Waktu pulang dari
kampus, jam menunjukkan pukul satu siang. Hari sangat panas. Ingin rasanya
menenggelamkan diriku di air es. Aku berjalan di gang kecil melewati
bangunan-bangunan tua yang mulai rusak akibat termakan waktu. Sesekali aku berhenti
untuk membenarkan posisi ranselku karena ransel yang aku bawa cukup berat. Aku
mencoba menahan lelahku karena tak berapa lama lagi aku akan sampai di
kos-kosanku.
Tepat di sudut gang yang
menuju kearah kosku aku berhenti. Tatapanku tak beralih dari sosok perempuan
berusia sekitar 40 tahun yang sedang menggendong anak laki-laki yang bertubuh
kurus. Mereka berjarak sekitar 20 meter dari tempat aku berdiri. Mengenakan
pakaian lusuh, berjalan tanpa alas kaki. Sesaat berhenti membetulkan posisi
anak yang digendongnya. Kemudian perempuan tersebut berhenti di depan tumpukan
sampah yang terletak di tepi jalan. Terlihat dia mencari sesuatu di tumpukan
sampah. Perempuan tersebut menemukan sebuah kotak yang kupikir berisi makanan
sisa. Perempuan tersebut tersenyum dan menurunkan anaknya. Lalu perempuan
tersebut duduk di samping anaknya.
Satu hal yang membuat
aku tertegun adalah ternyata kaki anak laki-laki tersebut lumpuh. Anak laki-laki
tersebut hanya diam dan melihat ke arah perempuan di sampingnya dengan penuh harap.
Perempuan tersebut membuka kotak makanan dan memberikan makanan sisa pada anak
laki-laki itu. Tetapi anak laki-laki tersebut menggeleng.
“Ayo, makan.” Ucap perempuan tersebut dengan
lembut.
“Tidak mau! Nasinya bau!”
Teriak anak laki-laki sambil menghalangi kotak nasi dengan tangan.
“Tidak, anakku. Ini
hanya kamu belum merasakannya saja, enak sekali.” Kata perempuan itu sambil
tersenyum dan memasukkan nasi ke mulutnya.
Aku melihat perempuan
tersebut memaksakan nasi masuk ke dalam perutnya. Aku pikir benar apa yang
dikatakan anak laki-laki itu, nasi yang berada di kotak tersebut memang sudah
basi.
“Ibu, cukup! Jangan
berbohong lagi!” Kata anak laki-laki itu, lalu merebut kotak nasi dan dilempar
ke tempat sampah lagi. “Seharusnya ibu makan makanan yang sehat. Maafkan aku
ibu, gara-gara aku, ibu jadi menderita.” Lanjutnya lagi.
Perempuan tersebut menggeleng dan memeluk anak yang berada di sampingnya, sangat erat. Sesaat kemudian ketegaran hati perempuan itu bangkit kembali. Diangkatnya anak laki-laki ke dalam gendongannya. Anak laki-laki itu mengusap air mata yang menetes di pipi perempuan itu. Perempuan itupun tersenyum dan memandang wajah anak laki-lakinya dengan haru. Merekapun melanjutkan perjalanan.
Aku masih diam di tempat
dan menghela nafas. Ketika perempuan dan anak laki-laki berjalan di depanku,
perempuan tersebut tersenyum ke arahku dan aku menunduk hormat. Sesaat kemudian
aku teringat makanan yang aku beli di depan kampus. Lalu aku mengambilnya dari
ranselku. Aku berbalik menyusul perempuan dan anak laki-laki.
“Maaf, ini ada sedikit
makanan untuk ibu dan anak ibu.” Kataku lalu menyerahkan sebungkus nasi dan
lauk serta minuman ke perempuan yang berdiri di depanku.
Perempuan itu tersenyum
dan menerima makanan yang aku berikan “Terima kasih, nak!” kata perempuan itu.
Aku mengangguk dan
memperhatikan perempuan tersebut berbalik dan menunjukkan makanan ke anak
laki-lakinya.
Anak laki-laki yang
berada di gendongan perempuan tersebut menolehkan kepalanya dan melihat ke arahku.
Dia melambaikan tangannya kearahku sambil tersenyum. Akupun membalas senyuman
dan lambaian itu.
Beberapa detik kemudian
handphone-ku bergetar. Kulihat
tertulis Ibu memanggil di layar. Segera kutekan tombol jawab.
“Assalammualaikum, ibu.”
Kataku, terdengar jawaban lembut, suara yang sangat aku rindukan.
“Ibu sudah makan?” Aku
bertanya. “Ibu harus makan teratur dan makan makanan yang sehat.” Aku menirukan
kata-kata anak laki-laki.
Terdengar ibuku tertawa
kecil dan berkata, “Terima kasih, sayang. Sudah mengingatkan ibu terlebih
dahulu, ibu juga ingin tahu kamu sudah makan belum?”
“Sebentar lagi, bu.
Saya akan makan siang setelah sampai di kos”. Jawabku.
Setelah ngobrol
beberapa saat, aku menutup telepon dan tiba di kosku. Aku duduk di atas tempat
tidurku dan memandang langit-langit kamarku. Kembali dalam ingatanku ketika aku
kecil. Saat aku menolak makanan yang dibuat ibu ketika aku sedang marah. Saat
aku belajar naik sepeda, ibuku tidak berhenti memberiku semangat. Bahkan aku
jatuh berkali-kali. Saat aku sakit, ibu menyuapiku makan. Hingga saat ini aku merasakan
kasih sayang ibu yang luar biasa. Meskipun jarak jauh, aku merasa ibu selalu di
sampingku. Seperti Tuhan selalu bersama ibuku dan aku. Ketika aku sedang dalam
keadaan yang buruk, suara ibu yang lembut membuatku merasa nyaman dan aman.
Tak terasa air mataku
menetes, aku tersenyum. Dalam hati aku berteriak, “Terima kasih ibu, aku sangat
merindukanmu.”
by: Nhee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar