Minggu, 08 Juni 2014

Neng Vidi

 Aku rasa hidup itu seperti kanvas, dan kitalah pelukisnya.
mau seperti apa hidup kita, mau diberi warna apa, jawabannya ada pada diri kita,
dan aku Vidi memilih melukiskan pelangi dihidupku.

Menatap kosong kearah jendela yang berembun karena rintikan hujan, memainkan jemari-jemariku, dikaca berembun, memandangi tiap tetesnya yang mengalir lembut, kau takkan pernah tahu bagaimana irama rintiknya begitu damai amat menenangkan, betapa sejuknya menembus hingga ke ujung jari-jemariku bahkan membuat syal ini senantiasa melekat erat dileherku, aku ingin sekali berlari menjemputnya, menikmati tiap tetes rinainya dan menari bersama. Ah! Sudahlah aku bermimpi rupanya, bukankah terakhir kali aku mencoba hal yang sama tapi aku justeru menjatuhkan diriku kelantai

 
            “Neng, ngapain atuh disitu. Nanti masuk angin” suara seorang wanita paruh baya menghamburkan lamunanku
            “Eh bibi, nggak apa-apa bi, Neng pengen liat ujan.Neng gak papa kok bi udah pake syal” sahutku menyakinkan  ditambah sedikit senyum manis.
            “Ya sudah kalo itu maunya Neng, kalo ada apa-apa panggil bibi nyak, bibi kebelakang dulu ya mau nyiapin makan siang. Neng teh mau dimasakin apa?
            “Apa aja, bik.” Jawabku dengan kembali melemparkan senyum
Lalu Bik Minah meninggalku sendiri yang masih enggan beranjak dari balik jendela. Selang beberapa saat kakak pertamaku pulang dari apotek tempatnya bekerja 1 tahun terakhir ini, bau khas apotek yang langsung semerbak memenuhi tiap jengkal ruang menandingi semerbak 2 tangkai mawar disampingku.
            “Eh, si Neng geulis teh kunaon di die? udah makan ? tanyanya sembari meletakkan tas kerjanya di atas meja dan melepaskan jas Apotekernya.
Ntene naon, Teh. “ aku menjawab datar
“Teh, Neng
boleh bilang sesuatu?”
Sok atuh, mau bilang apa ?” jawab kakakku sembari berpindah duduk di sampingku.
“Teh, Neng bosen dirumah terus, Neng  teh pengen kuliah, Neng capek Neng kepengen kaya temen-temen Neng yang lain” kataku dengansedikitnafastersegal
“Trus Neng maunya gimana ?” jawab kakak ku sambil merengkuh pundakku. Aku yang berada di sampingnya sudah tak lagidapat menahanbuliran panas yang memenuhi kelopak mataku, siap tumpah sambil menyingkirkan tangan Kakakku aku menjawab
“Terus Neng harus nunggu sampe kapan teh ? harus nunggu 1 tahun lagi ? Neng capek  lagian dengan keadaan Neng yang sekarang gak mungkin Neng jadi.. ah udahlah teh, Neng pengen istirahat“ jawabku sembari berlalu menginggalkan kakakku seorang diri
Aku berlalu begitu saja meninggalkan kakakku yang masihduduk di kursidepan. Aku melewati kamar Bunda, kemudian berhenti, sejenak kupandangi pintu coklat itu masih sama seperti  1 tahun lalu masih saja tampak mendung, gelap dan penuh kepedihan. Kuberanikan diri mengetuk pintu kamarnya lalu Bunda pun  membukakan pintu, terlihat tubuhnya yang kian lemah, mungkin lebih lemah dari tubuhku, mata pandanya yang cekung, pucat pasi, dan tubuh yang tak segempal 1 tahunlalu.
            “Ada apa?” tanya bunda sembari membuka pintu
            “Neng mau masukboleh? Neng mau cerita samabunda, Neng kepengen.... belum selesai aku bercerita bunda langsung menutup keras pintu kamarnya dan saat ini kelopak mataku tak lagi mampu menahan bendungannya, akupun menangis di depan pintu kamar bunda, dan berlalu meninggalkannya.
Namaku Vidi, usiaku 19 keluargaku biasa memanggilku Neng, panggilan khas untuk si bungsu. Cerita ini bermula saat kejadian 1 tahunsilam, sudah lama memang tapi kepiluan dan kepedihan ini belum jua dapat disembuhkan terutama untuk bunda. Bunda menjadi depresi semenjak Ayah pergi meninggalkannya dan ketiga putrinya untuk selamanya. Ayah meninggal karena kecelakaan mobil. Kala ituAyah mendampingiku menghadiri acara kelulusan di sekolahkudan pada saat itu pula aku menjadi lulusan terbaik dengan nilai UN tertinggi. Rasa haru dan bangga yang kulihat di mata Ayah saatitu. Pihak sekolah beserta para guru-pun member ucapan selamat untukku dan Ayah.Sepulang dari acara kelulusan Ayah dan aku berencana pergi ketoko kue untuk membeli sebuah tart untuk merayakan kelulusanku bersama bunda dan kakak. Berangkatlah kami menuju toko kue langganan, aku duduk di samping ayah yang sibuk mengemudikan mobilnya.
            “Ayah bangga samaNeng, Neng pinter. Pokoknya nanti setelah ini langsung daftar Fakultas Kedokteran yaNeng. Ayah teh kepengen anak Ayah yang paling bontot ini nanti jadi dokter, biar bisa menolong orang yang sakit, menolong orang yang kesusahan, pokoknya harus jadi Dokter ya nak” ucap Ayah penuh semangat dengan mata bangga berbinar-binar.
            “Iya Yah, Neng bakalan berusaha semaksimal mungkin Insya Allah,  Allah bakalan kasih jalan terbaik kok” aku menjawab sembari memandang wajah teduh Ayah.
15 detik kemudian, semua harapan dan impian-impian yang tadi ku elu-elukanbersama Ayah sirna, Entahlahapa yang menyebabkan Ayah lost control lalu mobil yang kami gunakan menabrak salah satu trotoar di jalan, aku tak bisa lagi mengingat semuanya yang jelas kejadian sore itu telah merenggutAyahku, mimpiku juga kaki kiriku. Aku batal mendaftar sebagai mahasiswa kedokteran karena aku harus terbaring koma selama 3 bulan pasca amputasi kaki kiriku. NamakuVidi usiaku 19 dan aku memutuskan untuk menunda kuliahku 1 tahun untuk pemulihan kaki, juga hatiku.
v   


Aku selalu suka pagi, dimana setiap harapan dan mimpi menanti untuk kutemui.Pagi ini aku percaya akan menemui mimpi yang telah lama kunanti, hari itu tepat 1 tahun setelah kejadian memilukan itu. Aku sudah tak ingin lagi berlarut dalam kepiluan dan kepedihan yang justru tak membuat keadaanku lebih baik. Hari ini pula aku memutuskan untuk memulai langkah baruku, aku yakin ini adalah yang terbaik. Hari ini aku menerbitkan novel pertamaku. Pasca kejadian itu aku menghabiskan waktuku untuk menulis, menulis apapun, hasilnya novel pertamaku pun terbit. Empat bulan berselang respon pembaca terhadap novel tulisanku sangat diluar dugaan bahkan aku tak pernahbermimpi bisa seperti ini. Novel yang kutulis menjadi best seller bahkan sudah memasuki cetakan kedua.
Tidak hanya itu setelah aku mulai untuk menekuni pekerjaan yang dulunya hanya hobi ini semuanya berubah menjadi manis, lebih manis dari jus strawberry sekalipun. Kondisi bunda berangsur membaik. Bahkan hari ini Bunda keluar dari kamarnya dan menikmati makan malam bersama. Aku berharap semua kembali seperti sedia kala.
“Neng, gimana bukunya? Lancar nte’? sapa bunda yang membuatku sedikit tercekat. Bagaimana tidak terakhir bunda ingin bicara adalah 4 bulan lalu saat aku mengetuk pintu kamarnya, ya seingatku itu yang terakhir.
“Alhamdulillah Bun, mohon do’a ya, Bun? Aku menjawab sapaan bunda dengan mata berbinar.
“Pasti, Neng” bunda kemudian menggenggam tanganku. Aku tak lagi dapat menahan air mataku aku pun langsung memeluk bunda, betapa rindu ini begitu menyesakkan hatiku, tangisku pecah di pelukan bunda. Tak dapat kupungkiri aku merindukan dekapannya. Kedua kakakku pun  mendekat dan kami berpelukkan. Allah terima kasih atas malam yang begitu indah ini. Allah kaulah maha dari segala maha.
“Neng, maafin bunda nya selama ini the bunda membiarkan Neng berjuang sendiri selama ini bunda…” bunda tak mampu melanjutkan ucapannya ia terisak, tangisannya telah mampu menjawab semuanya. Aku-pun mendekapnya lagi.
“Bunda teh gak boleh ngomong gitu, Neng juga minta maaf nya”. Biarlah tangis ini menjawab semuanya, biarlah tangis ini memulihkan segalanya.
Setelah malam mengharukan itu kehidupanku dan keluargaku kembali seperti dulu. Kini aku telah menerbitkan kurang lebih 5 novel. Pun membangun sebuah taman baca di komplek perumahanku, kini kedua kakakku pun telah menggenapkan separuh diennya, bunda sekarang menyibukkan diri dengan toko kue kering dan aku yakin Ayah pun akan bahagia di sisiNya
Kadang kala jalan hidup tak melulu seperti apa yang kita harapkan, tak melulu seperti apa yang kita rencanakan. Tak jarang pula justru jalan yang kita jalani tak pernah ada di benak kita tapi apapun itu akan menjadi sangat indah apabila kita mensyukurinya. Sejatinya kebahagiaan hakiki adalah mensyukuri apa yang kita miliki.
Aku bersyukur meski aku kehilangan kaki kiriku tapi aku tak kehilangan mimpi-mimpiku.
Namaku Vidi, usiaku 19 dan aku akan terus menuliskan mimpi-mimpiku.

by: Lestari



2 komentar:

  1. ^_^ semangat menulis,... pilihan kata dan idenya menyentuh alurnya kena' untuk editingnya mungkin huruf besar dan kata yang bersambung msh perli diteliti lg,.. sedikit tahu penulis terinspirasi oleh tulisan siapa, tulisan dan penulisnya yg selalu kukagumi hehehe keep istiqomah ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. sipdah atas kunjungan dan komentarnya, Mba Rani. semoga penulisnya tergugah untuk tetap semangat menulis. :)
      stay tune di blog kita yaa, Mbak! hoho! ^o^

      Hapus