Jumat, 26 September 2014

I Love You, Kau Bukan Dia

Berjalan menyusuri jalan raya dengan earphone di telinganya membuat gadis berusia 23 tahun ini tidak sadar akan sekitarnya bahkan dia tidak menyadari dia sedang diikuti oleh seorang laki-laki semenjak meninggalkan apartemennya. Laki-laki itu mengikuti di belakangnya, mengamati setiap gerak-gerik gadis itu hingga laki-laki itu terperanjat kaget ketika gadis itu berhenti di tikungan jalan dan menatap taman di hadapannya dengan tangan kiri menghalau sinar matahari. Kemudian gadis itu berjalan kembali, begitu pula laki-laki yang mengamatinya hingga sampai di toko buku dimana gadis itu bekerja setiap harinya. Laki-laki itu memutuskan untuk menyudahi pengamatannya di pagi hari ini dengan senyum di wajahnya.
Matahari telah lama sembunyi dari singgasananya pertanda malam telah datang, gadis itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Dia harus segera pulang sebelum jalanan sepi, berpamitan dengan yang lain dan berjalan keluar sambil memasang earphone miliknya. Lagi, laki-laki yang mengikutinya tadi pagi telah menunggunya di kafe seberang jalan semenjak empat puluh menit yang lalu. Mengikuti gadis itu lagi hingga pulang ke apartemennya yang tak jauh dari tempat dia bekerja, sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Di tengah perjalanan pulang, gadis itu bertemu dengan temannya dan membuat laki-laki itu seketika mengubah arah jalannya memasuki gang lain.
“Huft . . . . Ini menyebalkan, aku pikir reuni kali ini akan lebih meriah dari yang kemarin ternyata jauh dari harapanku.” Ujar Tara, gadis yang tak sengaja bertemu di tengah jalan ini adalah tetangga sebelah apartemennya semenjak tiga tahun yang lalu.
“Lalu bagaimana dengan harimu di toko buku, Jean?” Sahut Tara. Ya, gadis yang berkerja di toko buku yang selalu menggunakan earphone ini adalah Jean. Lengkapnya Jeannice Putriwardhana.
“Tidak ada yang spesial Ra’. Seperti biasa hanya merapikan buku dan melayani pembelian.” Jawab Jean dengan santai.

 
“Aku bisa mati bosan kalau jadi dirimu. Kau tidak bosan, menghabiskan waktu berdiri di kasir dan menata buku sesuai dengan raknya yang bakal pindah tempat lagi kar’na pengunjung? Dan sudah kau lakukan hampir 2 tahun.” Oceh Tara.
“Kalau aku bosan pasti aku tidak bekerja di tempat itu bukan?” Tegas Jean
Benar, Jean terkadang merasa sangat bosan dengan rutinitas pekerjaanya. Menjaga toko buku bukanlah impian utamanya. Jean ingin menjadi seorang penulis, penulis novel. Semua teman Jean tahu akan impiannya, dan ketika dia berubah haluan menjadi penjaga toko buku semua temannya menanyakan alsannya dan Jean hanya menjawab sekedar mencari hal yang berbeda. Dia melakukan ini karena dia ingin menghilangkan sesuatu namun hingga sekarang masih saja tetap di sana.
Kini Jean berada dalam kamarnya yang sepi. Menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Dua tahun yang lalu, Jean mampu membayangkan hal-hal yang lucu hanya dengan menatap langit-langit kamarnya namun kini dia memilih untuk menghentikan imajinasinya yang kadang kelewat batas semenjak saat itu. Tanpa tersadar dia sudah tertidur dan bangun seperti biasanya.
Sang mentari dengan perlahan menerangi bumi dan pertanda Jean harus berkutat kembali dengan rutinitasnya di toko buku, hanya saja kini dia harus menjaga toko itu berdua saja dengan temannya Dewei. Karyawan yang lain sedang sibuk mengurusi pemasukan buku-buku baru beserta keribetannya. Kemudian lelaki itu masuk ke toko buku setelah berdiam diri di kafe seberang mengawasi Jean selama 30 menit yang lalu.
Lelaki itu menuju rak buku terdekatnya di mana dia bisa memposisikan diri melihat ke arah Jean. Merasa seperti sedang diawasi, Jean melihat ke seluruh ruangan mencari sang mata-mata. NIHIL. Dia tidak bisa menemukan orang yang mengawasinya di antara rak-rak buku yang terbentang dihadapnnya sehingga dia memutuskan mengacuhkannya dan melanjutkan aktivitasnya.
Lelaki itu berjalan menuju kasir dengan buku di tangannya yang ia berhasil temukan setelah puas mengamati Jean. Buku itu ia serahkan kepada kasir. Tanpa sengaja, tatapan mata mereka bertemu. Jean membeku di tempatnya, apa yang dia sembunyikan seketika muncul kembali. Buku ditangan Jean jatuh ke lantai, menyadarkannya.
“Oh, maaf kak. Maaf.” Ujar Jean.
“It’s Okay . . .  J-e-a-n.” Mengeja nametag yang terpasang di baju sang kasir.
Sontak hal itu membuat Jean semakin kaget dan buru-buru melayani pembelian agar lelaki itu pergi, agar dia tidak semakin jauh membuka apa yang telah ia tutup rapat-rapat. Lelaki itu berjalan keluar, meninggalkan Jean beridiri terpaku. Untuk saat itu semua pengunjung sibuk dengan masing-masing kegiatannya sehingga tidak memperhatikan yang ada di kasir. Namun panggilan Dewei meyadarkan Jean bahwa apa yang terjadi barusan bukanlah mimpi, kenyataan itu menghempas Jean dan membuatnya jatuh terduduk dengan pucat pasi.
“Jean!’’ teriak Dewei. “Kamu kenapa Jean? Wajahmu kok pucat gitu?”
“Aku gak apa-apa, Dew. Cuma kecapekan aja, istirahat bentar nanti juga sembuh, kok.” Jelas Jean, mencoba untuk tidak membuat teman kerjanya khawatir.
“Istirahat gih, hari ini kamu jaga setengah hari aja. Dari pada kamu terusin malah pingsan di sini jadi repot. Apalagi di sini Cuma berdua.” Pinta Dewei.
Jean mengangguk setuju, mana mungkin dia sanggup bekerja setelah apa yang terjadi padanya di luar dugaan. Dalam perjalanannya kembali, Jean memikirkan banyak hal. Di benaknya hanya terisi rekaman kejadian tadi di toko buku. Siapa laki-laki itu? Kenapa tatapan matanya sama seperti orang itu? Kenapa ketika aku melihat ke dalam matanya rasa itu ada lagi? Mereka dua orang yang berbeda tapi ketika aku melihat lelaki itu, aku juga melihat orang itu. Apa mereka bersaudara atau berteman, kalaupun iya seharusnya aku tahu atau pernah melihat. Tapi, ini kali pertama aku melihatnya. Ah . . . mungkin aku benar-benar kecapekan, batinnya.
Keesokannya Jean memulai harinya lebih awal, mencoba menghapus kejadian kemarin dengan melakukan berbagai aktivitas merapikan apartemenya yang cukup efektif berhasil. Namun, hal itu tidak berlaku ketika dia melangkahkan kakinya menyusuri jalanan ramai ke toko buku. Earphone yang selalu menemaninya pun gagal mengalihkan pikirannya akan kejadian yang kemarin. Jean memutuskan membeli secangkir kopi di kafe sebrang jalan.
Tanpa ia sadari, laki-laki itu duduk di dekat jendela menghadap kasir. Tentu saja, laki-laki itu tahu Jean menuju kafe tempat dia berada sekarang karena dia telah mengamatinya dari kejauhan tanpa kehilangan satu momenpun. Bahkan dia juga melihat ketika Jean mengutuk earphonenya dan mendengus kesal yang membuat laki-laki itu tersenyum karena lucu melihat tingkah gadis itu.
“Ini kesempatan yang tidak boleh disia-siakan begitu saja.” Ujar lelaki itu. Kemudian berjalan mendekati kasir di mana gadis itu berdiri membayar dan ketika Jean berbalik kopi yang di tangannya tumpah membasahi kemeja lelaki disampingnya.
“Maaf . . . maaf . . . . Maafkan saya.” Sambil mengulurkan sapu tangan ke arah kemeja yang basah oleh kopi miliknya. “Bagaimana ini?” Ujar Jean.
“Hei . . .  hei . . . hentikan, kamu mau kita jadi pusat perhatian di sini?” Sahut lelaki itu.
“Apa?” Tanya Jean tidak mengerti. Kemudian Jean melihat sekeliling dan mengerti bagaimana posisinya sekarang. Sesaat itu pula menghentikan kegiatannya membersihkan kemeja lelaki di hadapannya dan mendongak. Ia baru sadar, laki-laki di hadapannya adalah laki-laki yang kemarin sore. “Kalau begitu ayo kita keluar dari sini.” Ujar Jean.
Ketika mereka di luar Jean menyerangnya dengan rentetan ucapan permintaan maaf. “Maaf . . . maaf . . . . aku tidak sengaja. Maaf, aku terlalu ceroboh. Bagaimana ini?”
“Hei . . . hei . . . tenang. Aku punya baju cadangan di mobil. Jadi tidak usah khawatir.”
“Tapi tetap saja, aku tetap merasa bersalah. Sebagai pertanda minta maaf ku, bagaimana kalo aku cucikan bajumu?” Ujar Jean.
“Oke, tapi bagaimana kau akan mengembalikannya padaku?” Tanya lelaki itu.
“Kita kan masih bisa bertemu di sini lagi.” Sanggah Jean.
“Aku ragu, karena beberapa waktu ke depan aku tidak bisa, ada hal yang harus aku selesaikan yang sangat mungkin untuk menyita waktuku.” Jelas lelaki itu.
“Satu-satunya jalan adalah aku antar ke rumahmu, gimana?” Tawar Jean.
“Kau yakin?”
“Tentu saja.”  
Lelaki itu mengangguk setuju dan menyerahkan sebuah kartu nama kepada Jean.
“Raditya Mardika Putra.” Batin Jean. “Oke, aku akan beritahu jika aku mau mengembalikan bajumu ini.” Ujar Jean.
Kemudian Jean berbalik meninggalkan Dika sendirian. Di dalam mobilnya, Dika masih tidak menyangka rencananya ini akan berjalan semulus jalan tol. Sebernarnya, selama duduk di sana dia telah merancang beberapa rencana candangan jika rencana yang satu ini berjalan tidak sesuai dengan dugaannya. Dengan begini jarak yang tercipta dengan gadis itu akan semakin menipis. Ini bukan gaya Dika dalam mendekati siapapun, namun apa boleh buat orang itu yang memintanya dengan segenap nafas yang tersisa. Satu langkah sudah dijalani, pelan tapi pasti. Namun, di benaknya dari tadi adalah gadis itu yang berusaha menghindari bertatapan mata dengannya. “Kenapa? Apa gadis itu tahu siapa aku, kalaupun iya seharusnya dia menyapaku atau memakiku saja. Entahlah, gadis itu seperti menyembunyikan sesuatu. Ini tidak seperti yang dikatakan orang itu, ada potongan yang hilang di sini.” Batin Dika.
Dika bisa saja mengatakan pada gadis itu siapa dia dan apa tujuannya tapi dia tidak bisa, ini tidak semudah yang terlihat. Dia berlalu meninggalkan kafe itu.
“Dari semua laki-laki yang hidup di bumi kenapa aku harus berurusan dengan laki-laki itu, sial banget dan bego nya aku kenapa mau nyuciin bajunya.” Gumam Jean. “Ternyata menghindari tatapan mata dari laki-laki itu sangat sulit, aku mengupayakan segala yang aku bisa agar tidak kehilangan fokusku.” Pikirnya.
“Huft . . . apa yang harus aku lakukan?” Gerutu Jean.
“Kenapa, Jean? Dari tadi ngomong sendiri.” Tanya Dewei.
“Ah. Bukan kok, bukan apa-apa.” Sahut Jean
Satu minggu berlalu, tidak ada tanda-tanda gadis itu akan mengembalikan kemejanya. Ketidakpastian ini membuat Dika tersiksa. Hampir di setiap waktu Dika menyempatkan diri untuk melihat keluar jendela, melihat apakah gadis itu benar-benar datang. Semenjak kejadian di kafe waktu itu Dika sudah menyiapkan berbagai rencananya terhadap gadis itu. Semua rencananya terasa sempurna sebelum rasa ketidakpastian itu muncul. Merasa sangat terganggu dengan keadaan ini Dika mengambil kunci mobilnya dan berjalan keluar rumah. Ketika dia membuka pintunya, tiba-tiba gadis yang membuat dia merasa kesal berdiri di hadapannya. Kini Dika bingung apa yang harus dia lakukan, semua rencananya lenyap dari pikirannya. Gadis itu menyodorkan kantong berisi kemeja miliknya.
“Maaf, aku tidak langsung mengembalikan bajumu.” Jelas Jean.
“Kau kira semudah itu, kalau kau ingin benar-benar aku maafkan kau harus menemaniku makan siang selama satu minggu ini.’’ Ujar Dika.
Tak lama mereka berdua sudah di dalam mobil yang melaju ke tempat makan. Selama mereka berdua, Dika membuka pembicaraan dan tentu saja gadis di sampingnya langsung terbawa. Suasana di dalam mobil dan di tempat makan mencair, mereka seperti lupa akan niat mereka masing-masing. Ketika Dika melihat jam tangannya, “Hm, ini waktu yang tepat untuk membawanya ke tempat itu. Pikirnya.” Dika benar-benar membawa gadis itu ke tempat yang dengan susah payah dia temukan, dia harus mencarinya sendiri karena orang itu tidak memberitahu di mana tempat itu berada.
“Hei, ini perasaanku saja atau memang kita salah jalan karena ini bukan jalan menuju apartemenku.” Jelas Jean.
“Memang ini bukan jalan menuju ke apartemenmu, aku ingin ke suatu tempat dulu sebelum aku mengantarmu pulang.” Jelas Dika.
”Okay, fine.” Jawab Jean.
Mobil itu melaju cepat di jalur tol, membawa mereka ke tempat yang agak jauh dari pemukiman penduduk. Perjalanan yang memakan waktu empat puluh menit itu membawa mereka ke padang rumput liar dengan bunga yang berwarna-warni. Sinar matahari sore dan bunga dandelion yang diterbangkan angin membuat padang rumput di hadapan mereka terlihat menawan. Jean tidak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini, pandangannya tertuju pada pemandangan di hadapanya ketika dia perlahan turun dari mobil dan berdiri mematung. Tanpa sadar air mata membasahi kedua pipinya. Dengan cepat ia menghapus air matannya.
“Kenapa kita ke sini?” Tanya Jean dengan sedikit suara serak memberanikan dirinya untuk bertanya.
“Aku hanya ingin ke sini, ini satu-satunya tempat aku melepaskan bebanku walau hanya untuk sementara.” Jelas Dika.
Diam dan hanya memberikan Dika waktu untuk menikmati apa yang dia inginkan sementara Jean sibuk dengan pikirannya sendiri. Waktu berlalu, mereka berdua hanyut dalam kesunyian selama tiga-puluh menit.
Tiba-tiba, “Ayo kita pulang.” Ajak Dika. Mendengar hal itu Jean tersadar dari lamunan panjangnya.
“Hmmm,” jawab Jean. Dalam perjalanan pulang mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Cukup sampai sini mengantar ku pulang. Apartemenku tidak terlalu jauh dari depan gang ini.” Ujar Jean. Dika menyanggupi apa yang dikatakan Jean dan berbalik meninggalkan Jean sendirian menyusuri gang kearah apartemenya. Tiba-tiba langkah Jean terhenti karena empat cowok menghadang jalannya.
“Sendirian, mau kami temani?” Tanya salah satu dari empat cowok itu. “Tenang, kami tidak akan menyakitimu kami justru akan melindungimu.” Imbuh cowok yang lain.
Jean mengacuhkan mereka yang ternyata dalam keadaan mabuk dan tetap melanjutkan langkahnya, namun Jean hanya bisa mengambil beberapa langkah kedepan karena salah satu tangannya digenggam salah satu dari keempat cowok itu. Jean mencoba melepaskan tangannya tapi yang terjadi adalah genggaman cowok itu semakin kuat dan membuat pergelangan tangannya terasa sakit. Cowok itu mendekat, Jean panik dan mencoba memberontak lebih kuat lagi tapi kekuatan yang dimilikinya tidak sebanding dengan keempat cowok itu. Jean berteriak minta tolong dengan keras berharap ada yang menolongnya namun beberapa selang setelah dia berteriak tidak ada yang datang saat itulah Jean merasa hidupnya benar-benar hancur total.

by: Nesshaa





Setumpah cangkir kopilah yang mempertemukan kita berdua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar