sesaat kemudian aku teringat makanan yang aku beli di depan kampus. Lalu aku mengambilnya dari ranselku. Aku berbalik menyusul perempuan dan anak laki-laki.
“Maaf, ini ada sedikit makanan untuk ibu dan anak ibu.” Kataku lalu menyerahkan sebungkus nasi dan lauk serta minuman ke perempuan yang berdiri di depanku.
Perempuan itu tersenyum dan menerima makanan yang aku berikan “Terima kasih, nak!” kata perempuan itu.
Aku mengangguk dan memperhatikan perempuan tersebut berbalik dan menunjukkan makanan ke anak laki-lakinya.
Anak laki-laki yang berada di gendongan perempuan tersebut menolehkan kepalanya dan melihat ke arahku. Dia melambaikan tangannya kearahku sambil tersenyum. Akupun membalas senyuman dan lambaian itu.
Beberapa detik kemudian handphone­-ku bergetar. Kulihat tertulis Ibu memanggil di layar. Segera kutekan tombol jawab.
“Assalammualaikum, ibu.” Kataku, terdengar jawaban lembut, suara yang sangat aku rindukan.
“Ibu sudah makan?” Aku bertanya. “Ibu harus makan teratur dan makan makanan yang sehat.” Aku menirukan kata-kata anak laki-laki.
Terdengar ibuku tertawa kecil dan berkata, “Terima kasih, sayang. Sudah mengingatkan ibu terlebih dahulu, ibu juga ingin tahu kamu sudah makan belum?”
“Sebentar lagi, bu. Saya akan makan siang setelah sampai di kos”. Jawabku.
Setelah ngobrol beberapa saat, aku menutup telepon dan tiba di kosku. Aku duduk di atas tempat tidurku dan memandang langit-langit kamarku. Kembali dalam ingatanku ketika aku kecil. Saat aku menolak makanan yang dibuat ibu ketika aku sedang marah. Saat aku belajar naik sepeda, ibuku tidak berhenti memberiku semangat. Bahkan aku jatuh berkali-kali. Saat aku sakit, ibu menyuapiku makan. Hingga saat ini aku merasakan kasih sayang ibu yang luar biasa. Meskipun jarak jauh, aku merasa ibu selalu di sampingku. Seperti Tuhan selalu bersama ibuku dan aku. Ketika aku sedang dalam keadaan yang buruk, suara ibu yang lembut membuatku merasa nyaman dan aman.
Tak terasa air mataku menetes, aku tersenyum. Dalam hati aku berteriak, “Terima kasih ibu, aku sangat merindukanmu.”
by: Nhee




Tidak ada komentar:

Posting Komentar