Samudera masih bengong terpaku di
depan layar datar laptop Toshiba warna hitam miliknya. Layar datar perangkat
komputer itu menampilkan sebuah halaman ibarat kertas putih bersih yang tak
berhuruf apatah lagi berkalimat. Pemuda tanggung itu sudah sejak 5 menit yang
lalu menatap kosong halaman Microsoft Word yang masih putih bersih tanpa noda
dan cela tersebut. Padahal kedua bola matanya sudah perih dan kering sebab
dihembus-hembus angin buatan yang ditiup kipas angin mungil berwarna hijau dari
balik layar laptop-nya. Namun tak sejengkalpun ia bergerak untuk mematikan
kipas angin tersebut dengan alasan gerah. Lagipula, siapa yang tahu jika tahu-tahu
nantinya angin segar dari kipas angin hijau mungil itu bakal mendatangkan
sebuah ide brilian untuknya? Siapa yang tahu jika nanti tahu-tahu ia akan
langsung bisa menghajar habis proyek yang tenggat
hari Kamis besok ini seketikanya bila ia mendapatkan ide tersebut. Siapa yang tahu?
Tapi, ini sudah dua jam sejak
Samudera berniat untuk mengakhiri perjalanannya di lini masa akun Facebook-nya
sendiri. Tentu saja niat itu bukan sekedar wacana, ia benar-benar melaksanakan
niatnya tersebut. Selain lini masanya sudah mulai menyepi sebab waktu setempat
sudah menunjukkan pukul tengah malam lebih dua-puluh
menit, ia juga sudah diserang rasa sadar dan tanggung jawab akan proyeknya
tersebut. Hm, pikirnya mungkin dengan menghentikan perjalanan berselancarnya di
dunia maya tersebut ia akan segera mendapatkan ide agar bisa segera memulai
proyeknya. Ya, memulai. Pemuda tanggung itu bahkan belum memulai proyeknya! Lantas
bagaimana bisa ia menyelesaikan proyeknya sedang memulainya saja belum? Aduh, biyung-biyung!
Wush! Samudera bak terhempas dari dunia angan, ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai memerah, semakin kering. Menyadarkan dirinya sendiri apakah ia serta pikirannya sudah mendapatakan ide segar nan brilian demi memulai proyek sederhana ini. Belum. Ia belum dapat memastikan, sebab kini ia malah terheran-heran mendengar sebuah suara aneh yang entah darimana datangnya suara tersebut. Kini ia malah sibuk mencari-cari sumber suara yang mengejutkannya dari kebengongannya tadi. Manalah suara seperti suara giring-giring itu berasal? Dari kolong meja laptoptempat kaki jenjangnya sedang selonjorankah? Tak ada.Dari dalam kaleng bekas Tango? Kosong.Dari ruang lemari baju? Nihil. Lantas?
Hm, sambil menatap ke arah atas,
menatap ke pucuk sudut lemari bajunya, Samudera memindahkan telapak tangan
kirinya ke perut cekungnya, memegangi lapisan kaos oblong warna putih yang
beranjak kecoklatan yang menutupi kulit perutnya.Ia secara tak langsung
memegangi lambungnya. Tahu-tahu lambungnya itu melakukan kontraksi sembari bersuara
nyaring. Senyaring suara yang dari tadi ia cari-cari asal-usulnya. Oh,
ternyata.
“Kampret. Sedang tenggat begini kau tak hendak berkawan
dengan aku, dasar kau lambung yang kelaparan!” Samudera malah misuh terhadap lambungnya sendiri.Beruntung
si lambung itu bukanlah makhluk hidup, jadi ia tak akan bisa balik memaki dan menuntut
lebih lanjut pada Samudera yang sore kemarin hanya menyuapinya dengan sebungkus
nasi kucing.
Itu
adalah sebungkus nasi sekepalan tangan orang dewasa dengan lauknya ikan bilis
(ikan teri) yang disambal. Entah apa musababnya
sampai ianya dinamai demikian. Mungkin pelopornya terilhami dari penganan semi-mewahpara kucing, yakni
sejumput nasi yang digaul dengan kotorannya ikan bilis bahkan tubuh ikan
bilisnya itu sekalian. Mungkin juga waktu itu pelopornya sedang kehabisan
sayur-mayur bahkan kuahnya sekalian, sehingga ia hanya punya sisa nasi beberapa
centong dengan lauknya ikan bilis yang disambal.
Apapun
itu, belakangan ini Samudera sedang getol
menyuapi lambung kurunya dengan
bungkus per bungkus nasi kucing yang ia beli dari Kang Sabri, pemilik angkringan
yang hampir tiap malam mangkal di depan kampusnya. Angkringan Kang Sabri tersebut
tak selalu mangkal, sebab jikalau hari itu langit sedang ingin buang air (baca:
hujan) maka lapak angkringan tersebut pastilah dibanjiri air setinggi satu
hingga tiga sentimeter. Hal tersebutlah yang bakal menjadikan Angkringan Kang
Sabri gulung tikar untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Jika Angkringan
Kang Sabri absen, maka Samudera harus merelakan ongkos makan yang lebih mahal
dari biasanya untuk membeli makan malam selain nasi kucing Kang Sabri. Namun
pada keadaan demikian tetap saja ada pihak yang diuntungkan, yakni lambungnya
Samudera.
Mungkin
jika lambungnya Samudera bisa bicara ia akan berujar, “Lumayan, bro.
sekali-kali ane disuapin makanan enak. Gak nasi-teri muluk!”
Untunglah,
malam kemarin keuangan Samudera tak mengalami fluktuasi sebab malam kemarin gerobak Angkringan Kang Sabri berdiri
tegar di tempat biasanya, di depan kampusnya Samudera. Tempat dimana Samudera
diembankan sebuah amanah, sebuah proyek sederhana yang harus dikelarkan dalam
waktu se-Minggu, dan hari Kamis besok adalah tenggat waktunya. Atau istilah kerennya adalah deadline. Sementara itu Samudera masih sibuk mengais-ngais ke
merata tempat, mencari ide yang tepat untuk proyeknya yang harus segera diserahkan
maksimal hari Kamis besok jam empat.
Duh,
Samudera mentok. Mana lambung perutnya itu masih berisik bersuara, tak hendak
diam meski ia sudah tersiksa secara fisik sebab Samudera kerap menekan-nekannya
dengan keras supaya diam. Tapi bagaimanalah, Samudera selama hidupnya memang
tak pernah lepas dari lambung satu-satunya itu. Lambungnya itu adalah salah
satu bentuk kesetiaan paling nyata yang pernah dirasakan oleh Samudera. Hanya
dianya saja yang ego tak pernah rela
memanjakan ‘sahabat’ setianya tersebut dengan menyuapinya jenis asupan makan
selain nasi kucing tadi. Yah, hal itu mungkin akan terus berlanjut selama
status Samudera masih sebagai seorang Mahasiswa Perguruan Tinggi.
Padahal
dulu waktu Samudera masih tinggal serumah dengan Mamak dan Bapak, ia (beserta
lambungnya) selalu dimanjakan dengan masakan enak nan istimewa buatan koki rumah
paling handal yang cantiknya mengalahkan kecantikan Miss Indonesia masa kini.
Masakan Mamaknya. Meski masakan Mamaknya itu sekedar nasi dengan cah daun kates
lauk ikan asin sambel ijo, Samudera
selalu jadi pelahap nomor satu di rumahnya. Ia selalu mencintai masakan Mamak
satu-satunya itu, ia selalu mencintai apapun yang dimasak Mamak untuk keluarga
kecilnya.
Ah,
tapi itu dulu, waktu Samudera masih hobi kelayapan. Itu waktu ia masih jadi
siswa Sekolah Menengah Umum yang malas dan beringas. Itu waktu ia masih jadi
preman kelas teri. Itu waktu ia selalu jadi pentolan
kericuhan dalam beberapa aksi kekerasan siswa melawan massa di kotanya.
Pulang
jarang, ujian selalu mengulang bukanlah sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh
Samudera. Lebih parah, ia tak pernah punya prinsip sama sekali meski itu
prinsip paling negatif sekalipun.Hidupnya bagai nelayan lumpuh, hanya mengikuti
riak gelombang kemanapun mengombang-ambingkan sampannya.
Tapi
pada masa paling suram tersebut, Samudera selalu pulang jika waktu makan telah
tiba: makan siang dan makan malam. Ya, tersebab bahwa ia terlalu mencintai
masakan Mamaknya itulah. Seberingas
apapun seorang anak, ketika ia sudah jatuh cinta pada masakan Mamaknya, ia akan
selalu pulang meski kepulangannya sekedar membuka penudung hidang lusuh di
tengah hari bolong, mencari makan.
Ck!
Samudera berdecak kesal. Tiba-tiba ia malah jadi terkenang dengan Mamaknya,
dengan Bapaknya, dengan adek-adeknya, serta dengan masakan nasi sayur daun kates
lauk ikan asin sambel ijo buatan
Mamaknya yang kini tertinggal nun di sana yang terpisahkan oleh sebentang
lautan Laut Jawa yang dalam dan membiru. Seringkali ia menyayangkan masa yang
dulu sebenarnya seindah tumpahan gemintang di langit malam ini. Masa dimana
seharusnya ia menempa potensi dan bakat terpendam yang dimilikinya. Itu masa
lalu. Yah, sayangnya bubur yang terlalu tanak itu tak akan bisa diubah menjadi
nasi kembali, tak akan pernah bisa diubah. Mungkin bila ditambahkan suwiran
daging ayam, kerupuk udang, kecap, dan sambel, bubur tersebut akan terasa lebih
berani dan baru. Layaknya diri Samudera yang sekarang.
Mahasiswa
tahun kedua itu kini sedang mengemban jabatan paling wahid pada salah satu Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang sudah sejak setahun belakangan ia ikuti. Kini ia
tak sekedar mengikuti, ia adalah ketua UKM Resimen Mahasiswa (MENWA)
Universitasnya. Itu adalah suatu unit kegiatan mahasiswa yang benar telah
mengembangkan potensi jiwa kepemimpinannya, terutama dalam memimpin pasukan.
Ya, kelihatannya hampir miriplah dengan masa SMU-nya dulu. Sama-sama memimpin pasukan,
hanya berbeda tujuan dan cara mendidiknya.
Pemuda
tanggung itupun kini sudah memiliki sejumlah visi dan misi hidup. Tak ada lagi
nelayan lumpuh, tak adalagi prilaku menaruh peruntungan pada setiap aspek
kehidupan. Peruntungan layaknya ketika ia menerima surat kelulusannya langsung
dari Kepala sekolahnya dulu, waktu hari kelulusan.
Kepala
sekolahnya itu adalah seorang pentolan
sekolah paling tabah yang selalu percaya bahwa Samudera akan menjadi sosok yang
diluapi samudra visi pun misi. Beliau selalu yakin dan percaya, preman sekolah kelas
teri itu akan mampu menguasai dan mengendalikan sampan kecilnya menuju samudra yang
maha dahsyat riak dan anginnya. Beliau tahu. Sebab beliau mampu membaca
sekaligus menafsirkan tatapan beringasSamudera saat beliau menyemprotnya dengan
nasehat-nasehat paling pamungkas yang selalu beliau berikan setiap kali Samudera
disuruh mendatangi ruang BK, lebih tepatnya dipanggil ke ruang BK.
Nasehat-nasehat tersebut beliau terima dari kepala sekolahnya ketika beliau
masih jadi seorang pemuda tanggung yang jadi preman sekolah kelas teri. Sama
seperti preman kelas teri yang tengah dihadapinya kala itu. Keyakinan beliau
terhadap seorang preman sekolah itu pun sama besarnya dengan keyakinan kepala
sekolahnya dulu terhadapnya.
Setidaknya,
Samudera sempat mampu membaca dan menafsirkan tatapan mata Kepseknya dulu itu.
Tatapan mata yang berkilau dengan genangan bening yang tak sempat terjatuh,
sebab beliau terlalu tangguh untuk menjatuhkannya. Tatapan mata yang sudah mencairkan
dan menundukkan keberingasannya. Tatapan yang tulus penuh kesabaran di akhir
perjuangannya sebagai siswa sekolah menengah atas.
Ah,
bernostalgia mengenai masa lalu yang
paling berharga memang tak akan pernah ada habisnya. Dan alamak! Samudera masih
belum lagi dapatkan ide untuk mengetikkan proyeknya tersebut! Ia terlalu lena dengan kenangan masa lalu itu sampai
terlupa proyek sederhananya yang sejak sekitar tiga jam yang lalu ia peram.
“Duh,
Emak! Apelah yang mesti aku tulis untuk cerpen ini?” Resah Samudera sambil meremas
dan menggaruk kasar rambut cepaknya yang tak gatal. Ya, itu memang hanya sebuah
proyek menulis cerpen yang ditugaskan oleh para pengurus sebuah Lembaga Sosial
Organisasi Jurnalistik yang Samudera ikuti sebagai satu di antara program kerja
mereka. Minggu ini Samudera kebagian jadwal untuk menerbitkan karya tulis
fiksinya. Hari Kamis besok ia sudah harus menyerahkan hasil tulisnya pada
penanggung jawab proker tersebut. Sayangnya ia masih belum tahu apa yang harus
ditulisnya.
“Kampret!”
Samudera meringis kesal.
Namun
tiba-tiba, otak Samudera terasa diterangi cahaya matahari yang dapat
mengalahkan terangnya lampu neon kamar kos pengapnya. Ia bak ditimpa-timpa
durian runtuh sebab sudah mendapatkan ide yang lumayan brilian untuk karya
tulis fiksinya tersebut. Samudera dengan seringai
licik ngebut mengetik-ngetikkan jemari lentiknya pada tuts-tutskeyboard laptop Toshiba hadiah kelulusan dari Bapaknya
itu.Ia cepat-cepat menumpahkan ide yang barusan didapatnya ke atas layar
Microsoft Word yang sedari tadi lowong tak beraksara. Ia tak mau ide segar
tersebut pudar dan lenyap bila ia tak lekas-lekas menghidupkannya pada tiruan lembaran
kertas tersebut.Ia sengaja mengosongkan baris judulnya terlebih dahulu, siapa tahu
nanti di tengah jalan cerita ia akan menemukan judul yang tepat bagi fiksinya
tersebut.
Benar
saja, 15 menit kemudian Samudera baru bisa menentukan judul fiksinya: Samudera Mencari Ide. Maka sesuailah
judul cerpen itu dengan isinya. Itu adalah sebuah cerita pendek mengenai
seorang mahasiswa yang digalaukan oleh proyek menulis kisah fiksi alias cerita
pendek yang ditugaskan oleh pengurus Lembaga Sosial Organisasi Jurnalistik yang
diikuti oleh si tokoh sebagai salah satu program kerja mereka.Itu adalah cerita
tentang seorang mahasiswa yang sedang mentok tak beride tak bergagas untuk menuliskan proyeknya, padahal proyek itu
harus diserahkan kepada penanggungjawab yang punya proker hari Kamis besok. Malah,
ketika sedang tenggat-tenggatnya, tokoh
yang tersurat dalam kisah itu mengalamai konflik dengan otak dan lambungnya.
Selain ketiadaan ide, si tokoh juga mengalami ketiadaan pangan yang menyebabkan
tokoh semakin kalut dan semakin hilang akal. Akalnya tak benar-benar hilang, akalnya
hanya sedang berlari mundur ke kenangan sewaktu tokoh masih sempat meluangkan
waktu dengan keluarganya, khususnya dengan Mamaknya. Akal si tokoh juga sempat
kembali mengunjungi sekolahan tempatnya dulu sempat jadi pemikiran yang malas
dan beringas. Namun ketika detik terakhir kehidupannya di sekolah tersebut,
akal pemikiran itu pun terbebas dari segala kekonyolan. Semua berubah ketika
wejangan Pak kepala sekolah menyerang.Ya. Itu adalah sebuah kisah yang
menceritakan pengalaman si penulisnya sendiri. Ya, memang begitu saja.
Hidup
adalah sebuah siklus, sebuah
lingkaran. Siapalah yang tahu Qodho
dan Qodar tulisan Tuhan untuk
ciptaan-Nya? Siapalah yang tahu bila begini ini saja akhir selinting kisahnya si Samudera ketika ia dipusingkan proyek yang kian
mendekati tenggatnya? Siapalah yang tahu.
Tak ada satupun yang tahu. Termasuk aku.
Yogyakarta, Selasa pagi, 6 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar