Aku melihat ibu
sedang menahan nafasnya. Mata bulat itu memandang ke samping rumah
memperhatikan adik kecilku Rassya yang sedang bermain dengan teman sebayanya.
Hari makin panas. Ibu sudah berkali-kali meneriaki Rassya yang tak kunjung
masuk ke rumah. Anak itu memang agak nakal, tubuhnya kurus tapi lincah,
lidahnya tajam. Sebagai anak bungsu tidak mengherankan jika ia manja dan
kadang-kadang suka membantah perkataan ibu. Sekali waktu aku pernah
menasihatinya saat ibu sudah lelah dari pagi hingga sore bekerja di klinik
sebagai perawat gigi dan ketika pulang harus mendapati perilaku Rassya yang
amat menyebalkan itu.
“Rassya tuh gak
boleh nakal, kasihan ibu dan ayah setiap hari bekerja untuk Rassya supaya
Rassya bisa sekolah, bisa makan, bisa beli mainan. Tapi waktu sampai rumah
malah Rassya main kemana-mana tidak mau nurut kalau disuruh pulang. Kasihan ibu,
Sya.” Aku katakan hal itu padanya dan untuk kesekian kalinya dalam 2 minggu.
Tetap saja ia membandel. Berbeda
denganku dan Raihan kami selalu menuruti apa kata ibu, tidak pernah main keluar
rumah. Maka para tetangga pernah menyangka kami anak yang sombong. Padahal
sebenarnya tidak. Kami hanya terlalu malu untuk bermain. Kami lebih suka
membaca buku dirumah atau menonton TV.
”Raisa cepat
jemput adikmu, kepala ibu pusing. Lihatlah badannya sudah berkeringat.”
perintah ibu sambil memijiat kening keriputnya. Oh ibu kami tak tahu perasaanmu
melihat tingkah kami yang berbeda-beda ini.
Aku segera menghampiri Rassya yang sedang bermain bak pasir. Kaki mungilnya sudah kotor oleh butiran keabu-abuan itu. Muka yang memerah oleh sengatan matahari. Ku gendong tubuh yang hanya setinggi pinggangku itu. Ia memberontak minta dilepaskan. Kutepuk pelan pantat kecilnya. Ia menangis minta turun. Aku hanya mengabaikannya sambil membujuk ia.
Sampai di dalam
rumah Ibu sudah melotot ke arahnya dan menarik tangan lemah itu masuk kedalam
kamar mandi.
“Sudah berapa
kali Ibu bilang Sya, kalau ibu suruh pulang ya pulang!”
Kudengar suara
ibu yang menggema dikamar mandi diiringi suara guyuran air. Pasti Rassya sedang
dimandikan mengingat badannya yang kotor oleh pasir. Suara tangisan Rassya
memekakkan telinga. Sesekali ia terbatuk dan sesegukan. Aku dan Raihan
berpandangan. Kami merasa kasihan juga padanya. Tapi dia amat nakal.
***
Adzan maghrib
telah dikumandangkan kami sekeluarga Sholat berjamaah. Kulihat Rassya masih
asyik dengan kartunnya.
“Mbak, ajak
Rassya untuk berwudhu!” perintah ayah.
Aku berjalan
mendekatinya dan mematikan televisi. Adik mungilku itu melayangkan protesnya
sambil merengut.
“Ayo berwudhu
kita mau sholat!”
“Adik gak mau
sholat mbak, adik mau nonton Upin Ipin sedang seru mbak, gigi Ehsan mau
dicabut...” Ia menolak ajakanku dengan menceritakan kartun favoritnya itu.
sayang sekali aku tidak tertarik.
“Sudahlah nanti
lagi nonton kartunnya sekarang sholat dulu, Sya.”
Akhirnya ia
menurut dan dengan langkah malas menuju tempat berwudhu.
Selesai sholat
maghrib kami mengaji. Dimulai dari anak yang paling tua-tentu saja aku-lalu
Raihan yang semakin hari semakin gempal saja tubuhnya, barulah Rassya. Ia masih
Iqra’ 4 di umurnya yang enam tahun.
Saat tiba
giliran untuk mengaji seperti biasa diawal mengaji Rassya bersemangat ketika
sudah mencapai baris keempat duduknya mulai gelisah, tangannya sibuk menggaruk
sana-sini, suaranya serak menahan tangis pertanda ia sudah bosan. Sifat mudah
bosannya itu yang paling aku kesalkan.
“Yah, adik sudah
capek!” ujarnya sambil menggaruk pelipisnya.
Ayah hanya
mendesahkan nafas berat sudah tahu akan selalu berakhir seperti ini. maka
pengajian itu tidak beliau teruskan.
***
Malam hari
kulihat ibu sedang mengajarkan Rassya mengeja. Aku ikut nimbrung dan
memperhatikannya. Rassya mendorong tubuhku pertanda aku tidak boleh ikut
melihatnya. Ia melanjutkan ejaannya tentang nama-nama binatang.
“Ibu adik
ngantuk, sudah ya belajarnya.”
Dulu waktu ibu
mengajarkanku dan Raihan membaca, ayah mengajarkan kami mengaji, tak pernah
sedikitpun kami berani memprotes sudah capek, ngantuk, pegal dan lain
sebagainya. Tapi Rassya dengan mudahnya melantangkan kalimat itu. Dia sungguh
berbeda dengan kami berdua.
Ibu menatapnya.
“Rassya tahu tidak,
Rassya bukan anak ibu.” ujar Ibu dan jujur membuatku kaget. Maksudnya apa?
“Dulu waktu
Rassya masih bayi, Mbak Raisya yang menemukan Rassya di depan pintu rumah kita
itu. Rassya masih kecil sekali dibungkus pakai selimut biru, terus Mbak Raisya
kasih ke Ibu.”
Ada-ada saja Ibu
ini mengarang cerita. Itu kan cerita yang ku buat bersama Raihan saat dulu kami
terpengaruh oleh sinetron-sinetron di TV. Waktu itu kami hendak berkunjung ke rumah
nenek, Rassya masih bayi dan aku masih kelas 2 SMP Raihan kelas 3 SD kami
sekedar membuat lelucon. Aku menggendong Rassya yang sudah memakai selimut
birunya ku taruh ia didepan pintu rumah dan berakting seperti di sinetron-sinetron
itu menemukan seorang bayi yang dibuang ibunya. Sungguh konyol.
Aku hanya
tersenyum-senyum mendengar cerita ibu. Rassya sudah mau menangis menengar ia
bukan anak ibu.
“Ibu, Rassya
anak siapa?” tanyanya sambil menahan tangis. Bibirnya bergetar.
“Ibu tidak tahu,
mungkin Ibu Rassya membuang Rassya untung Mbak Raisya menemukanmu di depan
pintu.” Ibu menatapku sambil menahan tawa.
Rassya sudah
menangis sekencang-kencangnya dan serta merta memeluk ibu kuat-kuat.
“Rassya gak mau
Ibu yang jahat itu, Bu!”
“Makanya Rassya
jangan nakal, kalau ibu suruh pulang nurut.”
Rassya cuma
mengangguk dan makin mengeratkan pelukannya.
“Anak ibu tidak
ada yang nakal, lihat Mbak Raisya sama Aa’ Raihan gak ada yang nakal semua
nurut sama ibu, kenapa cuma Rassya yang nakal?” ibu mengelus punggung Rassya
yang kecil.
“Rassya gak
nakal lagi, janji.”
Aku hanya
tertawa tanpa suara melihat kelakuan Rassya. Menggemaskan.
Rassya
menghentikan tangisannya beralih memandangku.
“Mbak, terima
kasih sudah menyelamatkan adik.” katanya sambil berderai air mata dan ia
memelukku. Harum aroma bayi segera menghampiri indera penciuman. Bagiku ia
masih bayi.
Aku hanya
mengangguk. Entah mengapa aku merasa dia dewasa sekali. “Rassya gak boleh nakal
lagi, ya.”
Dia hanya
mengangguk dan melepaskan pelukannya. Dikecupnya kedua pipi dan keningku. Lalu
berlaih mengecup pipi dan kening ibu.
“Rassya sayang
ibu.” katanya sebelum beranjak masuk ke kamar dan naik keatas tempat tidur
membaca do’a kemudian terlelap. Hari-hari
menjadi anak baik akan segera dimulai. Tapi mungkin itu tidak mudah.
Yogyakarta, 2014
cerpen yang menarik,.. semangat menulis,... di buat buku kumpulan cerpen bagus deh,... di akhir pengurusan,... hehehe,...
BalasHapuswies, Mbak Rani nampaknya yang paling rajin mbaca plus ngomen nih! hehe :D
BalasHapusidenya boleh jugak tuh direalisasikan (y) like, like! :D