Aku rasa hidup
itu seperti kanvas, dan kitalah pelukisnya.
mau seperti apa hidup kita, mau diberi warna apa, jawabannya ada pada diri kita,
dan aku Vidi memilih melukiskan pelangi dihidupku.
dan aku Vidi memilih melukiskan pelangi dihidupku.
Menatap
kosong kearah jendela yang berembun karena rintikan hujan, memainkan
jemari-jemariku, dikaca berembun, memandangi tiap tetesnya yang mengalir
lembut, kau takkan pernah tahu bagaimana irama rintiknya begitu damai amat
menenangkan, betapa sejuknya
menembus hingga ke ujung jari-jemariku bahkan membuat syal ini
senantiasa melekat erat dileherku,
aku ingin sekali berlari
menjemputnya, menikmati tiap tetes rinainya dan menari bersama. Ah! Sudahlah aku bermimpi rupanya, bukankah terakhir
kali aku mencoba hal yang sama tapi aku justeru menjatuhkan diriku kelantai
“Neng, ngapain atuh disitu. Nanti masuk angin” suara seorang wanita paruh baya menghamburkan lamunanku
“Eh
bibi, nggak apa-apa bi, Neng pengen liat ujan.Neng gak papa kok bi udah pake
syal” sahutku menyakinkan ditambah sedikit senyum manis.
“Ya sudah kalo itu maunya Neng, kalo
ada apa-apa panggil bibi
nyak, bibi kebelakang dulu ya
mau nyiapin makan siang. Neng teh mau dimasakin apa?
“Apa aja, bik.” Jawabku dengan kembali melemparkan senyum
Lalu Bik Minah meninggalku
sendiri yang masih enggan beranjak dari balik jendela. Selang beberapa saat
kakak pertamaku pulang dari apotek tempatnya bekerja 1 tahun terakhir ini, bau khas apotek yang langsung semerbak memenuhi tiap
jengkal ruang menandingi semerbak 2 tangkai
mawar disampingku.
“Eh, si Neng
geulis
teh
kunaon di die? udah makan ? tanyanya sembari
meletakkan tas kerjanya di atas meja dan melepaskan jas Apotekernya.
“Ntene naon, Teh. “ aku menjawab datar
“Teh, Neng boleh bilang sesuatu?”
“Sok atuh, mau bilang apa ?” jawab kakakku sembari berpindah duduk di sampingku.
“Teh, Neng boleh bilang sesuatu?”
“Sok atuh, mau bilang apa ?” jawab kakakku sembari berpindah duduk di sampingku.
“Teh, Neng bosen dirumah terus,
Neng teh
pengen kuliah, Neng capek
Neng kepengen kaya temen-temen Neng yang lain” kataku dengansedikitnafastersegal
“Trus
Neng maunya gimana ?”
jawab kakak ku sambil merengkuh pundakku. Aku
yang berada di sampingnya sudah tak lagidapat menahanbuliran panas yang
memenuhi kelopak mataku, siap tumpah sambil
menyingkirkan tangan Kakakku aku menjawab
“Terus Neng harus nunggu
sampe kapan teh
? harus nunggu 1 tahun lagi ? Neng capek
lagian dengan keadaan Neng
yang sekarang gak
mungkin Neng jadi.. ah udahlah
teh, Neng pengen istirahat“ jawabku sembari
berlalu menginggalkan kakakku seorang diri
Aku
berlalu begitu saja meninggalkan kakakku yang masihduduk
di kursidepan. Aku melewati kamar Bunda, kemudian berhenti, sejenak kupandangi pintu
coklat itu masih sama seperti 1 tahun lalu
masih saja tampak mendung, gelap dan penuh kepedihan. Kuberanikan diri mengetuk
pintu kamarnya lalu Bunda pun membukakan pintu, terlihat tubuhnya yang kian
lemah, mungkin lebih
lemah dari tubuhku, mata
pandanya yang cekung, pucat
pasi, dan tubuh yang tak segempal
1 tahunlalu.
“Ada
apa?” tanya bunda
sembari membuka pintu
“Neng mau masukboleh? Neng mau cerita samabunda, Neng kepengen.... belum selesai aku bercerita bunda langsung menutup keras
pintu kamarnya dan saat ini kelopak mataku tak lagi mampu menahan bendungannya,
akupun menangis di depan pintu kamar bunda, dan berlalu meninggalkannya.
Namaku Vidi, usiaku 19 keluargaku biasa memanggilku Neng,
panggilan khas untuk si bungsu. Cerita ini bermula saat kejadian 1 tahunsilam,
sudah lama memang tapi kepiluan dan kepedihan ini belum jua dapat disembuhkan terutama
untuk bunda. Bunda menjadi depresi semenjak Ayah pergi meninggalkannya dan ketiga putrinya
untuk selamanya. Ayah meninggal
karena kecelakaan mobil. Kala ituAyah mendampingiku menghadiri acara kelulusan
di sekolahkudan pada saat itu pula aku menjadi lulusan terbaik
dengan nilai UN tertinggi. Rasa haru dan bangga yang kulihat di mata Ayah saatitu.
Pihak sekolah beserta para guru-pun member ucapan selamat untukku dan
Ayah.Sepulang dari acara kelulusan Ayah dan aku berencana pergi ketoko kue untuk
membeli sebuah tart untuk merayakan kelulusanku
bersama bunda dan kakak. Berangkatlah kami menuju toko kue langganan, aku duduk
di samping ayah yang sibuk mengemudikan mobilnya.
“Ayah
bangga samaNeng, Neng pinter. Pokoknya nanti
setelah ini langsung daftar Fakultas Kedokteran yaNeng. Ayah teh kepengen
anak Ayah yang paling bontot ini nanti
jadi dokter, biar bisa menolong orang yang sakit,
menolong orang yang kesusahan, pokoknya harus jadi Dokter ya nak” ucap Ayah penuh semangat dengan mata bangga berbinar-binar.
“Iya Yah, Neng bakalan berusaha semaksimal
mungkin Insya Allah,
Allah bakalan kasih jalan terbaik kok”
aku menjawab sembari memandang wajah teduh
Ayah.
15
detik kemudian, semua harapan dan impian-impian yang
tadi ku elu-elukanbersama Ayah sirna,
Entahlahapa yang menyebabkan Ayah lost control
lalu mobil yang kami gunakan menabrak
salah satu trotoar di jalan,
aku tak bisa lagi mengingat
semuanya yang jelas kejadian sore itu telah merenggutAyahku, mimpiku juga kaki kiriku. Aku batal
mendaftar sebagai mahasiswa kedokteran karena aku harus terbaring koma selama 3
bulan pasca amputasi kaki kiriku. NamakuVidi usiaku 19 dan aku memutuskan untuk
menunda kuliahku 1 tahun untuk pemulihan kaki, juga hatiku.
v
Aku selalu suka pagi, dimana setiap harapan dan mimpi menanti
untuk kutemui.Pagi ini aku percaya akan menemui mimpi yang telah lama kunanti,
hari itu tepat 1 tahun setelah kejadian memilukan itu. Aku sudah tak ingin lagi
berlarut dalam kepiluan dan kepedihan yang justru tak membuat keadaanku lebih baik.
Hari ini pula aku memutuskan untuk memulai langkah baruku, aku yakin ini adalah
yang terbaik. Hari ini aku menerbitkan novel pertamaku. Pasca kejadian itu aku menghabiskan
waktuku untuk menulis, menulis apapun, hasilnya novel pertamaku pun terbit. Empat
bulan berselang respon pembaca terhadap novel tulisanku sangat diluar dugaan bahkan
aku tak pernahbermimpi bisa seperti ini. Novel yang kutulis menjadi best seller bahkan sudah memasuki cetakan
kedua.
Tidak hanya itu setelah aku mulai untuk menekuni pekerjaan
yang dulunya hanya hobi ini semuanya berubah menjadi manis, lebih manis dari
jus strawberry sekalipun. Kondisi bunda berangsur membaik. Bahkan hari ini Bunda
keluar dari kamarnya dan menikmati makan malam bersama. Aku berharap semua kembali
seperti sedia kala.
“Neng, gimana bukunya? Lancar nte’? sapa bunda yang membuatku sedikit tercekat. Bagaimana tidak terakhir
bunda ingin bicara adalah 4 bulan lalu saat aku mengetuk pintu kamarnya, ya seingatku
itu yang terakhir.
“Alhamdulillah Bun, mohon do’a ya, Bun? Aku menjawab sapaan
bunda dengan mata berbinar.
“Pasti, Neng” bunda kemudian menggenggam tanganku. Aku
tak lagi dapat menahan air mataku aku pun langsung memeluk bunda, betapa rindu ini
begitu menyesakkan hatiku, tangisku pecah di pelukan bunda. Tak dapat kupungkiri
aku merindukan dekapannya. Kedua kakakku pun
mendekat dan kami berpelukkan. Allah terima kasih atas malam yang begitu
indah ini. Allah kaulah maha dari segala maha.
“Neng, maafin bunda nya selama ini the bunda membiarkan
Neng berjuang sendiri selama ini bunda…” bunda tak mampu melanjutkan ucapannya ia
terisak, tangisannya telah mampu menjawab semuanya. Aku-pun mendekapnya lagi.
“Bunda teh gak
boleh ngomong gitu, Neng juga minta maaf
nya”. Biarlah tangis ini menjawab semuanya,
biarlah tangis ini memulihkan segalanya.
Setelah malam mengharukan itu kehidupanku dan keluargaku
kembali seperti dulu. Kini aku telah menerbitkan kurang lebih 5 novel. Pun
membangun sebuah taman baca di komplek perumahanku, kini kedua kakakku pun telah
menggenapkan separuh diennya, bunda sekarang
menyibukkan diri dengan toko kue kering dan aku yakin Ayah pun akan bahagia di
sisiNya
Kadang kala jalan hidup tak melulu seperti apa yang
kita harapkan, tak melulu seperti apa yang kita rencanakan. Tak jarang pula
justru jalan yang kita jalani tak pernah ada di benak kita tapi apapun itu akan
menjadi sangat indah apabila kita mensyukurinya. Sejatinya kebahagiaan hakiki adalah
mensyukuri apa yang kita miliki.
Aku bersyukur meski aku kehilangan kaki kiriku tapi aku
tak kehilangan mimpi-mimpiku.
Namaku Vidi, usiaku 19 dan aku akan terus menuliskan mimpi-mimpiku.
Namaku Vidi, usiaku 19 dan aku akan terus menuliskan mimpi-mimpiku.
^_^ semangat menulis,... pilihan kata dan idenya menyentuh alurnya kena' untuk editingnya mungkin huruf besar dan kata yang bersambung msh perli diteliti lg,.. sedikit tahu penulis terinspirasi oleh tulisan siapa, tulisan dan penulisnya yg selalu kukagumi hehehe keep istiqomah ^_^
BalasHapussipdah atas kunjungan dan komentarnya, Mba Rani. semoga penulisnya tergugah untuk tetap semangat menulis. :)
Hapusstay tune di blog kita yaa, Mbak! hoho! ^o^