Berjalan menyusuri
jalan raya dengan earphone di telinganya membuat gadis berusia 23 tahun ini
tidak sadar akan sekitarnya bahkan dia tidak menyadari dia sedang diikuti oleh
seorang laki-laki semenjak meninggalkan apartemennya. Laki-laki itu mengikuti
di belakangnya, mengamati setiap gerak-gerik gadis itu hingga laki-laki itu
terperanjat kaget ketika gadis itu berhenti di tikungan jalan dan menatap taman
di hadapannya dengan tangan kiri menghalau sinar matahari. Kemudian gadis itu
berjalan kembali, begitu pula laki-laki yang mengamatinya hingga sampai di toko
buku dimana gadis itu bekerja setiap harinya. Laki-laki itu memutuskan untuk
menyudahi pengamatannya di pagi hari ini dengan senyum di wajahnya.
Matahari telah lama
sembunyi dari singgasananya pertanda malam telah datang, gadis itu melihat jam tangannya
yang menunjukkan pukul tujuh malam. Dia harus segera pulang sebelum jalanan
sepi, berpamitan dengan yang lain dan berjalan keluar sambil memasang earphone
miliknya. Lagi, laki-laki yang mengikutinya tadi pagi telah menunggunya di kafe
seberang jalan semenjak empat puluh menit yang lalu. Mengikuti gadis itu lagi
hingga pulang ke apartemennya yang tak jauh dari tempat dia bekerja, sekitar
dua puluh menit berjalan kaki. Di tengah perjalanan pulang, gadis itu bertemu
dengan temannya dan membuat laki-laki itu seketika mengubah arah jalannya
memasuki gang lain.
“Huft . . . . Ini
menyebalkan, aku pikir reuni kali ini akan lebih meriah dari yang kemarin
ternyata jauh dari harapanku.” Ujar Tara, gadis yang tak sengaja bertemu di tengah
jalan ini adalah tetangga sebelah apartemennya semenjak tiga tahun yang lalu.
“Lalu bagaimana dengan
harimu di toko buku, Jean?” Sahut Tara. Ya, gadis yang berkerja di toko buku
yang selalu menggunakan earphone ini adalah Jean. Lengkapnya Jeannice Putriwardhana.
“Tidak ada yang spesial
Ra’. Seperti biasa hanya merapikan buku dan melayani pembelian.” Jawab Jean
dengan santai.
“Aku bisa mati bosan kalau jadi dirimu. Kau tidak bosan, menghabiskan waktu berdiri di kasir dan menata buku sesuai dengan raknya yang bakal pindah tempat lagi kar’na pengunjung? Dan sudah kau lakukan hampir 2 tahun.” Oceh Tara.
“Kalau aku bosan pasti
aku tidak bekerja di tempat itu bukan?” Tegas Jean
Benar, Jean terkadang
merasa sangat bosan dengan rutinitas pekerjaanya. Menjaga toko buku bukanlah
impian utamanya. Jean ingin menjadi seorang penulis, penulis novel. Semua teman
Jean tahu akan impiannya, dan ketika dia berubah haluan menjadi penjaga toko buku
semua temannya menanyakan alsannya dan Jean hanya menjawab sekedar mencari hal
yang berbeda. Dia melakukan ini karena dia ingin menghilangkan sesuatu namun
hingga sekarang masih saja tetap di sana.
Kini Jean berada dalam
kamarnya yang sepi. Menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Dua
tahun yang lalu, Jean mampu membayangkan hal-hal yang lucu hanya dengan menatap
langit-langit kamarnya namun kini dia memilih untuk menghentikan imajinasinya
yang kadang kelewat batas semenjak saat itu. Tanpa tersadar dia sudah tertidur
dan bangun seperti biasanya.
Sang mentari dengan
perlahan menerangi bumi dan pertanda Jean harus berkutat kembali dengan
rutinitasnya di toko buku, hanya saja kini dia harus menjaga toko itu berdua
saja dengan temannya Dewei. Karyawan yang lain sedang sibuk mengurusi pemasukan
buku-buku baru beserta keribetannya. Kemudian lelaki itu masuk ke toko buku
setelah berdiam diri di kafe seberang mengawasi Jean selama 30 menit yang lalu.
Lelaki itu menuju rak
buku terdekatnya di mana dia bisa memposisikan diri melihat ke arah Jean.
Merasa seperti sedang diawasi, Jean melihat ke seluruh ruangan mencari sang
mata-mata. NIHIL. Dia tidak bisa menemukan orang yang mengawasinya di antara
rak-rak buku yang terbentang dihadapnnya sehingga dia memutuskan mengacuhkannya
dan melanjutkan aktivitasnya.
Lelaki itu berjalan
menuju kasir dengan buku di tangannya yang ia berhasil temukan setelah puas
mengamati Jean. Buku itu ia serahkan kepada kasir. Tanpa sengaja, tatapan mata
mereka bertemu. Jean membeku di tempatnya, apa yang dia sembunyikan seketika
muncul kembali. Buku ditangan Jean jatuh ke lantai, menyadarkannya.
“Oh, maaf kak. Maaf.”
Ujar Jean.
“It’s Okay . . . J-e-a-n.” Mengeja nametag yang terpasang di baju sang kasir.
Sontak hal itu membuat Jean
semakin kaget dan buru-buru melayani pembelian agar lelaki itu pergi, agar dia
tidak semakin jauh membuka apa yang telah ia tutup rapat-rapat. Lelaki itu
berjalan keluar, meninggalkan Jean beridiri terpaku. Untuk saat itu semua pengunjung
sibuk dengan masing-masing kegiatannya sehingga tidak memperhatikan yang ada di
kasir. Namun panggilan Dewei meyadarkan Jean bahwa apa yang terjadi barusan
bukanlah mimpi, kenyataan itu menghempas Jean dan membuatnya jatuh terduduk
dengan pucat pasi.
“Jean!’’ teriak Dewei.
“Kamu kenapa Jean? Wajahmu kok pucat gitu?”
“Aku gak apa-apa, Dew.
Cuma kecapekan aja, istirahat bentar nanti juga sembuh, kok.” Jelas Jean,
mencoba untuk tidak membuat teman kerjanya khawatir.
“Istirahat gih, hari
ini kamu jaga setengah hari aja. Dari pada kamu terusin malah pingsan di sini
jadi repot. Apalagi di sini Cuma berdua.” Pinta Dewei.
Jean mengangguk setuju,
mana mungkin dia sanggup bekerja setelah apa yang terjadi padanya di luar
dugaan. Dalam perjalanannya kembali, Jean memikirkan banyak hal. Di benaknya
hanya terisi rekaman kejadian tadi di toko buku. Siapa laki-laki itu? Kenapa tatapan matanya sama seperti orang itu? Kenapa
ketika aku melihat ke dalam matanya rasa itu ada lagi? Mereka dua orang yang
berbeda tapi ketika aku melihat lelaki itu, aku juga melihat orang itu. Apa
mereka bersaudara atau berteman, kalaupun iya seharusnya aku tahu atau pernah
melihat. Tapi, ini kali pertama aku melihatnya. Ah . . . mungkin aku
benar-benar kecapekan, batinnya.
Keesokannya Jean
memulai harinya lebih awal, mencoba menghapus kejadian kemarin dengan melakukan
berbagai aktivitas merapikan apartemenya yang cukup efektif berhasil. Namun,
hal itu tidak berlaku ketika dia melangkahkan kakinya menyusuri jalanan ramai
ke toko buku. Earphone yang selalu
menemaninya pun gagal mengalihkan pikirannya akan kejadian yang kemarin. Jean
memutuskan membeli secangkir kopi di kafe sebrang jalan.
Tanpa ia sadari,
laki-laki itu duduk di dekat jendela menghadap kasir. Tentu saja, laki-laki itu
tahu Jean menuju kafe tempat dia berada sekarang karena dia telah mengamatinya
dari kejauhan tanpa kehilangan satu momenpun. Bahkan dia juga melihat ketika Jean
mengutuk earphonenya dan mendengus
kesal yang membuat laki-laki itu tersenyum karena lucu melihat tingkah gadis
itu.
“Ini kesempatan yang
tidak boleh disia-siakan begitu saja.” Ujar lelaki itu. Kemudian berjalan
mendekati kasir di mana gadis itu berdiri membayar dan ketika Jean berbalik
kopi yang di tangannya tumpah membasahi kemeja lelaki disampingnya.
“Maaf . . . maaf . . .
. Maafkan saya.” Sambil mengulurkan sapu tangan ke arah kemeja yang basah oleh
kopi miliknya. “Bagaimana ini?” Ujar Jean.
“Hei . . . hei . . . hentikan, kamu mau kita jadi pusat
perhatian di sini?” Sahut lelaki itu.
“Apa?” Tanya Jean tidak
mengerti. Kemudian Jean melihat sekeliling dan mengerti bagaimana posisinya
sekarang. Sesaat itu pula menghentikan kegiatannya membersihkan kemeja lelaki
di hadapannya dan mendongak. Ia baru sadar, laki-laki di hadapannya adalah
laki-laki yang kemarin sore. “Kalau begitu ayo kita keluar dari sini.” Ujar Jean.
Ketika mereka di luar Jean
menyerangnya dengan rentetan ucapan permintaan maaf. “Maaf . . . maaf . . . .
aku tidak sengaja. Maaf, aku terlalu ceroboh. Bagaimana ini?”
“Hei . . . hei . . .
tenang. Aku punya baju cadangan di mobil. Jadi tidak usah khawatir.”
“Tapi tetap saja, aku
tetap merasa bersalah. Sebagai pertanda minta maaf ku, bagaimana kalo aku cucikan
bajumu?” Ujar Jean.
“Oke, tapi bagaimana
kau akan mengembalikannya padaku?” Tanya lelaki itu.
“Kita kan masih bisa
bertemu di sini lagi.” Sanggah Jean.
“Aku ragu, karena
beberapa waktu ke depan aku tidak bisa, ada hal yang harus aku selesaikan yang
sangat mungkin untuk menyita waktuku.” Jelas lelaki itu.
“Satu-satunya jalan
adalah aku antar ke rumahmu, gimana?” Tawar Jean.
“Kau yakin?”
“Tentu saja.”
Lelaki itu mengangguk
setuju dan menyerahkan sebuah kartu nama kepada Jean.
“Raditya
Mardika Putra.” Batin Jean. “Oke, aku akan beritahu jika
aku mau mengembalikan bajumu ini.” Ujar Jean.
Kemudian Jean berbalik
meninggalkan Dika sendirian. Di dalam mobilnya, Dika masih tidak menyangka
rencananya ini akan berjalan semulus jalan tol. Sebernarnya, selama duduk di sana
dia telah merancang beberapa rencana candangan jika rencana yang satu ini
berjalan tidak sesuai dengan dugaannya. Dengan begini jarak yang tercipta
dengan gadis itu akan semakin menipis. Ini bukan gaya Dika dalam mendekati
siapapun, namun apa boleh buat orang itu yang memintanya dengan segenap nafas
yang tersisa. Satu langkah sudah dijalani, pelan tapi pasti. Namun, di benaknya
dari tadi adalah gadis itu yang berusaha menghindari bertatapan mata dengannya.
“Kenapa? Apa gadis itu tahu siapa aku, kalaupun
iya seharusnya dia menyapaku atau memakiku saja. Entahlah, gadis itu seperti
menyembunyikan sesuatu. Ini tidak
seperti yang dikatakan orang itu, ada potongan yang hilang di sini.” Batin
Dika.
Dika bisa saja
mengatakan pada gadis itu siapa dia dan apa tujuannya tapi dia tidak bisa, ini
tidak semudah yang terlihat. Dia berlalu meninggalkan kafe itu.
“Dari semua laki-laki
yang hidup di bumi kenapa aku harus berurusan dengan laki-laki itu, sial banget
dan bego nya aku kenapa mau nyuciin bajunya.” Gumam Jean. “Ternyata menghindari
tatapan mata dari laki-laki itu sangat sulit, aku mengupayakan segala yang aku
bisa agar tidak kehilangan fokusku.” Pikirnya.
“Huft . . . apa yang
harus aku lakukan?” Gerutu Jean.
“Kenapa, Jean? Dari
tadi ngomong sendiri.” Tanya Dewei.
“Ah. Bukan kok, bukan
apa-apa.” Sahut Jean
Satu minggu berlalu,
tidak ada tanda-tanda gadis itu akan mengembalikan kemejanya. Ketidakpastian
ini membuat Dika tersiksa. Hampir di setiap waktu Dika menyempatkan diri untuk
melihat keluar jendela, melihat apakah gadis itu benar-benar datang. Semenjak
kejadian di kafe waktu itu Dika sudah menyiapkan berbagai rencananya terhadap
gadis itu. Semua rencananya terasa sempurna sebelum rasa ketidakpastian itu
muncul. Merasa sangat terganggu dengan keadaan ini Dika mengambil kunci
mobilnya dan berjalan keluar rumah. Ketika dia membuka pintunya, tiba-tiba
gadis yang membuat dia merasa kesal berdiri di hadapannya. Kini Dika bingung
apa yang harus dia lakukan, semua rencananya lenyap dari pikirannya. Gadis itu
menyodorkan kantong berisi kemeja miliknya.
“Maaf, aku tidak
langsung mengembalikan bajumu.” Jelas Jean.
“Kau kira semudah itu,
kalau kau ingin benar-benar aku maafkan kau harus menemaniku makan siang selama
satu minggu ini.’’ Ujar Dika.
Tak lama mereka berdua
sudah di dalam mobil yang melaju ke tempat makan. Selama mereka berdua, Dika
membuka pembicaraan dan tentu saja gadis di sampingnya langsung terbawa.
Suasana di dalam mobil dan di tempat makan mencair, mereka seperti lupa akan
niat mereka masing-masing. Ketika Dika melihat jam tangannya, “Hm, ini waktu yang tepat untuk membawanya ke tempat
itu. Pikirnya.” Dika benar-benar membawa gadis itu ke tempat yang dengan
susah payah dia temukan, dia harus mencarinya sendiri karena orang itu tidak
memberitahu di mana tempat itu berada.
“Hei, ini perasaanku
saja atau memang kita salah jalan karena ini bukan jalan menuju apartemenku.”
Jelas Jean.
“Memang ini bukan jalan
menuju ke apartemenmu, aku ingin ke suatu tempat dulu sebelum aku mengantarmu
pulang.” Jelas Dika.
”Okay, fine.” Jawab Jean.
Mobil itu melaju cepat
di jalur tol, membawa mereka ke tempat yang agak jauh dari pemukiman penduduk.
Perjalanan yang memakan waktu empat puluh menit itu membawa mereka ke padang
rumput liar dengan bunga yang berwarna-warni. Sinar matahari sore dan bunga
dandelion yang diterbangkan angin membuat padang rumput di hadapan mereka
terlihat menawan. Jean tidak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini,
pandangannya tertuju pada pemandangan di hadapanya ketika dia perlahan turun
dari mobil dan berdiri mematung. Tanpa sadar air mata membasahi kedua pipinya.
Dengan cepat ia menghapus air matannya.
“Kenapa kita ke sini?”
Tanya Jean dengan sedikit suara serak memberanikan dirinya untuk bertanya.
“Aku hanya ingin ke sini,
ini satu-satunya tempat aku melepaskan bebanku walau hanya untuk sementara.” Jelas
Dika.
Diam dan hanya
memberikan Dika waktu untuk menikmati apa yang dia inginkan sementara Jean
sibuk dengan pikirannya sendiri. Waktu berlalu, mereka berdua hanyut dalam
kesunyian selama tiga-puluh menit.
Tiba-tiba, “Ayo kita
pulang.” Ajak Dika. Mendengar hal itu Jean tersadar dari lamunan panjangnya.
“Hmmm,” jawab Jean.
Dalam perjalanan pulang mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Cukup sampai sini
mengantar ku pulang. Apartemenku tidak terlalu jauh dari depan gang ini.” Ujar Jean.
Dika menyanggupi apa yang dikatakan Jean dan berbalik meninggalkan Jean
sendirian menyusuri gang kearah apartemenya. Tiba-tiba langkah Jean terhenti
karena empat cowok menghadang jalannya.
“Sendirian, mau kami
temani?” Tanya salah satu dari empat cowok itu. “Tenang, kami tidak akan
menyakitimu kami justru akan melindungimu.” Imbuh cowok yang lain.
Jean mengacuhkan mereka yang ternyata dalam
keadaan mabuk dan tetap melanjutkan langkahnya, namun Jean hanya bisa mengambil
beberapa langkah kedepan karena salah satu tangannya digenggam salah satu dari
keempat cowok itu. Jean mencoba melepaskan tangannya tapi yang terjadi adalah
genggaman cowok itu semakin kuat dan membuat pergelangan tangannya terasa
sakit. Cowok itu mendekat, Jean panik dan mencoba memberontak lebih kuat lagi
tapi kekuatan yang dimilikinya tidak sebanding dengan keempat cowok itu. Jean
berteriak minta tolong dengan keras berharap ada yang menolongnya namun
beberapa selang setelah dia berteriak tidak ada yang datang saat itulah Jean
merasa hidupnya benar-benar hancur total.
by: Nesshaa
Setumpah cangkir kopilah yang mempertemukan kita berdua |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar