Sore
itu seperti biasanya aku berjalan dengan membawa keranjang kosong. Senyum
mengembang dari bibirku. “Alhamdulilah, terima kasih atas rizki yang telah
engkau berikan, ya Allah.” Fatimah lega. Kue kue yang ia titipkan di pasar
telah laku habis terjual. Biasanya pagi hari ia membuat kue dan ia titipkan di pasar
dan sore harinya setelah mengajar ia mengambil dagangannya di pasar. Dan sore ini
ia bisa membawa sedikit rezeki untuk Ibu dan adik-adiknya.
“Mak,
aku pulang.” Fatimah memasuki rumah dan mencari ibunya. Perempuan itu sedang
sibuk di dapur. Bergelut dengan asap dan keringat yang mengucur.
“Sudah
pulang, Imah. Bagaimana daganganmu?” Ibunya selalu berharap kalau kue-kue itu
habis terjual.
“Alhamdulilah,
Mak. Laku semua.” Fatimah berkata dengan penuh sumringah. Ibunya lega karena
baginya kue kue itu adalah penyambung hidupnya bersama Fatimah dan ketiga adik
Fatimah.
Fatimah
adalah gadis yang cerdas, ulet, pekerja keras, dan sholehah. Tumbuh dibesarkan
oleh lingkungan Muhammadiyah menjadikannya ia gadis yang cerdas dan taat kepada
Allah. Setiap sore Ia juga mengajar membaca Al Qur’an untuk anak-anak TK Muhammadiyah.
Namun gajinya tidak seberapa. Kue-kue itu tetap menjadi penyambung hidup untuk
ibunya dan ketiga adik-adiknya.
“Jadi,
kapan kamu akan mengenalkan calonmu kepada emak?”
Fatimah menghela napas panjang. Pertanyaan yang selalu diulang-ulang setiap harinya. Ia bingung harus menjawab apa kepada emaknya. Dengan suara yang agak berat ia menjawab pertanyaan ibunya.
Fatimah menghela napas panjang. Pertanyaan yang selalu diulang-ulang setiap harinya. Ia bingung harus menjawab apa kepada emaknya. Dengan suara yang agak berat ia menjawab pertanyaan ibunya.
“Fatimah
belum mau memikirkan itu, Mak.” Fatimah menunduk lesu.
“Lagi-lagi
kamu selalu menjawab dengan begitu, Imah.” Ibunya menatap putri sulungnya itu.
“Fatimah
masih memikirkan Elis, Siti, dan Azizah, Mak. Fatimah ingin menyekolahkan
mereka hingga sarjana.” Kata Fatimah dengan mantap.
“Umurmu
itu sudah 25, nduk. Ndak baik jika
berlama-lama melajang. Kamu harus segera menikah. Urusan adik-adikmu itu biar
emak yang mengurusi.” Emak mencoba membujuk Fatimah.
“Emak
itu sudah terlalu tua untuk menyekolahkan mereka. Biarlah Fatimah yang mengurus
mereka.” Fatimah menunduk pikirannya kacau.
”Kamu
selalu memikirkan adik-adikmu. Lantas kapan kamu memikirkan dirimu sendiri?
Menikah dan punya anak itu anjuran agama, nduk.”
Ibunya menatapnya tajam. Fatimah hanya menunduk Ia tak bisa menjawab. “Dulu
seumuran kamu, emak sudah menikah dan mempunyai anak dua. Kamu dan Siti, nduk”.
“Sudah
malam, Mak. Fatimah tidur dulu, ya.” Ia pamit untuk tidur dan memasuki
kamarnya. Terlihat jelas air mata jatuh membasahi pipi ibunya.
Malam
itu, Fatimah tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya kacau. Ibunya selalu
mendesak untuk segera menikah karena umurnya yang sudah menginjak 25 tahun. Ia
belum mau memikirkan itu. Yang terpenting baginya adalah kebahagiaan ibu dan
adik-adiknya. Ia juga bingung, karena belum ada lelaki yang mendekatinya. Ia
juga tidak mau asal-asalan dalam memilih suami. Ia mendambakan suami yang dapat
menjadi imam yang baik. Kalau saja ia mau, ia bisa saja menerima lamaran Ujang
tetangga sebelah. Ujang yang kaya raya dengan harta yang melimpah. Namun Ujang
bukan imam yang baik. Ujang tidak pernah sholat dan ke Masjid. Jadi ia menolak
lamarannya. Ibunya bilang bahwa Fatimah bisa mengajari Ujang untuk sholat dan
mengaji. Namun Fatimah masih ragu. Ia memiliki standar tinggi untuk calon
suaminya kelak. Pikirannya kacau. Ia mencoba untuk memejamkan matanya.
Esok
harinya ia membantu Ibunya membuat kue di dapur bersama Ibunya.
“Kak
Fatimah, Elis pamit berangkat sekolah dulu, ya?” Elis Mencium tangan Fatimah.
“Hati-hati
Elis. Belajar yang rajin, ya?” Fatimah selalu berpesan kepada adik-adiknya
untuk belajar yang rajin. Siti adik tertuanya pun juga pamit untuk sekolah. Siti
sudah besar. Ia sekolah di SMA Muhammadiyah 1 di seberang kampungnya.S edangkan
Azizah adik bungsunya itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar Muhammadiyah. Ayahnya
selalu berpesan kepada anak-anaknya untuk sekolah di Muhammadiyah. Ayahnya
selalu membekalinya dengan ilmu-ilmu agama yang mendalam. Ia telah tumbuh dan
besar di lingkungan Muhammadiyah.
Fatimah
pergi ke pasar untuk menyetorkan kue-kue dagangnya. Bu Lasmi selalu senang jika
ia menyetorkan dagangannya kepadanya. Katanya kue-kue Fatimah enak sekali.
“Imah,
kuemu enak dan manis sekali, semanis yang membuatnya.” Fatimah tersipu malu.
“Ah,
bu Lasmi bisa saja.”
“Gadis
semanis dan sholeh seperti kamu kok belum ada yang meminang?” Hati Fatimah
berdesir.
“Kenapa orang-orang selalu bertanya begitu. Kenapa
orang-orang begitu repot mengurusiku. Toh aku yang menjalaninya.” Fatimah
berkata di dalam hati. Fatimah kesal. Fatimah muak dengan pertanyaan-pertanyaan
itu.
Tiga
tahun berlalu. Umur Fatimah sudah menginjak usia 28 tahun. Ia menjadi semakin
kacau. Fatimah bingung harus menjawab apa. Setiap hari selalu saja ada orang
yang bertanya kapan kamu menikah? Dan siapa calonmu? Fatimah begitu muak dengan
pertanyaan itu. Tetapi sebagai gadis yang berjilbab dan santun ia hanya
menjawab dengan halus dan sopan bahwa belum ada calon yang mendekatinya. Apalagi
Ibunya yang selalu menanyakan pertanyaan itu setiap sore.Ia pusing.
Dan
ketika Fatimah mengajar ngaji pun ia tidak konsen, ia masih memikirkan itu semua.
Dan
setelah pulang mengajar. Mbak Riana, putri pak kyai pun menegurnya.”Kenapa kamu,
Fatimah? Apa ada masalah? Mbak lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun. Ceritakan
saja padaku jika ada masalah.” Fatimah menghela nafas panjang Ia mencoba menceritakan
keluh kesahnya itu.”Tenang imah,suatu saat nanti jodohmu akan datang.” Mbak
Riana mencoba menenangkannya.
“Tapi
mbak, aku malu. Aku harus menjawab apa? Orang-orang selalu saja bertanya
kepadaku.” Fatimah lesu. Ada air mata mengembang di pipinya.
“Jangan
kau pikirkan perkataan orang-orang. Perbanyak sholat malam agar hatimu tenang.J
odoh itu rahasia Allah.” Kata mbak Riana. Aku termenung. Mbak Riana pamit
karena sudah di jemput oleh suaminya. Aku iri melihatnya. Mbak Riana beruntung.
Ia memiliki suami yang tampan, sholeh dan sangat menyayanginya. Mbak Riana juga
cantik dan sholehah. Mereka berdua sangat cocok. Kulihat ustadz Zakaria juga
bersiap-siap untuk pulang. Hati Fatimah berdesir melihatnya. Ini yang menjadi
ganjalan di hatinya. Sekian lama Ia telah memendam perasaannya kepada lelaki
itu.
“Imah,
aku pulang dulu, ya. Assalamualaikum.” Kata ustadz Zakaria.
“Waalaikumsalam.”
Imah membalas dan berfikir mana mungkin ustadz Zakaria mau mencintainya. Ia
hanyalah gadis lugu dan hanya lulusan SMP. Fatimah mencoba menyadarkan dirinya.
Fatimah pulang dengan wajah yang
sangat lesu. Ia sangat berharap kepada Ustadz Zakaria. Namun apakah mungkin
lelaki itu mencintainya. Ia hanyalah gadis biasa. Sedangkan lelaki itu anak
pemilik pendok pesantren yang terkenal di kampungnya. Ia berkhayal memiliki suami
seperti dia.
Tok…tok.
Terdengar suara orang mengetuk pintu. Ibunya bergegas membuka pintu. Dan
ternyata yang datang adalah Surya, teman SMP-nya dulu. Ibunya sangat terkejut. Karena
ia datang dengan membawa kedua orang tuanya.
“Jadi,
maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar putri ibu.”
“Deg!”
Hati Fatimah berdesir dan berdetak dengan sangat cepat. Jadi Surya ingin
melamarku. Fatimah begitu terkejut mendengar perkataan Surya. Fatimah mencoba
mendengar semua perkataan Surya dan Ibunya dari balik kamarnya. Ibunya sangat
senang sekali. Ibunya menyuruh Fatimah keluar dari kamar dan menemui Surya.
Malam itu Fatimah tidak bisa tidur. Ia
gelisah memikirkan perkataan Surya. Ia belum menjawabnya. Ibunya mendesak untuk
menerima lamaran Surya, karena ia pemuda yang baik. Tetapi masih ada yang
mengganjal di hatinya. Bagaimana tentang perasaannya kepada ustadz Zakaria?
Singkat cerita, Fatimah menerima
lamaran itu. Acara resepsi berjalan dengan sangat lancar dan meriah. Dan kini
Ia sangat lega karena Ia sudah sah menjadi istri Surya. Sekarang ia tidak takut
lagi dibayang-bayangi dengan pertanyaan kapan menikah dengan orang-orang di sekitarnya.
“Selamat
ya Fatimah, semoga menjadi keluarga yang sakinah.” Kata mbak Riana.
“Amin.
Terima kasih, Mbak.” Ia sangat bahagia.
“Ini
jawaban atas semua doamu imah, Allah telah memberikan jodoh yang baik
kepadamu.” Kata mbak Riana.Hari itu Fatimah seperti sedang bermimpi.
“Ini toh rasanya menikah?” Fatimah berkata dalam hati. Ia sangat senang sekali.
“Dik, mari kita pamit dengan ibu.” Mas
Surya menyuruhku untuk segera berkemas-kemas dan pamit kepada Ibu. Mas Surya
akan memboyongku ke rumah barunya. Tempat di mana kami akan menua dan bahagia
selamannya. Aku dan mas Surya pamit kepada Ibu. Kami berdua mencium tangan ibu.
Ibu telah berpesan dan memberikan nasehat yang banyak kepada kami. Kami juga
berpamitan kepada ketiga adikku Elis, Siti, dan Azizah.
“Kalian
harus menjaga ibu.Ingat pesan mbak. Jangan nakal dan belajar yang rajin.” Fatimah
memberi pesan Kepada adik-adiknya.
“Kami
akan merindukan mbak”. Kata Elis.
“Tenang
mbak akan sering-sering mengunjungi kalian, kok”. Kata Fatimah menenangkan
ketiga adiknya.
Malam itu, Ibu Fatimah belum tidur.
“Emak
kok belum tidur?” Kata Azizah memasuki kamar ibunya. Tujuh bulan sudah Fatimah
menikah. Tetapi Fatimah belum pernah mengunjungi Ibunya. Hati Ibunya cemas dan
khawatir. “Sudahlah mak, pasti mbak Fatimah sedang sibuk mengurusi keluarganya
dan suaminya, pasti kapan-kapan mbak Fatimah akan mengunjungi kita.” Kata siti
menenangkan.
Siang
Harinya,Tok…Tok….terdengar ketukan pintu. Azizah bergegas membuka pintu dan…
“Emak!
Mbak Elis! Mbak Siti! Mbak Fatimah datang!” Azizah berteriak. Ibunya sangat
senang sekali. Tetapi ada yang aneh dengan Fatimah. Tubuhnya kurus, mukanya
pucat, wajahnya lebam biru dan Ia datang sendirian.
“Mana
suamimu?” Tanya ibunya heran. Fatimah menangis ia berkata bahwa Ia tidak
bahagia dengan suaminya. Surya begitu kasar dengannya. Surya sering mabuk dan
memukul dirinya ketika marah. Dan yang lebih parah lagi, ternyata saat ini Ia
telah dicerai paksa oleh suaminya. Ia
telah dibuang bagai sampah tak berguna. Ia tidak kuat lagi. Fatimah memeluk
ibunya dan adik-adiknya memeluknya sambil menangis. Mereka sangat sedih dengan
nasib yang dialami kakaknya. Hati ibu sangat terpukul,hatinya remuk.
Tiga
bulan telah berlalu. Fatimah telah resmi bercerai dengan suaminya. Berita kalau
ia sudah menjadi janda telah terdengar hingga ke seluruh kampung. Ia malu
dengan tetangga-tetangganya. Tetapi Ia mencoba tegar dan sabar. Malam itu Fatimah
termenung.
Tok…tok
ketukan pintu itu membuyarkan lamunannya. Ia bergegas membuka pintu. Dan betapa
terkejutnya Ia bahwa yang datang adalah Ustadz Zakaria dan kedua orang tuanya. Kedatangannya
begitu mengejutkan. Senyumnya seperti oase di tengah padang tandus. Pikirannya
melayang-layang dan selajutnya aku berkata dalam hati, “Ya Allah, apa dia
jodohku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar