Selasa, 14 Oktober 2014

Jodoh Untuk Fatimah

Sore itu seperti biasanya aku berjalan dengan membawa keranjang kosong. Senyum mengembang dari bibirku. “Alhamdulilah, terima kasih atas rizki yang telah engkau berikan, ya Allah.” Fatimah lega. Kue kue yang ia titipkan di pasar telah laku habis terjual. Biasanya pagi hari ia membuat kue dan ia titipkan di pasar dan sore harinya setelah mengajar ia mengambil dagangannya di pasar. Dan sore ini ia bisa membawa sedikit rezeki untuk Ibu dan adik-adiknya.
“Mak, aku pulang.” Fatimah memasuki rumah dan mencari ibunya. Perempuan itu sedang sibuk di dapur. Bergelut dengan asap dan keringat yang mengucur.
“Sudah pulang, Imah. Bagaimana daganganmu?” Ibunya selalu berharap kalau kue-kue itu habis terjual.
“Alhamdulilah, Mak. Laku semua.” Fatimah berkata dengan penuh sumringah. Ibunya lega karena baginya kue kue itu adalah penyambung hidupnya bersama Fatimah dan ketiga adik Fatimah.
Fatimah adalah gadis yang cerdas, ulet, pekerja keras, dan sholehah. Tumbuh dibesarkan oleh lingkungan Muhammadiyah menjadikannya ia gadis yang cerdas dan taat kepada Allah. Setiap sore Ia juga mengajar membaca Al Qur’an untuk anak-anak TK Muhammadiyah. Namun gajinya tidak seberapa. Kue-kue itu tetap menjadi penyambung hidup untuk ibunya dan ketiga adik-adiknya.
“Jadi, kapan kamu akan mengenalkan calonmu kepada emak?” 

 
Fatimah menghela napas panjang. Pertanyaan yang selalu diulang-ulang setiap harinya. Ia bingung harus menjawab apa kepada emaknya. Dengan suara yang agak berat ia menjawab pertanyaan ibunya.
“Fatimah belum mau memikirkan itu, Mak.” Fatimah menunduk lesu.
“Lagi-lagi kamu selalu menjawab dengan begitu, Imah.” Ibunya menatap putri sulungnya itu.
“Fatimah masih memikirkan Elis, Siti, dan Azizah, Mak. Fatimah ingin menyekolahkan mereka hingga sarjana.” Kata Fatimah dengan mantap.
“Umurmu itu sudah 25, nduk. Ndak baik jika berlama-lama melajang. Kamu harus segera menikah. Urusan adik-adikmu itu biar emak yang mengurusi.” Emak mencoba membujuk Fatimah.
“Emak itu sudah terlalu tua untuk menyekolahkan mereka. Biarlah Fatimah yang mengurus mereka.” Fatimah menunduk pikirannya kacau.
”Kamu selalu memikirkan adik-adikmu. Lantas kapan kamu memikirkan dirimu sendiri? Menikah dan punya anak itu anjuran agama, nduk.” Ibunya menatapnya tajam. Fatimah hanya menunduk Ia tak bisa menjawab. “Dulu seumuran kamu, emak sudah menikah dan mempunyai anak dua. Kamu dan Siti, nduk”.
“Sudah malam, Mak. Fatimah tidur dulu, ya.” Ia pamit untuk tidur dan memasuki kamarnya. Terlihat jelas air mata jatuh membasahi pipi ibunya.
Malam itu, Fatimah tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya kacau. Ibunya selalu mendesak untuk segera menikah karena umurnya yang sudah menginjak 25 tahun. Ia belum mau memikirkan itu. Yang terpenting baginya adalah kebahagiaan ibu dan adik-adiknya. Ia juga bingung, karena belum ada lelaki yang mendekatinya. Ia juga tidak mau asal-asalan dalam memilih suami. Ia mendambakan suami yang dapat menjadi imam yang baik. Kalau saja ia mau, ia bisa saja menerima lamaran Ujang tetangga sebelah. Ujang yang kaya raya dengan harta yang melimpah. Namun Ujang bukan imam yang baik. Ujang tidak pernah sholat dan ke Masjid. Jadi ia menolak lamarannya. Ibunya bilang bahwa Fatimah bisa mengajari Ujang untuk sholat dan mengaji. Namun Fatimah masih ragu. Ia memiliki standar tinggi untuk calon suaminya kelak. Pikirannya kacau. Ia mencoba untuk memejamkan matanya.
Esok harinya ia membantu Ibunya membuat kue di dapur bersama Ibunya.
“Kak Fatimah, Elis pamit berangkat sekolah dulu, ya?” Elis Mencium tangan Fatimah.
“Hati-hati Elis. Belajar yang rajin, ya?” Fatimah selalu berpesan kepada adik-adiknya untuk belajar yang rajin. Siti adik tertuanya pun juga pamit untuk sekolah. Siti sudah besar. Ia sekolah di SMA Muhammadiyah 1 di seberang kampungnya.S edangkan Azizah adik bungsunya itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar Muhammadiyah. Ayahnya selalu berpesan kepada anak-anaknya untuk sekolah di Muhammadiyah. Ayahnya selalu membekalinya dengan ilmu-ilmu agama yang mendalam. Ia telah tumbuh dan besar di lingkungan Muhammadiyah.
Fatimah pergi ke pasar untuk menyetorkan kue-kue dagangnya. Bu Lasmi selalu senang jika ia menyetorkan dagangannya kepadanya. Katanya kue-kue Fatimah enak sekali.
“Imah, kuemu enak dan manis sekali, semanis yang membuatnya.” Fatimah tersipu malu.
“Ah, bu Lasmi bisa saja.”
“Gadis semanis dan sholeh seperti kamu kok belum ada yang meminang?” Hati Fatimah berdesir.
Kenapa orang-orang selalu bertanya begitu. Kenapa orang-orang begitu repot mengurusiku. Toh aku yang menjalaninya.” Fatimah berkata di dalam hati. Fatimah kesal. Fatimah muak dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Tiga tahun berlalu. Umur Fatimah sudah menginjak usia 28 tahun. Ia menjadi semakin kacau. Fatimah bingung harus menjawab apa. Setiap hari selalu saja ada orang yang bertanya kapan kamu menikah? Dan siapa calonmu? Fatimah begitu muak dengan pertanyaan itu. Tetapi sebagai gadis yang berjilbab dan santun ia hanya menjawab dengan halus dan sopan bahwa belum ada calon yang mendekatinya. Apalagi Ibunya yang selalu menanyakan pertanyaan itu setiap sore.Ia pusing.
Dan ketika Fatimah mengajar ngaji pun ia tidak konsen, ia masih memikirkan itu semua.
Dan setelah pulang mengajar. Mbak Riana, putri pak kyai pun menegurnya.”Kenapa kamu, Fatimah? Apa ada masalah? Mbak lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun. Ceritakan saja padaku jika ada masalah.” Fatimah menghela nafas panjang Ia mencoba menceritakan keluh kesahnya itu.”Tenang imah,suatu saat nanti jodohmu akan datang.” Mbak Riana mencoba menenangkannya.
“Tapi mbak, aku malu. Aku harus menjawab apa? Orang-orang selalu saja bertanya kepadaku.” Fatimah lesu. Ada air mata mengembang di pipinya.
“Jangan kau pikirkan perkataan orang-orang. Perbanyak sholat malam agar hatimu tenang.J odoh itu rahasia Allah.” Kata mbak Riana. Aku termenung. Mbak Riana pamit karena sudah di jemput oleh suaminya. Aku iri melihatnya. Mbak Riana beruntung. Ia memiliki suami yang tampan, sholeh dan sangat menyayanginya. Mbak Riana juga cantik dan sholehah. Mereka berdua sangat cocok. Kulihat ustadz Zakaria juga bersiap-siap untuk pulang. Hati Fatimah berdesir melihatnya. Ini yang menjadi ganjalan di hatinya. Sekian lama Ia telah memendam perasaannya kepada lelaki itu.
“Imah, aku pulang dulu, ya. Assalamualaikum.” Kata ustadz Zakaria.
“Waalaikumsalam.” Imah membalas dan berfikir mana mungkin ustadz Zakaria mau mencintainya. Ia hanyalah gadis lugu dan hanya lulusan SMP. Fatimah mencoba menyadarkan dirinya.
            Fatimah pulang dengan wajah yang sangat lesu. Ia sangat berharap kepada Ustadz Zakaria. Namun apakah mungkin lelaki itu mencintainya. Ia hanyalah gadis biasa. Sedangkan lelaki itu anak pemilik pendok pesantren yang terkenal di kampungnya. Ia berkhayal memiliki suami seperti dia.
Tok…tok. Terdengar suara orang mengetuk pintu. Ibunya bergegas membuka pintu. Dan ternyata yang datang adalah Surya, teman SMP-nya dulu. Ibunya sangat terkejut. Karena ia datang dengan membawa kedua orang tuanya.
“Jadi, maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar putri ibu.”
“Deg!” Hati Fatimah berdesir dan berdetak dengan sangat cepat. Jadi Surya ingin melamarku. Fatimah begitu terkejut mendengar perkataan Surya. Fatimah mencoba mendengar semua perkataan Surya dan Ibunya dari balik kamarnya. Ibunya sangat senang sekali. Ibunya menyuruh Fatimah keluar dari kamar dan menemui Surya.
            Malam itu Fatimah tidak bisa tidur. Ia gelisah memikirkan perkataan Surya. Ia belum menjawabnya. Ibunya mendesak untuk menerima lamaran Surya, karena ia pemuda yang baik. Tetapi masih ada yang mengganjal di hatinya. Bagaimana tentang perasaannya kepada ustadz Zakaria?
            Singkat cerita, Fatimah menerima lamaran itu. Acara resepsi berjalan dengan sangat lancar dan meriah. Dan kini Ia sangat lega karena Ia sudah sah menjadi istri Surya. Sekarang ia tidak takut lagi dibayang-bayangi dengan pertanyaan kapan menikah dengan orang-orang di sekitarnya.
“Selamat ya Fatimah, semoga menjadi keluarga yang sakinah.” Kata mbak Riana.
“Amin. Terima kasih, Mbak.” Ia sangat bahagia.
“Ini jawaban atas semua doamu imah, Allah telah memberikan jodoh yang baik kepadamu.” Kata mbak Riana.Hari itu Fatimah seperti sedang bermimpi.
“Ini toh rasanya menikah?” Fatimah berkata dalam hati. Ia sangat senang sekali.
            “Dik, mari kita pamit dengan ibu.” Mas Surya menyuruhku untuk segera berkemas-kemas dan pamit kepada Ibu. Mas Surya akan memboyongku ke rumah barunya. Tempat di mana kami akan menua dan bahagia selamannya. Aku dan mas Surya pamit kepada Ibu. Kami berdua mencium tangan ibu. Ibu telah berpesan dan memberikan nasehat yang banyak kepada kami. Kami juga berpamitan kepada ketiga adikku Elis, Siti, dan Azizah.
“Kalian harus menjaga ibu.Ingat pesan mbak. Jangan nakal dan belajar yang rajin.” Fatimah memberi pesan Kepada adik-adiknya.
“Kami akan merindukan mbak”. Kata Elis.
“Tenang mbak akan sering-sering mengunjungi kalian, kok”. Kata Fatimah menenangkan ketiga adiknya.
            Malam itu, Ibu Fatimah belum tidur.
“Emak kok belum tidur?” Kata Azizah memasuki kamar ibunya. Tujuh bulan sudah Fatimah menikah. Tetapi Fatimah belum pernah mengunjungi Ibunya. Hati Ibunya cemas dan khawatir. “Sudahlah mak, pasti mbak Fatimah sedang sibuk mengurusi keluarganya dan suaminya, pasti kapan-kapan mbak Fatimah akan mengunjungi kita.” Kata siti menenangkan.
Siang Harinya,Tok…Tok….terdengar ketukan pintu. Azizah bergegas membuka pintu dan…
“Emak! Mbak Elis! Mbak Siti! Mbak Fatimah datang!” Azizah berteriak. Ibunya sangat senang sekali. Tetapi ada yang aneh dengan Fatimah. Tubuhnya kurus, mukanya pucat, wajahnya lebam biru dan Ia datang sendirian.
“Mana suamimu?” Tanya ibunya heran. Fatimah menangis ia berkata bahwa Ia tidak bahagia dengan suaminya. Surya begitu kasar dengannya. Surya sering mabuk dan memukul dirinya ketika marah. Dan yang lebih parah lagi, ternyata saat ini Ia telah dicerai paksa oleh  suaminya. Ia telah dibuang bagai sampah tak berguna. Ia tidak kuat lagi. Fatimah memeluk ibunya dan adik-adiknya memeluknya sambil menangis. Mereka sangat sedih dengan nasib yang dialami kakaknya. Hati ibu sangat terpukul,hatinya remuk.
Tiga bulan telah berlalu. Fatimah telah resmi bercerai dengan suaminya. Berita kalau ia sudah menjadi janda telah terdengar hingga ke seluruh kampung. Ia malu dengan tetangga-tetangganya. Tetapi Ia mencoba tegar dan sabar. Malam itu Fatimah termenung.
Tok…tok ketukan pintu itu membuyarkan lamunannya. Ia bergegas membuka pintu. Dan betapa terkejutnya Ia bahwa yang datang adalah Ustadz Zakaria dan kedua orang tuanya. Kedatangannya begitu mengejutkan. Senyumnya seperti oase di tengah padang tandus. Pikirannya melayang-layang dan selajutnya aku berkata dalam hati, “Ya Allah, apa dia jodohku?”

Sejak mula lagi, ku yakin bahwa engkaulah pilihan-Nya
by: Aning

Tidak ada komentar:

Posting Komentar