Rabu, 28 Mei 2014

Samudera Mencari Ide

            Samudera masih bengong terpaku di depan layar datar laptop Toshiba warna hitam miliknya. Layar datar perangkat komputer itu menampilkan sebuah halaman ibarat kertas putih bersih yang tak berhuruf apatah lagi berkalimat. Pemuda tanggung itu sudah sejak 5 menit yang lalu menatap kosong halaman Microsoft Word yang masih putih bersih tanpa noda dan cela tersebut. Padahal kedua bola matanya sudah perih dan kering sebab dihembus-hembus angin buatan yang ditiup kipas angin mungil berwarna hijau dari balik layar laptop-nya. Namun tak sejengkalpun ia bergerak untuk mematikan kipas angin tersebut dengan alasan gerah. Lagipula, siapa yang tahu jika tahu-tahu nantinya angin segar dari kipas angin hijau mungil itu bakal mendatangkan sebuah ide brilian untuknya? Siapa yang tahu jika nanti tahu-tahu ia akan langsung bisa menghajar habis proyek yang tenggat hari Kamis besok ini seketikanya bila ia mendapatkan ide tersebut. Siapa yang tahu?
            Tapi, ini sudah dua jam sejak Samudera berniat untuk mengakhiri perjalanannya di lini masa akun Facebook-nya sendiri. Tentu saja niat itu bukan sekedar wacana, ia benar-benar melaksanakan niatnya tersebut. Selain lini masanya sudah mulai menyepi sebab waktu setempat sudah menunjukkan pukul tengah malam lebih dua-puluh menit, ia juga sudah diserang rasa sadar dan tanggung jawab akan proyeknya tersebut. Hm, pikirnya mungkin dengan menghentikan perjalanan berselancarnya di dunia maya tersebut ia akan segera mendapatkan ide agar bisa segera memulai proyeknya. Ya, memulai. Pemuda tanggung itu bahkan belum memulai proyeknya! Lantas bagaimana bisa ia menyelesaikan proyeknya sedang memulainya saja belum? Aduh, biyung-biyung!

            
Wush! Samudera bak terhempas dari dunia angan, ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai memerah, semakin kering. Menyadarkan dirinya sendiri apakah ia serta pikirannya sudah mendapatakan ide segar nan brilian demi memulai proyek sederhana ini. Belum. Ia belum dapat memastikan, sebab kini ia malah terheran-heran mendengar sebuah suara aneh yang entah darimana datangnya suara tersebut. Kini ia malah sibuk mencari-cari sumber suara yang mengejutkannya dari kebengongannya tadi. Manalah suara seperti suara giring-giring itu berasal? Dari kolong meja laptoptempat kaki jenjangnya sedang selonjorankah? Tak ada.Dari dalam kaleng bekas Tango? Kosong.Dari ruang lemari baju? Nihil. Lantas?
            Hm, sambil menatap ke arah atas, menatap ke pucuk sudut lemari bajunya, Samudera memindahkan telapak tangan kirinya ke perut cekungnya, memegangi lapisan kaos oblong warna putih yang beranjak kecoklatan yang menutupi kulit perutnya.Ia secara tak langsung memegangi lambungnya. Tahu-tahu lambungnya itu melakukan kontraksi sembari bersuara nyaring. Senyaring suara yang dari tadi ia cari-cari asal-usulnya. Oh, ternyata.
            “Kampret. Sedang tenggat begini kau tak hendak berkawan dengan aku, dasar kau lambung yang kelaparan!” Samudera malah misuh terhadap lambungnya sendiri.Beruntung si lambung itu bukanlah makhluk hidup, jadi ia tak akan bisa balik memaki dan menuntut lebih lanjut pada Samudera yang sore kemarin hanya menyuapinya dengan sebungkus nasi kucing.
Itu adalah sebungkus nasi sekepalan tangan orang dewasa dengan lauknya ikan bilis (ikan teri) yang disambal. Entah apa musababnya sampai ianya dinamai demikian. Mungkin pelopornya terilhami dari penganan semi-mewahpara kucing, yakni sejumput nasi yang digaul dengan kotorannya ikan bilis bahkan tubuh ikan bilisnya itu sekalian. Mungkin juga waktu itu pelopornya sedang kehabisan sayur-mayur bahkan kuahnya sekalian, sehingga ia hanya punya sisa nasi beberapa centong dengan lauknya ikan bilis yang disambal.
Apapun itu, belakangan ini Samudera sedang getol menyuapi lambung kurunya dengan bungkus per bungkus nasi kucing yang ia beli dari Kang Sabri, pemilik angkringan yang hampir tiap malam mangkal di depan kampusnya. Angkringan Kang Sabri tersebut tak selalu mangkal, sebab jikalau hari itu langit sedang ingin buang air (baca: hujan) maka lapak angkringan tersebut pastilah dibanjiri air setinggi satu hingga tiga sentimeter. Hal tersebutlah yang bakal menjadikan Angkringan Kang Sabri gulung tikar untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Jika Angkringan Kang Sabri absen, maka Samudera harus merelakan ongkos makan yang lebih mahal dari biasanya untuk membeli makan malam selain nasi kucing Kang Sabri. Namun pada keadaan demikian tetap saja ada pihak yang diuntungkan, yakni lambungnya Samudera.
Mungkin jika lambungnya Samudera bisa bicara ia akan berujar, “Lumayan, bro. sekali-kali ane disuapin makanan enak. Gak nasi-teri muluk!”
Untunglah, malam kemarin keuangan Samudera tak mengalami fluktuasi sebab malam kemarin gerobak Angkringan Kang Sabri berdiri tegar di tempat biasanya, di depan kampusnya Samudera. Tempat dimana Samudera diembankan sebuah amanah, sebuah proyek sederhana yang harus dikelarkan dalam waktu se-Minggu, dan hari Kamis besok adalah tenggat waktunya. Atau istilah kerennya adalah deadline. Sementara itu Samudera masih sibuk mengais-ngais ke merata tempat, mencari ide yang tepat untuk proyeknya yang harus segera diserahkan maksimal hari Kamis besok jam empat.
Duh, Samudera mentok. Mana lambung perutnya itu masih berisik bersuara, tak hendak diam meski ia sudah tersiksa secara fisik sebab Samudera kerap menekan-nekannya dengan keras supaya diam. Tapi bagaimanalah, Samudera selama hidupnya memang tak pernah lepas dari lambung satu-satunya itu. Lambungnya itu adalah salah satu bentuk kesetiaan paling nyata yang pernah dirasakan oleh Samudera. Hanya dianya saja yang ego tak pernah rela memanjakan ‘sahabat’ setianya tersebut dengan menyuapinya jenis asupan makan selain nasi kucing tadi. Yah, hal itu mungkin akan terus berlanjut selama status Samudera masih sebagai seorang Mahasiswa Perguruan Tinggi.
Padahal dulu waktu Samudera masih tinggal serumah dengan Mamak dan Bapak, ia (beserta lambungnya) selalu dimanjakan dengan masakan enak nan istimewa buatan koki rumah paling handal yang cantiknya mengalahkan kecantikan Miss Indonesia masa kini. Masakan Mamaknya. Meski masakan Mamaknya itu sekedar nasi dengan cah daun kates lauk ikan asin sambel ijo, Samudera selalu jadi pelahap nomor satu di rumahnya. Ia selalu mencintai masakan Mamak satu-satunya itu, ia selalu mencintai apapun yang dimasak Mamak untuk keluarga kecilnya.
Ah, tapi itu dulu, waktu Samudera masih hobi kelayapan. Itu waktu ia masih jadi siswa Sekolah Menengah Umum yang malas dan beringas. Itu waktu ia masih jadi preman kelas teri. Itu waktu ia selalu jadi pentolan kericuhan dalam beberapa aksi kekerasan siswa melawan massa di kotanya.
Pulang jarang, ujian selalu mengulang bukanlah sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh Samudera. Lebih parah, ia tak pernah punya prinsip sama sekali meski itu prinsip paling negatif sekalipun.Hidupnya bagai nelayan lumpuh, hanya mengikuti riak gelombang kemanapun mengombang-ambingkan sampannya.
Tapi pada masa paling suram tersebut, Samudera selalu pulang jika waktu makan telah tiba: makan siang dan makan malam. Ya, tersebab bahwa ia terlalu mencintai masakan Mamaknya itulah. Seberingas apapun seorang anak, ketika ia sudah jatuh cinta pada masakan Mamaknya, ia akan selalu pulang meski kepulangannya sekedar membuka penudung hidang lusuh di tengah hari bolong, mencari makan.
Ck! Samudera berdecak kesal. Tiba-tiba ia malah jadi terkenang dengan Mamaknya, dengan Bapaknya, dengan adek-adeknya, serta dengan masakan nasi sayur daun kates lauk ikan asin sambel ijo buatan Mamaknya yang kini tertinggal nun di sana yang terpisahkan oleh sebentang lautan Laut Jawa yang dalam dan membiru. Seringkali ia menyayangkan masa yang dulu sebenarnya seindah tumpahan gemintang di langit malam ini. Masa dimana seharusnya ia menempa potensi dan bakat terpendam yang dimilikinya. Itu masa lalu. Yah, sayangnya bubur yang terlalu tanak itu tak akan bisa diubah menjadi nasi kembali, tak akan pernah bisa diubah. Mungkin bila ditambahkan suwiran daging ayam, kerupuk udang, kecap, dan sambel, bubur tersebut akan terasa lebih berani dan baru. Layaknya diri Samudera yang sekarang.
Mahasiswa tahun kedua itu kini sedang mengemban jabatan paling wahid pada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang sudah sejak setahun belakangan ia ikuti. Kini ia tak sekedar mengikuti, ia adalah ketua UKM Resimen Mahasiswa (MENWA) Universitasnya. Itu adalah suatu unit kegiatan mahasiswa yang benar telah mengembangkan potensi jiwa kepemimpinannya, terutama dalam memimpin pasukan. Ya, kelihatannya hampir miriplah dengan masa SMU-nya dulu. Sama-sama memimpin pasukan, hanya berbeda tujuan dan cara mendidiknya.
Pemuda tanggung itupun kini sudah memiliki sejumlah visi dan misi hidup. Tak ada lagi nelayan lumpuh, tak adalagi prilaku menaruh peruntungan pada setiap aspek kehidupan. Peruntungan layaknya ketika ia menerima surat kelulusannya langsung dari Kepala sekolahnya dulu, waktu hari kelulusan.
Kepala sekolahnya itu adalah seorang pentolan sekolah paling tabah yang selalu percaya bahwa Samudera akan menjadi sosok yang diluapi samudra visi pun misi. Beliau selalu yakin dan percaya, preman sekolah kelas teri itu akan mampu menguasai dan mengendalikan sampan kecilnya menuju samudra yang maha dahsyat riak dan anginnya. Beliau tahu. Sebab beliau mampu membaca sekaligus menafsirkan tatapan beringasSamudera saat beliau menyemprotnya dengan nasehat-nasehat paling pamungkas yang selalu beliau berikan setiap kali Samudera disuruh mendatangi ruang BK, lebih tepatnya dipanggil ke ruang BK. Nasehat-nasehat tersebut beliau terima dari kepala sekolahnya ketika beliau masih jadi seorang pemuda tanggung yang jadi preman sekolah kelas teri. Sama seperti preman kelas teri yang tengah dihadapinya kala itu. Keyakinan beliau terhadap seorang preman sekolah itu pun sama besarnya dengan keyakinan kepala sekolahnya dulu terhadapnya.
Setidaknya, Samudera sempat mampu membaca dan menafsirkan tatapan mata Kepseknya dulu itu. Tatapan mata yang berkilau dengan genangan bening yang tak sempat terjatuh, sebab beliau terlalu tangguh untuk menjatuhkannya. Tatapan mata yang sudah mencairkan dan menundukkan keberingasannya. Tatapan yang tulus penuh kesabaran di akhir perjuangannya sebagai siswa sekolah menengah atas.
Ah, bernostalgia mengenai masa lalu yang paling berharga memang tak akan pernah ada habisnya. Dan alamak! Samudera masih belum lagi dapatkan ide untuk mengetikkan proyeknya tersebut! Ia terlalu lena dengan kenangan masa lalu itu sampai terlupa proyek sederhananya yang sejak sekitar tiga jam yang lalu ia peram.
“Duh, Emak! Apelah yang mesti aku tulis untuk cerpen ini?” Resah Samudera sambil meremas dan menggaruk kasar rambut cepaknya yang tak gatal. Ya, itu memang hanya sebuah proyek menulis cerpen yang ditugaskan oleh para pengurus sebuah Lembaga Sosial Organisasi Jurnalistik yang Samudera ikuti sebagai satu di antara program kerja mereka. Minggu ini Samudera kebagian jadwal untuk menerbitkan karya tulis fiksinya. Hari Kamis besok ia sudah harus menyerahkan hasil tulisnya pada penanggung jawab proker tersebut. Sayangnya ia masih belum tahu apa yang harus ditulisnya.
“Kampret!” Samudera meringis kesal.
Namun tiba-tiba, otak Samudera terasa diterangi cahaya matahari yang dapat mengalahkan terangnya lampu neon kamar kos pengapnya. Ia bak ditimpa-timpa durian runtuh sebab sudah mendapatkan ide yang lumayan brilian untuk karya tulis fiksinya tersebut. Samudera dengan seringai licik ngebut mengetik-ngetikkan jemari lentiknya pada tuts-tutskeyboard laptop Toshiba hadiah kelulusan dari Bapaknya itu.Ia cepat-cepat menumpahkan ide yang barusan didapatnya ke atas layar Microsoft Word yang sedari tadi lowong tak beraksara. Ia tak mau ide segar tersebut pudar dan lenyap bila ia tak lekas-lekas menghidupkannya pada tiruan lembaran kertas tersebut.Ia sengaja mengosongkan baris judulnya terlebih dahulu, siapa tahu nanti di tengah jalan cerita ia akan menemukan judul yang tepat bagi fiksinya tersebut.
Benar saja, 15 menit kemudian Samudera baru bisa menentukan judul fiksinya: Samudera Mencari Ide. Maka sesuailah judul cerpen itu dengan isinya. Itu adalah sebuah cerita pendek mengenai seorang mahasiswa yang digalaukan oleh proyek menulis kisah fiksi alias cerita pendek yang ditugaskan oleh pengurus Lembaga Sosial Organisasi Jurnalistik yang diikuti oleh si tokoh sebagai salah satu program kerja mereka.Itu adalah cerita tentang seorang mahasiswa yang sedang mentok tak beride tak bergagas untuk menuliskan proyeknya, padahal proyek itu harus diserahkan kepada penanggungjawab yang punya proker hari Kamis besok. Malah, ketika sedang tenggat-tenggatnya, tokoh yang tersurat dalam kisah itu mengalamai konflik dengan otak dan lambungnya. Selain ketiadaan ide, si tokoh juga mengalami ketiadaan pangan yang menyebabkan tokoh semakin kalut dan semakin hilang akal. Akalnya tak benar-benar hilang, akalnya hanya sedang berlari mundur ke kenangan sewaktu tokoh masih sempat meluangkan waktu dengan keluarganya, khususnya dengan Mamaknya. Akal si tokoh juga sempat kembali mengunjungi sekolahan tempatnya dulu sempat jadi pemikiran yang malas dan beringas. Namun ketika detik terakhir kehidupannya di sekolah tersebut, akal pemikiran itu pun terbebas dari segala kekonyolan. Semua berubah ketika wejangan Pak kepala sekolah menyerang.Ya. Itu adalah sebuah kisah yang menceritakan pengalaman si penulisnya sendiri. Ya, memang begitu saja.
Hidup adalah sebuah siklus, sebuah lingkaran. Siapalah yang tahu Qodho dan Qodar tulisan Tuhan untuk ciptaan-Nya? Siapalah yang tahu bila begini ini saja akhir selinting kisahnya si Samudera ketika ia dipusingkan proyek yang kian mendekati tenggatnya? Siapalah yang tahu. Tak ada satupun yang tahu. Termasuk aku.

Yogyakarta, Selasa pagi, 6 Mei 2014

by: Amillie Ullia


Andainya fikiran mudah terkatung, mestinya akan tercipta samudra tak berujung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar