Sabtu, 31 Mei 2014

Cerita Untuk Rassya


Aku melihat ibu sedang menahan nafasnya. Mata bulat itu memandang ke samping rumah memperhatikan adik kecilku Rassya yang sedang bermain dengan teman sebayanya. Hari makin panas. Ibu sudah berkali-kali meneriaki Rassya yang tak kunjung masuk ke rumah. Anak itu memang agak nakal, tubuhnya kurus tapi lincah, lidahnya tajam. Sebagai anak bungsu tidak mengherankan jika ia manja dan kadang-kadang suka membantah perkataan ibu. Sekali waktu aku pernah menasihatinya saat ibu sudah lelah dari pagi hingga sore bekerja di klinik sebagai perawat gigi dan ketika pulang harus mendapati perilaku Rassya yang amat menyebalkan itu.
“Rassya tuh gak boleh nakal, kasihan ibu dan ayah setiap hari bekerja untuk Rassya supaya Rassya bisa sekolah, bisa makan, bisa beli mainan. Tapi waktu sampai rumah malah Rassya main kemana-mana tidak mau nurut kalau disuruh pulang. Kasihan ibu, Sya.” Aku katakan hal itu padanya dan untuk kesekian kalinya dalam 2 minggu. Tetap saja ia membandel.  Berbeda denganku dan Raihan kami selalu menuruti apa kata ibu, tidak pernah main keluar rumah. Maka para tetangga pernah menyangka kami anak yang sombong. Padahal sebenarnya tidak. Kami hanya terlalu malu untuk bermain. Kami lebih suka membaca buku dirumah atau menonton TV.
”Raisa cepat jemput adikmu, kepala ibu pusing. Lihatlah badannya sudah berkeringat.” perintah ibu sambil memijiat kening keriputnya. Oh ibu kami tak tahu perasaanmu melihat tingkah kami yang berbeda-beda ini.


Aku segera menghampiri Rassya yang sedang bermain bak pasir. Kaki mungilnya sudah kotor oleh butiran keabu-abuan itu. Muka yang memerah oleh sengatan matahari. Ku gendong tubuh yang hanya setinggi pinggangku itu. Ia memberontak minta dilepaskan. Kutepuk pelan pantat kecilnya. Ia menangis minta turun. Aku hanya mengabaikannya sambil membujuk ia.
Sampai di dalam rumah Ibu sudah melotot ke arahnya dan menarik tangan lemah itu masuk kedalam kamar mandi.
“Sudah berapa kali Ibu bilang Sya, kalau ibu suruh pulang ya pulang!”
Kudengar suara ibu yang menggema dikamar mandi diiringi suara guyuran air. Pasti Rassya sedang dimandikan mengingat badannya yang kotor oleh pasir. Suara tangisan Rassya memekakkan telinga. Sesekali ia terbatuk dan sesegukan. Aku dan Raihan berpandangan. Kami merasa kasihan juga padanya. Tapi dia amat nakal.
***
Adzan maghrib telah dikumandangkan kami sekeluarga Sholat berjamaah. Kulihat Rassya masih asyik dengan kartunnya.
“Mbak, ajak Rassya untuk berwudhu!” perintah ayah.
Aku berjalan mendekatinya dan mematikan televisi. Adik mungilku itu melayangkan protesnya sambil merengut.
“Ayo berwudhu kita mau sholat!”
“Adik gak mau sholat mbak, adik mau nonton Upin Ipin sedang seru mbak, gigi Ehsan mau dicabut...” Ia menolak ajakanku dengan menceritakan kartun favoritnya itu. sayang sekali aku tidak tertarik.
“Sudahlah nanti lagi nonton kartunnya sekarang sholat dulu, Sya.”
Akhirnya ia menurut dan dengan langkah malas menuju tempat berwudhu.
Selesai sholat maghrib kami mengaji. Dimulai dari anak yang paling tua-tentu saja aku-lalu Raihan yang semakin hari semakin gempal saja tubuhnya, barulah Rassya. Ia masih Iqra’ 4 di umurnya yang enam tahun.
Saat tiba giliran untuk mengaji seperti biasa diawal mengaji Rassya bersemangat ketika sudah mencapai baris keempat duduknya mulai gelisah, tangannya sibuk menggaruk sana-sini, suaranya serak menahan tangis pertanda ia sudah bosan. Sifat mudah bosannya itu yang paling aku kesalkan.
“Yah, adik sudah capek!” ujarnya sambil menggaruk pelipisnya.
Ayah hanya mendesahkan nafas berat sudah tahu akan selalu berakhir seperti ini. maka pengajian itu tidak beliau teruskan.
***
Malam hari kulihat ibu sedang mengajarkan Rassya mengeja. Aku ikut nimbrung dan memperhatikannya. Rassya mendorong tubuhku pertanda aku tidak boleh ikut melihatnya. Ia melanjutkan ejaannya tentang nama-nama binatang.
“Ibu adik ngantuk, sudah ya belajarnya.”
Dulu waktu ibu mengajarkanku dan Raihan membaca, ayah mengajarkan kami mengaji, tak pernah sedikitpun kami berani memprotes sudah capek, ngantuk, pegal dan lain sebagainya. Tapi Rassya dengan mudahnya melantangkan kalimat itu. Dia sungguh berbeda dengan kami berdua.
Ibu menatapnya.
“Rassya tahu tidak, Rassya bukan anak ibu.” ujar Ibu dan jujur membuatku kaget. Maksudnya apa?
“Dulu waktu Rassya masih bayi, Mbak Raisya yang menemukan Rassya di depan pintu rumah kita itu. Rassya masih kecil sekali dibungkus pakai selimut biru, terus Mbak Raisya kasih ke Ibu.”
Ada-ada saja Ibu ini mengarang cerita. Itu kan cerita yang ku buat bersama Raihan saat dulu kami terpengaruh oleh sinetron-sinetron di TV. Waktu itu kami hendak berkunjung ke rumah nenek, Rassya masih bayi dan aku masih kelas 2 SMP Raihan kelas 3 SD kami sekedar membuat lelucon. Aku menggendong Rassya yang sudah memakai selimut birunya ku taruh ia didepan pintu rumah dan berakting seperti di sinetron-sinetron itu menemukan seorang bayi yang dibuang ibunya. Sungguh konyol.
Aku hanya tersenyum-senyum mendengar cerita ibu. Rassya sudah mau menangis menengar ia bukan anak ibu.
“Ibu, Rassya anak siapa?” tanyanya sambil menahan tangis. Bibirnya bergetar.
“Ibu tidak tahu, mungkin Ibu Rassya membuang Rassya untung Mbak Raisya menemukanmu di depan pintu.” Ibu menatapku sambil menahan tawa.
Rassya sudah menangis sekencang-kencangnya dan serta merta memeluk ibu kuat-kuat.
“Rassya gak mau Ibu yang jahat itu, Bu!”
“Makanya Rassya jangan nakal, kalau ibu suruh pulang nurut.”
Rassya cuma mengangguk dan makin mengeratkan pelukannya.
“Anak ibu tidak ada yang nakal, lihat Mbak Raisya sama Aa’ Raihan gak ada yang nakal semua nurut sama ibu, kenapa cuma Rassya yang nakal?” ibu mengelus punggung Rassya yang kecil.
“Rassya gak nakal lagi, janji.”
Aku hanya tertawa tanpa suara melihat kelakuan Rassya. Menggemaskan.
Rassya menghentikan tangisannya beralih memandangku.
“Mbak, terima kasih sudah menyelamatkan adik.” katanya sambil berderai air mata dan ia memelukku. Harum aroma bayi segera menghampiri indera penciuman. Bagiku ia masih bayi.
Aku hanya mengangguk. Entah mengapa aku merasa dia dewasa sekali. “Rassya gak boleh nakal lagi, ya.”
Dia hanya mengangguk dan melepaskan pelukannya. Dikecupnya kedua pipi dan keningku. Lalu berlaih mengecup pipi dan kening ibu.
“Rassya sayang ibu.” katanya sebelum beranjak masuk ke kamar dan naik keatas tempat tidur membaca do’a kemudian terlelap. Hari-hari menjadi anak baik akan segera dimulai. Tapi mungkin itu tidak mudah.

Yogyakarta, 2014

by: Dinara Adni



2 komentar:

  1. cerpen yang menarik,.. semangat menulis,... di buat buku kumpulan cerpen bagus deh,... di akhir pengurusan,... hehehe,...

    BalasHapus
  2. wies, Mbak Rani nampaknya yang paling rajin mbaca plus ngomen nih! hehe :D
    idenya boleh jugak tuh direalisasikan (y) like, like! :D

    BalasHapus